HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Iksaka Banu, BRICS, dan Luka di Tubuh Sastra Indonesia

October 28, 2025 15:44
IMG-20250817-WA0067(1)

Denny JA dan Bayang-Bayang Penghargaan

Esei Puitis tentang Marwah, Nama, dan Ilusi yang Dijual Mahal

Oleh: Rizal Tanjung | Sastrawan

HATIPENA.COM – Ada masa di mana sastra berdiri dengan kepala tegak,
di mana sebuah nama tumbuh dari kerja sunyi, bukan dari sorak di konferensi pers.
Namun kita kini hidup di zaman yang lain — zaman di mana kata “penghargaan” sering terdengar seperti bunyi koin jatuh di lantai, dan nama-nama penyair melayang di udara seperti selebaran iklan.
Sastra, yang seharusnya menjadi rumah kebijaksanaan, kini sering diperlakukan seperti panggung cermin, tempat ambisi mematut diri di depan sorotan kamera.

Di antara riuh semacam itu, nama Iksaka Banu tiba-tiba melesat, tanpa ia tahu dari mana datangnya cahaya yang menyorotnya.
Sebuah tautan asing datang kepadanya—
mengabarkan bahwa ia masuk longlist BRICS Literature Award 2025,
bersanding dengan nama-nama dari Rusia, Brazil, India, Tiongkok, Mesir, dan negeri-negeri lain yang jauh.

Sebuah “kehormatan”, katanya,
tapi anehnya kehormatan itu datang tanpa ketukan,
tanpa undangan, tanpa proses yang pernah ia kenal.
Seperti seseorang yang tiba-tiba menemukan patung dirinya di taman kota,
padahal ia tak pernah duduk untuk dipahatkan.

Kabar dari Negeri Cermin

Banu, dengan kesabaran khas penulis yang telah kenyang dengan kebisuan,
menatap tautan itu tanpa gairah.
Ia tahu, dunia maya kini sering menjelma seperti pasar malam —
semuanya bersinar, tapi tak semuanya benar.

Ia membuka laman itu:
https://bricsaward.org/tpost/2pe4irubx1-brics-literature-award-longlist-announce

Ada namanya di sana, juga nama Intan Paramaditha.
Namun tak ada penjelasan, tak ada sumber, tak ada narasi yang meyakinkan.
Seolah nama-nama itu ditulis oleh tangan tak terlihat,
tangan yang lebih mencintai sensasi ketimbang substansi.

Di saat yang sama, media nasional diam.
Tak ada kabar dari redaksi, tak ada berita yang menindaklanjuti,
seolah penghargaan ini lahir di ruang hampa,
di laboratorium keheningan yang tak pernah disetujui para sastrawan.

Pertanyaan yang Tumbuh di Kepala Penulis

Maka pertanyaan pun berguguran dari langit pikirannya:
Siapa yang mencalonkan?
Atas dasar apa?
Siapa yang menyeleksi?
Dan mengapa semuanya terasa begitu senyap—
seolah hanya bayang-bayang yang sedang bekerja?

Sastra, bagi Banu, adalah kerja panjang:
menulis, membaca, bersetia pada waktu,
menerima penolakan tanpa kehilangan iman pada kata.
Dan karena itulah, ia tahu: penghargaan yang lahir tanpa dasar adalah seperti bunga plastik di makam kejujuran.

Ketika Nama Menjadi Komoditas

Beberapa hari kemudian, kecurigaan itu menemukan bentuk.
Nama Denny JA muncul di daftar yang sama—
sosok yang selama ini lebih dikenal bukan karena sajaknya,
melainkan karena kemampuan luar biasanya mengatur narasi publik dan membeli panggung.

Maka tanya berganti getir:
Apakah ini permainan lama yang diulang?
Apakah sastra kini telah menjadi pasar saham reputasi,
di mana nama dijual dan dibeli seperti lembar obligasi kebanggaan?

Teman-teman sastrawan pun berbisik:
“Jangan-jangan ini permainan baru dari sang kolektor penghargaan palsu.
Sebuah sandiwara dengan naskah yang sudah disiapkan sejak awal.”

Dan Banu tahu — bisik-bisik semacam itu, betapa pun pelan,
lebih jujur dari seribu siaran pers yang megah.

Surat dari Juri dan Bayangan Skandal

Beberapa hari kemudian, muncul nama Maman S. Mahayana —
kritikus yang selama ini menjaga marwah sastra dengan pena yang tajam tapi beretika.
Ia mengirim pernyataan publik,
mengungkap bahwa ada pergantian urutan nama kandidat,
ada kejanggalan dalam proses,
dan ada aroma tak sedap yang menyelinap di balik tirai acara itu.

Maka teranglah bagi Banu:
ini bukan sekadar penghargaan, ini pertunjukan.
Dan setiap pertunjukan, katanya, butuh aktor, butuh naskah, dan butuh penonton.
Sayangnya, kali ini penontonnya adalah para penyair itu sendiri—
dipaksa menonton diri mereka menjadi alat dalam sandiwara seseorang.

Suara dari Koordinator BRICS

Lalu muncul Sastri Bakry,
mengaku sebagai koordinator resmi BRICS Literature Network di Indonesia.
Dalam pernyataan panjang yang berusaha tenang namun terasa getir,
ia bicara tentang mandat, koordinasi, diplomasi, dan prosedur.
Bahasanya rapi, terukur, seperti notulen dari rapat internasional.

Namun bagi yang peka, di antara kalimat-kalimat formal itu,
terdengar suara yang lebih tua dari politik:
suara kegamangan moraI.

a berkata, “Kami tidak bermaksud memperuncing perbedaan”. Namun kalimat itu justru menajamkan luka yang sudah terbuka. Karena salam dunia sastra, tak ada perbedaan yang lebih menyakitkan daripada perbedaan antara kata dan makna.

Tentang Denny JA dan Cermin Sastra

Nama Denny JA kini seperti simbol dari fenomena yang lebih besar.
Ia bukan sekadar individu; ia adalah arsitektur kekuasaan di tubuh sastra.
Ia membangun dunia puisi esai yang dikelilingi oleh media, juri, dan penghargaan,
tapi di tengah semua kemegahan itu,
banyak yang bertanya: di manakah puisi itu sendiri berdiri?

Apakah sastra masih tentang perenungan dan nurani,
atau sudah berubah menjadi brand, sebuah proyek komunikasi,
yang bisa disponsori, dipasarkan, bahkan direkayasa seperti iklan politik?

Banu melihat semua itu dari kejauhan,
seperti seorang petani tua yang menyaksikan ladangnya diambil alih oleh pabrik gula.
Ia tak marah—hanya sedih.
Karena ia tahu, ketika uang menjadi editor utama,
kata-kata kehilangan napasnya.

Sastra, Nama, dan Kejujuran

“Sastra,” tulis Banu dalam catatannya,
“adalah perjalanan panjang menuju kejujuran.”
Dan dalam perjalanan itu, penghargaan hanyalah halte singkat,
bukan tujuan akhir.

Sastra bukan tentang seberapa besar nama seseorang di baliho,
melainkan seberapa dalam ia menyelam ke hati manusia.
Nama yang lahir dari ambisi akan hilang bersama angin politik,
tapi nama yang lahir dari kejujuran akan tumbuh di tanah sejarahnya.

Di Antara Bayangan dan Cahaya

Kasus BRICS Literature Award ini, sejatinya,
bukan sekadar kisah klarifikasi atau rebutan panggung.
Ia adalah cermin besar bagi dunia sastra Indonesia:
tentang betapa mudahnya kita tergoda oleh kilau luar negeri,
betapa mudahnya marwah kita tergadaikan oleh sertifikat dan angka rubel.

Banu telah memilih diam,
tapi diamnya bukan tanda takut —
diamnya adalah bentuk perlawanan.
Karena dalam dunia yang terlalu banyak bicara,
kadang kesunyian adalah satu-satunya kata yang masih bermakna.

Sastra tidak perlu diselamatkan dari kebohongan;
ia hanya perlu dijaga agar tidak ikut berbohong.
Dan mungkin, seperti kata Banu di akhir klarifikasinya:

“Name or recognition is earned and fought. Not bought.”
Nama dan kehormatan tidak bisa dibeli—
ia hanya bisa diperjuangkan oleh waktu dan kejujuran.


Akhirnya,
di tengah semua keriuhan dan klarifikasi,
kita belajar satu hal penting:
bahwa sastra sejati selalu berdiri di tempat yang sepi,
jauh dari gemerlap penghargaan,
namun dekat dengan cahaya kebenaran yang tak bisa dibeli.

Cermin yang Retak di Aula Penghargaan

Pada suatu masa yang seolah berhenti di antara tepuk tangan dan gema mikrofon, sastra Indonesia menyaksikan lahirnya sebuah paradoks: seorang pria yang menamai dirinya pejuang puisi, namun langkahnya menimbulkan riak yang lebih mirip badai di danau kesunyian. Denny JA, sosok yang berdiri di tengah panggung sejarah literasi modern, tampak seperti matahari yang tak pernah padam — tetapi juga seperti matahari palsu yang memantul dari cermin kabur yang digantung di ruang penghargaan bernama BRICS Literature Award.

Sastra, yang semestinya menjadi hutan tempat roh-roh kata beristirahat, tiba-tiba berubah menjadi pasar yang ramai. Di sana, nilai dan nama diperjualbelikan seperti batu permata palsu di tangan para pedagang keliling. Puisi tak lagi diukur dari kedalaman luka, tetapi dari seberapa cepat ia bisa dikutip di media sosial dan diabadikan dalam sertifikat emas imitasi.
Dan di tengah hiruk-pikuk itu, nama Denny JA berdiri sebagai simbol kontradiksi — antara idealisme yang diumbar dan kuasa yang dikendalikan dari balik layar.

Ia menulis puisi, ya, tapi lebih dari itu: ia menulis sejarah tentang bagaimana puisi bisa diperdagangkan. Tentang bagaimana kritik bisa dibeli dengan jamuan gala dinner dan surat undangan yang berkilau. Ia menulis bab baru dalam konflik sastra Indonesia — bukan komplikasi tubuh, melainkan komplikasi makna: ketika penghargaan menjadi topeng, dan sastra menjadi panggung kabaret.

Sastra yang Terluka, Puisi yang Kehilangan Bayangan

Dalam ruang-ruang komunitas yang dulu sakral, di mana para penyair berbincang di bawah lampu redup warung kopi, kini terdengar bisik-bisik yang getir: “Apakah sastra masih murni, atau telah disterilkan oleh modal dan gengsi?”
Pertanyaan itu menggantung di udara seperti asap dupa di altar tua.

Para penulis muda, yang dahulu menulis dengan darah dan kesunyian, kini mulai menulis dengan kalender lomba dan target “trending.”
Sastra menjadi algoritma, bukan lagi nurani.
Dan di situlah, sumber konflik itu bermula — bukan dari seseorang semata, tapi dari sistem yang diciptakan oleh mereka yang ingin menjadi dewa di dunia yang seharusnya tanpa tuhan.

Namun nama Denny JA telah menjadi metafora dari zaman ini: zaman di mana penghargaan didesain sebelum karya, dan citra didahulukan dari substansi. Ia bukan penyebab tunggal, tetapi simbol paling terang dari penyakit itu — penyakit yang menjadikan keindahan sastra sekadar alat legitimasi kekuasaan.
Maka lahirlah istilah baru di meja para pengamat: konflik sastra Indonesia, di mana luka dan kejang terjadi bukan di tubuh penulis, melainkan di tubuh kesadaran kolektif kita.

Tentang Penghargaan yang Menjadi Bayangan

Penghargaan, sejatinya, adalah cermin tempat karya memantulkan kejujuran. Namun kini cermin itu retak — pecah menjadi kepingan yang memantulkan wajah-wajah yang sama.
Mereka yang duduk di kursi juri, mereka yang menulis rekomendasi, mereka yang menandatangani sertifikat — sering kali adalah bayangan dari satu figur yang sama.
Di balik setiap aplaus, ada desisan yang tak terdengar: desisan dari nurani yang menolak ikut pesta.

Dalam sejarah sastra Indonesia, kita pernah mengenal penghargaan yang lahir dari penghormatan: Chairil Anwar, Sutardji, Sapardi, Toeti Heraty — mereka tak meminta medali; mereka hanya meminta waktu untuk menulis di sunyi.
Kini, penghargaan datang bersama konferensi pers dan publikasi yang megah.
Sastra berubah dari perjalanan spiritual menjadi proyek strategis.
Dan di tengah semua itu, Denny JA seakan menjadi arsitek yang merancang kota literasi dari marmer, tapi melupakan fondasi tanahnya yang rapuh — yakni kejujuran dan kesunyian seorang penyair.

Puisi yang Ingin Pulang

Barangkali, sastra Indonesia hari ini sedang demam tinggi.
Tubuhnya panas oleh persaingan, oleh angka, oleh nama-nama yang berebut tempat di antara algoritma.
Tapi di balik demam itu, mungkin ia masih bermimpi tentang kesembuhan — tentang masa ketika puisi kembali menetes dari hati, bukan dari kalkulasi.
Mungkin, kelak, generasi baru akan menulis lagi dengan tangan gemetar, bukan dengan tangan yang menghitung jumlah penonton.

Denny JA telah menjadi bagian dari sejarah itu — baik sebagai perintis, maupun sebagai peringatan.
Ia adalah sumber komplik yang membuat tubuh sastra kita menggigil, namun justru dari rasa sakit itulah kesadaran mungkin tumbuh.
Karena terkadang, bangsa sastra butuh demam untuk menyadari bahwa ia sedang sakit.

Di Ambang Kesadaran: Sastra Setelah Luka

Setiap peradaban sastra memiliki masa ketika cermin retak dan bahasa kehilangan napasnya.
Kita telah melewati itu.
Kita hidup di zaman ketika puisi tidak lagi bergetar di dada pembacanya, melainkan menggigil di antara spanduk lomba dan daftar sponsor.
Namun dari reruntuhan itu, selalu ada yang tumbuh — seperti bunga liar yang lahir dari tanah bekas pembakaran.

Barangkali, dari komplik ini, sastra Indonesia justru sedang belajar untuk mengenali dirinya kembali.
Belajar membedakan antara pengakuan dan kepura-puraan.
Antara karya yang lahir dari jiwa dan karya yang lahir dari kalkulasi.
Dan dalam perjalanan itu, nama Denny JA — betapapun kontroversial — akan tercatat bukan sebagai pahlawan atau musuh, tetapi sebagai gejala, sebagai cermin sosial dari literasi yang terjerat dalam modernitas palsu.

Sastra Indonesia hari ini seperti tubuh yang baru sadar dari operasi besar: masih terhuyung, masih nyeri, namun matanya perlahan terbuka.
Ia melihat luka itu bukan sebagai kutukan, melainkan sebagai pintu kesadaran.
Bahwa puisi yang terlalu sering dibingkai dan dipromosikan akan kehilangan debu jalanan yang memberi napas kehidupan;
bahwa sastra sejati lahir dari perenungan, bukan dari publikasi.
Dan barangkali, justru di sanalah harapan kita mulai tumbuh — pada sunyi yang tak lagi mengejar sorotan.

Saat Sastra Menjadi Doa

Mungkin suatu hari nanti, di suatu taman budaya yang sederhana, seorang anak muda akan berdiri di depan mikrofon usang dan membaca puisinya tanpa sponsor, tanpa medali, tanpa spanduk.
Dan hadirin yang hanya segelintir itu akan merasakan getaran yang tulus — seperti getaran pertama kali Chairil menulis “Aku” dengan tangan gemetar di atas kertas usang.
Pada hari itu, sastra Indonesia akan sembuh.

Sebab sejatinya, sastra bukan tentang siapa yang mendapat penghargaan, melainkan siapa yang mampu mendengarkan gema paling sunyi dari kata.
Denny JA, dengan segala riuh dan luka yang ia tinggalkan, akan tetap menjadi bab yang tak bisa dihapus dari kitab panjang perjalanan ini.
Ia adalah bayangan di cermin yang membuat kita memeriksa wajah sendiri.
Ia adalah komplik yang menuntun tubuh ini untuk belajar mengenal sakit, sebelum akhirnya memahami makna sembuh.

Dan pada akhirnya, ketika semua penghargaan telah usang,
ketika panggung telah dibongkar,
yang akan tersisa hanyalah selembar kertas, sebaris puisi,
dan kesadaran kecil yang berbisik:

“Sastra adalah doa yang tak pernah selesai.”

Doa dari mereka yang menulis dengan darah dan nurani, bukan dengan gelar dan amplop.
Doa dari generasi yang masih percaya bahwa kata bukan alat,
melainkan rumah bagi jiwa yang ingin pulang. (*)

Sumatera Barat, Indonesia, 2025

Berita Terkait

Hening, Diam, dan Sunyi

November 11, 2025

Sepupu

November 11, 2025

Makna Pahlawan

November 11, 2025

Ziarah Pagi ke Jantung Peradaban Nusantara

November 11, 2025

Penyair Kepo

November 11, 2025

Berita Terbaru

Hening, Diam, dan Sunyi

November 11, 2025

Sepupu

November 11, 2025

Makna Pahlawan

November 11, 2025

Ziarah Pagi ke Jantung Peradaban Nusantara

November 11, 2025

Penyair Kepo

November 11, 2025