Ilustrasi: AI/ Mila Muzakkar
Penulis: Mila Muzakkar
HATIPENA.COM – (Seorang ibu di Pamulang, 62 tahun, meninggal setelah kelelahan mengantri dan berjalan menenteng dua tabung gas sejauh 300 meter) (1)
Bulan Februari adalah bulan kasih sayang, katanya.
Orang-orang akan merayakan hari valentine, berbagi cinta kasih.
Tapi tidak bagi Sugiyem.
Di awal Februari ini, tidurnya tak pernah lelap.
Malam-malamnya adalah lorong gelap tanpa cahaya.
Kepalanya dipenuhi hujan badai yang tak kunjung reda.
“Besok sudah bisa jualan belum?”
Besok, cucuku makan apa?” ribuan pertanyaan itu menghantuinya.
Pagi-pagi buta, ibu paruh baya itu menjemput matahari.
Secepat kilat ia melesat,
tak ingin ia tertinggal dari antrian,
“Kali ini, aku harus dapat gas 3 kg. kalau tidak, nanti warung bisa tutup,” batinnya memastikan.
200 meter langkah ia tempuh,
nafasnya satu-satu,
hujan keringat di bajunya,
tapi naluri perempuan adalah nafas kehidupan.
Sugiyem terus melangkah, 100 meter lagi.
Di pangkalan gas melon, lautan kepala menanti asa.
Mereka, senasib dengan Sugiyem.
mereka, menanti serpihan-serpihan asa,
dari sang penguasa.
Di barisan depan, wajah-wajah letih itu berteriak.
“Kami ini hanya butuh makan Pak? Kenapa dibikin susah terus?” seorang ibu menggendong anak sambil terisak di depan Pak Menteri berbaju putih.
Teriakan itu hanya longlongan serigala di tengah hutan kosong,
Pak Menteri hanya bergeming,
tak ada jawaban.
Sudah tiga jam Sugiyem bertarung di antara lautan manusia.
Perutnya berbunyi seperti genderang,
tenggorokannya seperti oase di padang pasir.
Kakinya bergetar,
nafasnya kembali terengah-engah.
“Mana KTP nya, Bu?” Petugas pangkalan menghampiri Sugiyem.
“Walah, Ndo, KTP buat apa toh? Ibu ndak bawa,” Sugiyem menjawab lirih. Fisiknya mulai lemah, wajahnya meringis.
Laki-laki berpeci itu diam sejenak. Antara peraturan dan nurani, ia berada di tengah-tengahnya.
“Tolong ya Nak, kasi gas nya 2 tabung. Ibu sudah 3 hari ndak jualan,” wajahnya memohon, tangannya setengah menyembah.
Bagai hujan yang datang setelah kemarau panjang,
Sugiyem, tersenyum bahagia.
Dua tabung gas melon berhasil didapatkannya.
“Syukur ya Gusti, aku bisa jualan lagi,” ucapnya dengan nafas tersenggal-senggal.
Ia meninggalkan lautan manusia yang masih menanti asa.
bagai burung yang siap mengepakkan sayap kebebasan,
Sugiyem melangkah cepat.
Perlahan, langkahnya seperti senja yang segera tergantikan malam.
Tubuhnya lunglai, seperti ranting yang rapuh.
Sugiyem berhenti.
Langkahnya makin berat.
Sugiyem melangkah lagi,
Menembus badai di lautan asa.
Langkah Sugiyem terhenti.
Tubuhnya tersungkur di aspal hitam pekat.
Dua tabung gas melon masih lekat di tangannya.
Ia menyerah, seperti burung yang kelelahan terbang di tengah badai.
Di bulan valentine,
Sugiyem tak lagi butuh coklat, bunga, atau kecupan mesra.
Karena Sugiyem t’lah menukar nyawanya dengan tabung gas melon.(*)
Depok, 5 Februari 2025
Catatan
(1) https://www.liputan6.com/news/read/5906785/ragam-derita-di-balik-gas-3-kg-langka-di-pengecer?page=2