Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Kalau Bukan Siapa-siapa Jangan Berlagak Sebagai Siapa…

January 13, 2025 15:42
IMG-20250113-WA0062

Catatan Pinto Janir

SEORANG sahabat diri curhat padaku. Aku mendengar ia muntah. Muntah kayak. Kudengarkan saja ia. Kusimak. Menggelegak ia tampaknya. Entah pada siapa ia madap.

Ini curhatnya itu :

Kalau dibilang penyair, dia belum pantas dan belum patut diakui atau disebut sebagai seorang penyair.

Mengapa?
Karena, puisinya masih puisi kebanyakan. Puisi baru belajar berpuisi.

Kalau dibilang sastrawan, olala tak semudah itu diakui sebagai seorang sastrawan.

Kadarnya, baru kadar penulis yang mulai agak lumayan menyusun kata menjadi kalimat, kalimat menjadi alinia. Tapi ia dengan sangat pede selalu mengakui dirinya sebagai seorang sastrawan.

Hahahaha.

Kalau dibilang kritisi sastra, belum pula pantas dan patut ia ditahtakan ke magom pikiran mulia sastra.

Mengapa?
Karena, daya kritiknya kurang cerdas. Seperti daya kritik orang-orang yang baru belajar kritik sastra.

Kalau dibilang budayawan, budayawan yang bagaimana?

Pantat !

Cakrawalanya masih berlangit tempurung. Yang berlebih bagi dia itu adalah rasa percaya dirinya yang bersijadi benar. Pedenya yang gila. Pangananya tak selaras bayang bayang. Bayang bayangnya mengkhianati badan.

“Sastraku ngilu menyaksikan sebuah sumur kering. Inilah dia nan semamang ; Sumur tanpa mata air adalah air mata bagi para penimba”.

Saya menyimaknya ketika ia memaksakan diri mengumpakan batang kepalanya sebagai sumur. Ia sumur-sumurkan dirinya walau tanpa mata air sekalipun. Ia, sebenarnya sumur kering yang berlagak berisi penuh.

Intelektualnya pun menanggung. Karyanya ada. Mungkin satu,dua atau tiga. Dengan baru memulai belajar bagaimana cara berkarya, ia hendak diakui pula sebagai guru.

Semua orang habis ditawarnya. Tapi, jangan aku. Cair kau nanti !

Di saat batu sudah berlumut, kau hanya baru seumpama. Seumpama sudah berlumut pula. Di saat orang sudah berurat berakar, kau masih seumpama juga baru. Seumpama ada urat.

Kau baru masuk ke tahap bibit yang baru pindah dari polibeg ke tanah.

Tapi, kau pede !
Itu yang membuat aku kerek.
Gila.
Ampun bang jago.

Ia aku-akui dirinya sendiri yang sebenarnya untuk dirinya sendiri saja, jangankan berlari, tegak saja ia belum lurus.

Ia bocah kecil yang tersasar ke dunia yang sebenarnya bukan zonanya. Ini adalah zona budaya, dik !

Zonanya para pemikir melahirkan karya. Zonanys para filsuf membukakan cakrawala.

Ia ada sedikit belajar teori, itupun teori dangkal.

Ih, kasihan aku !

Ia tidak tahu rimba mana yang sedang ia masuki. Bicara sembarang terasa. Tak ia pikir. Tak ia ukur bayang sepanjang badan.

Bagi saya, dia adalah sebuah keharuan di panggung sastra yang tak boleh dibiarkan berlama-lama. Kasihan kita.

Pikirannya kurang dalam. Pangananya kurang jauh. Ia lupa bahwa bumiku Minangkabau, langitku Indonesia.
Lawik sati, rantau batuah.

Ia anak tadi pagi yang tak tahu bahwa matahari sore itu indah. Bulan bulat di malam hari itu, syahdu.

Dik…
Ini dunia sastra. Dunia orang berpikir. Dunia orang cerdas. Dunia menjaring diksi nan tak semata dunia catatan kaki.

Kau tak akan pernah paham dunia kepenyairan selagi tulisan dan lisanmu belum memadai memasuki belantara kata.

Tunggu…
Jangan dulu bicara budaya. Itu belum makananmu. Jangan dulu bicara berkesenian. Itu bukan ruangmu.

Belajar banyak-banyak ya, Dik.

Rajin belajar. Rajin mendengar. Rajin menyimak. Rajin melihat. Rajin memandang.

Hidup dan berkarya itu berproses Dik. Tak bisa instan. Tak bisa dikarbit.

Tekun. Konsen. Total. Jangan terlalu lekas merasa hebat atau besar di saat mana kau baru masuk ke dalam satu proses, dik.

Dik…
Kau jangan sok kritis. Makin kau kritis. Makin tahu orang sebalik bahwa kau kritis hanya untuk mempertontonkan ketidaktahuan dan ketidak pahamanmu tentang masalah yang kau kritik.

Dik, kupaslah apa apa yang benar benar kau pahami. Kalau tak paham, bagusnya diam menyimak. Tahan untuk jangan memberikan pendapat pada sesuatu yang tak kau pahami dengan masak.

Kalau kau bicara, yakinlah, kau dilambut oleh kebodohan kau sendiri.

Jangan sampai kau terjebak pada “bias blind-spot” !

Kalau belum belajar , jangan perlihatkan kekonyolan. Digantang orang isi kepala dan isi perutmu nanti.

Kau orang cayah yang berlagak berat.

Ini dunia pengakuan. Pengakuan bukan ngaku-ngaku sendiri sebagai A,B,C atau D.

Semangat, Dik.
Walau di mataku kau belum masuk hitungan, tapi tetaplah semangat. Teruslah berproses.

Siapa tahu, suatu saat kau bisa menjadi apa yang kau pikirkan. Kuberi kau keyakinan bahwa “pikiran adalah energi”.

Malu aku sebagai abangmu !

Semangat Dik. Tapi, ingat kata nan empat. Sawah berpematang. Nagari bertuan dan bertuah. Ini nagari para pujangga. Ini nagari sarang para sastrawan.

Kau salah masuk ! “.

Aku hanya mendengar. Tak mau ikut terpancing emosi. Aku juga takut terpancing emosi. Kasihan dia. Nasihatku pada sahabat itu adalah , anak kecil jangan ladeni.
Kalau ia masih melawan, beri saja ia sedikit pelajaran bagaimana cara bersopan santun dengan lembut.