HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Jeda

September 21, 2025 19:46
IMG-20250921-WA0045

(Catatan Perayaan Ulang Tahun)

Oleh Mila Muzakkar

HATIPENA.COM – Hari ini aku udah 39 tahun.
Hmm…Angka yang cukup banyak, ya.

Apa yang aku lakukan hari ini?
Tiup lilin dan potong kue? Bukan.

Sejak pagi aku memilih keluar rumah, menghabiskan waktu di suatu tempat. Sendiri. Aku ingin JEDA.

Hal pertama yang kulakukan setelah bangun tidur adalah bersyukur. Bahwa sampai detik ini Tuhan masih memberiku kehidupan, lengkap dengan segala rasa: senang dan sedih, tawa dan air mata.

Lalu, aku meluncur ke kampus UNJ di Rawamangun, untuk mengisi Talkhsow tentang Self Growth. Acara ini diadakan oleh Komunitas Girl Up UNJ berkolaborasi dengan Komunitas Perempuan Muda Tangguh.

Di hadapan 45 mahasiswa, aku berbagi tentang bagaimana mengenal dan mengekspresikan emosi secara Konstruktif. Beberapa pertanyaan dan pernyataan muncul dari peserta setelah aku selesai bicara. Ini menandakan, topik ini sangat relate dengan kondisi sehari-hari mereka sebagai anak muda.
Ini kesyukuran keduaku, bisa terpanggil dan terpilih berada di antara mereka yang membutuhkan.

Jam 12.00, aku cabut dari UNJ, mencari tempat di mana aku akan menghabiskan hari. Setelah cek google, keluarlah alamat JCO Donut & Bakery Rawamangun.

Kupilih posisi kursi yang nyaman, agak mojok, kalau perlu yang bisa sambil setengah rebahan. Dengan modal 45.000, aku sudah bisa menikmati es coklat dan dua donat coklat, favoritku.

Hari ini aku makan tanpa beban. Nggak ada kata “jaga pola makan”, “diet”, atau “kolesterol”. Semua itu nggak laku. Aku cuma pengen makan apa yang kusuka. Tanpa stigma gendut, tanpa khawatir gula, tanpa takut wajah belepotan.

Hand phone kusimpan agak jauh. Aku berupaya nggak melihat WA, atau membuka medsos. Setidaknya aku menantang diri. Lumayan berhasil. Aku hanya ingin dengan diri sendiri. Tanpa distraksi atau beban dari apapun atau siapa pun.

Perut sudah aman. Keinginan sudah terpenuhi. Kubuka plastik buku berwarna kuning di meja, buku beberapa bulan lalu aku beli, tapi belum juga dibaca. Bukan nggak ada waktu atau karena sibuk banget, tapi aku yang nggak mengatur waktu untuk membacanya.

Social Intelligence, buku yang ditulis Daniel Goleman (lanjutan dari buku Emotional Intelligence), aku lahap hingga 30 halaman lebih. Ini agak spesial, karena biasanya-setidaknya selama era medsos merajai dunia ini- kemampuan membacaku cukup menurun. Biasanya hanya sekitar 3-7 halaman sekali baca. Ini salah satunya karena banyaknya distraksi di sekitarku.

Baru aja halaman awal, buku ini udah membuka tabir era modernitas, terutama soal sisi lain dari kemajuan teknologi.

Semakin banyak orang nggak mendengar, bukan karena mereka tuli. Tapi karena telinga mereka tertutup earphone. Yang nggak melihat pun semakin banyak. Bukan karena mereka buta, tapi matanya terlalu sibuk menatap layar di hadapannya. Mereka sibuk dan merasa lebih hidup dengan playlist musik yang mengalun di telinganya. Mereka larut dalam drama yang disusun sang sutradara, berupaya mencari validasi dari cerita-cerita yang berserakan di medsos.

Goleman menggambarkan manusia sekarang kayak gitu. Teknologi melahirkan “autisme sosial”.
Padahal, Ilmu saraf menjelaskan bahwa rancangan otak itu sendiri membuat otak suka bergaul. Otak butuh terkait dengan otak.

Atau simpelnya, otak seseorang butuh berhubungan dengan otak orang lain secara nyata. Bukan secara maya.
Untuk apa? Untuk menyelaraskan emosi, menyehatkan tubuh, sekaligus menguatkan jiwa.

Duh, jleb banget. Sentilan Om Goleman memang fakta, nggak sih?
Belum lagi kalau bicara isu teknologi kekinian, misalnya penyalahgunaan AI, lebih jauh itu efeknya.

Aku berhenti sejenak.
Langsung self cheking.
Apakah aku juga udah terjebak dalam autisme sosial?
Berapa lama aku scrolling medsos atau cek WA dalam sehari?
Jangan-jangan aku termasuk golongan mereka yang terlalu sibuk hidup di dunia maya?

Sisa coklat panas kuseruput. Dan aku kembali berkencan dengan Golman lewat lembar-lembar pemkirannya.
Hingga aku tertidur di sofa. Sambil memeluk tas.

Ketika tersadar, mata terasa lebih segar. lanjut journaling:
“Di usia 39 tahun ini, udah ngapain aja Mila?
Apa yang perlu kamu syukuri & perlu kamu apresiasi?”
Dua pertanyaan besar itu aku isi di buku catatan.

Dan aku baru sadar, udah jarang banget nulis pake pulpen dan tangan. Lagi-lagi era modern dan teknologi membiasakan kita menulis di gadget. Seperti ada sensasi lain yang menyenangkan ketika aku menulis dengan tangan.

Pertanyaan yang paling penting setelahnya, mau ngapaian aku ke depan: Di keluarga, di tempat kerja, di komunitas?
Karya apa lagi yang perlu aku buat?
Siapa lagi yang butuh kehadiranku?

Aku Lalu memetakannya dengan tulisan tangan lagi, di buku catatan.

Kulirik HP. Alamak, sudah hampir magrib.
Oke, waktu dengan diriku sendiri cukup sampai di sini.

Jeda dari berisiknya dunia, meski hanya beberapa jam saja, membuat lega, tenang, senang, puas, dan kembali membakar semangat baru. Untuk hidup lebih baik, lebih bermakna.

Adzan magrib mengiringi langkahku keluar dari Cafe. Abang gojek sudah menanti di depan.

Tiba di rumah, aku mengajak keluarga jalan-jalan malam. Dimulai dari makan nasi uduk di pinggir jalan, yang tiap malam ramai pengunjung.

Lanjut ngopi sambil ngobrol di Cafe, di dalam hunian salah satu Kawasan perumahan besar di Sawangan. Letaknya nggak terlalu jauh dari rumah. Di depan cafe, ramai warga menikmati malam.

Cafe tutup, kami pun memilih jalan sambil ngobrol di sepanjang kawasan perumahan. Sesekali kami jalan cepat. Sebut saja, sekalian olahraga. Kije bahkan meminta lomba lari. Aku berusaha mengabulkan permintaanya.

Begitulah kami membunuh malam.
Begitulah aku merayakan ulang tahun. (*)

20 September 2025