HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Indik dan Unduk

October 21, 2025 08:38
1761010483622

Catatan Paradoks: Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Kadang, yang lahir dari ketidaksengajaan justru memancing kesengajaan yang ramai.

Begitulah ketika saya menulis “tak sengaja belajar 2 SKS.” Sebuah kalimat sederhana, spontan, dan jujur—tiba-tiba menjadi ramai diperbincangkan.

Ada yang tertawa, ada yang merenung, ada pula yang langsung japri, menanyakan siapa pejabat yang saya maksud.

Saya jawab saja apa adanya, tanpa topeng, tanpa perumpamaan. Dan saya tambahkan pula, bahwa isi “kuliah” sang pejabat sebenarnya bagus—materinya kuat, penuh ambisi dan visi.

Saya juga tidak sedang membuly, apalagi menempatkan diri lebih pandai dari sang pejabat. Tidak juga ingin menjatuhkan, sebab menulis bagi saya bukanlah menebar duri, melainkan menanam benih.

Tulisan itu saya buat untuk memperkaya khazanah, agar semua—baik pejabat yang dimaksud maupun pembaca lainnya—dapat belajar dari cermin yang sama.

Di Bali, kami mengenal dua kata yang sarat makna: indik dan unduk. Dua kata yang mengajarkan keteraturan berpikir, kesantunan bertutur, dan kejelasan makna.

Indik napi nike?—itu tentang apa? Wantah sapunike indiknya, unduknya sapuniki—kalau itu maksudnya, maka beginilah semestinya cara menyikapinya.

Dengan indik dan unduk, sebuah ucapan tak menjadi liar, kritik tak menjadi caci, dan sindiran tetap punya arah positif, kata orang bijak kritik membangun.

Misalnya, jika kita berbicara indik sambutan penutupan sebuah acara besar, maka unduk-nya tentu harus mengalir dalam urutan yang wajar: ucapan terima kasih kepada panitia, peserta, pembicara, dan bila perlu juga kepada sponsor; kilas balik tentang acara yang telah berlangsung; pesan dan harapan untuk masa depan; lalu penutupan yang hangat, sopan, dan meninggalkan kesan positif.

Kadang juga diselipi doa—semoga yang dari Papua, dari Lombok, dari Nusa Tenggara Timur, pulang dengan selamat. Bisa bercengkrama lagi bersama keluarganya.

Itulah etika tutur yang menjadi bagian dari peradaban Bali—ucapan yang dirangkai dengan rasa, bukan dengan kuasa.

Maka, ketika seorang pejabat menutup acara justru dengan rentetan “kuliah dua SKS” tentang dirinya, harapannya, ambisinya, bahkan permohonan dukungan atas jabatannya sendiri, di situlah paradoks itu menampakkan wajahnya.

Acara yang seharusnya ditutup dengan rasa syukur dan harapan bersama, justru dibuka kembali dengan pidato yang menyerupai kampanye kecil.

Tulisan saya itu mestinya menjadi bahan renungan, terutama bagi mereka yang merasa dekat dengan sang pejabat. Yang sayang kepadanya. Sebab loyalitas yang sejati tidak diukur dari seberapa keras kita bertepuk tangan, tapi dari seberapa jujur kita berani mengingatkan.

Teman yang baik tidak mecik manggis, tidak terus mengacungkan jempol dan membungkuk setiap kali sang pejabat berbicara. Sebab pujian yang berlebihan bisa menumpulkan nurani, dan membuat orang bijak pun kehilangan arah.

Dan, di situlah letak paradoksnya: seorang pejabat yang berniat memberi teladan, tapi tanpa sadar justru “mengajari kodok berenang.”

Ia ingin tampak berwibawa, tapi malah kehilangan arah tutur dan makna. Ia ingin didengar, tapi lupa mendengar.

Barangkali, di dunia paradoks seperti ini, tugas seorang penulis bukanlah menilai siapa benar siapa salah, melainkan menjaga agar tutur tetap punya arah, agar pejabat tetap berpijak pada tanah, dan agar kita semua tetap belajar—meski tak sengaja, meski hanya dua SKS. ) *)

Denpasar, 21 Oktober 2025