Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Keluar atau Sekadar Mengeluh

December 23, 2024 11:19
Foto: Kecerdasan Buatan
Foto: Kecerdasan Buatan

SETIAP kali Timnas gagal di Piala AFF, cerita ini selalu berulang. Kekalahan demi kekalahan terasa seperti babak baru dari sinetron yang tak ada ujungnya. Kali ini, Filipina jadi antagonis utama, dibantu wasit yang konon lebih layak memimpin festival drama ketimbang pertandingan sepak bola. Skor 0-1. Indonesia tersingkir. Seperti biasa, desakan untuk keluar dari AFF menggema lagi, lantang dan penuh amarah.

“Keluar saja dari AFF! Apa gunanya ikut kalau selalu dicurangi?” seru netizen. Desakan itu menyeruak, seperti api kecil yang disiram bensin. Dalihnya sederhana, turnamen ini cuma buang waktu, energi, dan perasaan. Toh, AFF bukan agenda resmi FIFA. Apa untungnya? Bukankah lebih baik fokus ke turnamen yang lebih bergengsi?

Bayangkan, Wak! Jika Indonesia benar-benar keluar. Apa yang terjadi? Mungkin kita bisa mulai bermimpi melawan Jepang atau Korea Selatan. Lawan yang lebih kuat, lebih kejam, dan jauh lebih siap menggilas Timnas kita. Di atas kertas, itu mungkin terlihat heroik. Tapi apa jadinya jika kita kalah 0-10? Atau lebih parah, jika pertandingan selesai sebelum Timnas sempat mencetak peluang? Apakah kita siap?

Namun, tetap saja, keluar dari AFF selalu terdengar seperti keputusan berani. Tidak ada lagi drama dicurangi wasit. Tidak ada lagi “pertandingan penuh darah” melawan Thailand atau Vietnam yang kerap diwarnai kartu kuning dan keributan di lapangan. Tidak ada lagi alasan untuk kecewa berlebihan karena kalah di turnamen yang dianggap tidak penting.

Tapi, apakah benar sesederhana itu? Keluar dari AFF artinya kita kehilangan panggung. Panggung untuk belajar, meski dari kekalahan. Panggung untuk para pemain muda, meski diwarnai caci maki. Panggung untuk membuktikan bahwa kita mampu, meski lebih sering gagal.

Piala AFF, suka atau tidak, adalah cermin kita. Cermin yang selalu menunjukkan kelemahan. Dari lini pertahanan yang sering lupa pulang, hingga lini serang yang lebih sibuk mencari alasan daripada gol. Keluar dari AFF hanya akan memecahkan cermin itu, tanpa pernah benar-benar menyelesaikan masalah.

Ketua PSSI, Erick Thohir, berjanji akan melakukan evaluasi besar-besaran. Janji yang terdengar akrab, karena ini bukan pertama kalinya diucapkan. Evaluasi yang katanya akan menyentuh segala aspek. Dari pemain, pelatih, hingga strategi. Tapi mari kita jujur. Evaluasi ini sering kali tak lebih dari sekadar pidato panjang di depan kamera. Ketika sorotan meredup, janji-janji itu pun ikut pudar.

Lantas, apa yang harus kita lakukan? Keluar dari AFF? Tetap bertahan dan berharap? Atau, mungkin, berhenti mengeluh dan mulai benar-benar bekerja?

Drama ini akan terus berlanjut, selama kita tidak mau berubah. AFF, FIFA, atau apapun namanya, hanya panggung. Dan Timnas Indonesia, sayangnya, masih sibuk menjadi pemain figuran di atasnya.

Keluar dari AFF bukanlah solusi jika kita hanya ingin lari dari kenyataan. Karena masalah sesungguhnya bukan pada turnamennya, tapi pada diri kita sendiri.

#camanewak

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar