HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Jangan Hitung Apa yang Hilang

October 20, 2025 17:44
IMG_20251020_174150

Karya Nia Samsihono
Ketua Satupena DKI Jakarta

HATIPENA.COM – Usia tua sering dianggap sebagai masa senja kehidupan, saat tubuh mulai rapuh, langkah melambat, dan dunia tampak semakin sunyi. Namun, tidak semua lansia memandang usia tua dengan getir. Ada yang menjalani hari-hari dengan senyum ringan, dengan sorot mata yang tetap hidup, meski kulit telah keriput dan rambut memutih. Mereka seakan memeluk waktu dengan damai. Apa rahasia mereka? Mengapa sebagian orang mampu menua dengan bahagia, sementara sebagian lain merasa terasing dari dirinya sendiri?

Kebahagiaan pada usia lanjut bukanlah kebetulan. Ia lahir dari proses panjang berdamai dengan diri sendiri, menerima kehidupan apa adanya, dan menemukan makna baru ketika banyak hal telah berkurang. Di masa muda, manusia sering sibuk mengejar: karier, cinta, pengakuan, atau harta. Namun, di masa tua, yang dicari justru ketenangan. Rahasia lansia bahagia terletak pada kemampuan untuk melepaskan, yaitu melepaskan penyesalan, luka, dan keinginan yang tak mungkin terwujud.

Seorang nenek di kampung pernah berkata sambil menjemur pakaian, “Kunci bahagia di usia tua itu sederhana: jangan hitung apa yang hilang, tapi syukuri apa yang masih ada.” Kalimat itu mungkin terdengar klise, tapi di situlah inti kebijaksanaan hidup. Lansia yang bahagia bukan berarti hidupnya tanpa kehilangan. Mereka justru telah berkali-kali kehilangan. Kehilangan orang yang sangat dicintai, kehilangan pasangan, kehilangan sahabat, kehilangan kesehatan, atau kehilangan masa muda. Namun, dari kehilangan itulah mereka belajar: bahwa kebahagiaan tidak lagi bergantung pada kepemilikan, melainkan pada penerimaan.

Psikologi modern menyebut tahap ini sebagai integritas versus keputusasaan, menurut teori Erik Erikson. Pada tahap akhir kehidupan, seseorang meninjau kembali perjalanan hidupnya: apakah ia merasa puas dan bersyukur, atau justru menyesal dan pahit hati. Lansia yang bahagia umumnya mencapai integritas batin. Mereka mampu melihat masa lalu tanpa penolakan. Mereka menerima bahwa hidupnya tak sempurna, tetapi tetap berharga.

Selain penerimaan diri, rahasia kebahagiaan lansia juga terletak pada keterhubungan sosial. Banyak penelitian menunjukkan bahwa rasa sepi lebih berbahaya daripada penyakit kronis. Lansia yang memiliki teman berbicara, komunitas tempat berkegiatan, atau sekadar tetangga yang ramah, cenderung lebih sehat dan panjang umur. Koneksi sosial menjaga api kehidupan tetap menyala. Tidak heran bila di banyak desa, para lansia tampak lebih ceria: mereka masih bercengkerama di pos ronda, pergi ke sawah bersama, atau sekadar duduk di teras sambil minum teh. Sementara itu, di perkotaan, banyak lansia yang hidup sendiri di apartemen, terputus dari dunia sekitar. Modernitas telah menciptakan jarak, anak sibuk bekerja, cucu sibuk belajar, dan waktu bersama menjadi langka. Padahal, kebahagiaan di usia lanjut sering kali tumbuh dari hal-hal kecil, suara tawa keluarga, pelukan cucu, atau kesempatan bercerita tentang masa muda. Lansia tidak membutuhkan banyak materi; mereka hanya butuh didengarkan dan dihargai.

Rahasia lain yang sering luput diperhatikan adalah tujuan hidup. Ketika pensiun tiba, banyak orang merasa hidupnya berhenti. Padahal, justru di situlah kesempatan untuk memulai bab baru. Lansia yang bahagia biasanya memiliki aktivitas bermakna, entah menjadi Ketua RW, mengajar, berkebun, mengaji, menulis, atau merawat cucu. Aktivitas sederhana yang memberi rasa berguna. Dalam psikologi positif, hal ini disebut purpose in life—makna yang membuat seseorang tetap merasa hidup.

Ada pula dimensi spiritual yang menjadi penopang kebahagiaan. Seiring bertambahnya usia, manusia makin dekat dengan pertanyaan-pertanyaan besar tentang hidup, mati, dan tujuan keberadaan. Banyak lansia menemukan kedamaian lewat doa, meditasi, atau ibadah rutin. Spiritualitas menjadi jembatan antara keterbatasan tubuh dan kelapangan jiwa. Dalam keheningan, mereka menemukan kesadaran bahwa hidup adalah anugerah, bukan perlombaan.

Rahasia lansia bahagia tidak hanya datang dari dalam diri, melainkan juga dari cara masyarakat memperlakukan mereka. Di budaya-budaya Timur, orang tua dipandang sebagai sumber hikmah. Mereka dihormati, dilibatkan, dan dijaga. Menjadi tua bukan aib, melainkan anugerah yang patut dirayakan. Di banyak tempat di Indonesia, misalnya, para lansia masih memegang peran penting dalam upacara adat, nasihat keluarga, atau kegiatan keagamaan. Mereka dihormati bukan karena produktivitasnya, tapi karena kebijaksanaannya. Sayangnya, modernitas kadang menyingkirkan nilai-nilai itu. Lansia sering dianggap beban ekonomi, bukan sumber kebijaksanaan. Padahal, bangsa yang menghormati orang tua adalah bangsa yang menghormati sejarahnya sendiri. Dalam setiap keriput wajah mereka, tersimpan kisah perjuangan, kesetiaan, dan cinta yang tak terhitung.

Rahasia terakhir dari kebahagiaan lansia mungkin terletak pada humor. Ya, kemampuan untuk tetap tertawa di tengah keterbatasan. Banyak lansia yang masih bisa menertawakan dirinya sendiri, misalnya lupa menaruh kacamata, salah menyebut nama, atau gagal menyalakan ponsel. Tawa kecil seperti itu bukan sekadar hiburan, tetapi tanda jiwa yang lentur. Lansia yang bahagia tahu bahwa hidup terlalu singkat untuk disesali terus-menerus.

Menjadi tua memang tak bisa dihindari, tapi menua dengan bahagia adalah pilihan. Ia tidak datang dari harta, status, atau tubuh yang abadi. Ia tumbuh dari hati yang tenang, dari kemampuan bersyukur setiap pagi, dari kebiasaan memaafkan masa lalu, dan dari semangat mencintai hidup meski hari-hari tak lagi muda.

Pada akhirnya, rahasia lansia bahagia bukanlah sesuatu yang rumit. Ia adalah seni kecil untuk tetap hidup sepenuhnya di tengah sunyi, di tengah keterbatasan. Seperti bunga yang masih mekar di musim kering, mereka mengajarkan kepada dunia bahwa kebahagiaan bukan soal berapa lama kita hidup, tapi seberapa dalam kita mencintai kehidupan itu sendiri. (*)

Jakarta, 18 Oktober 2025