Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Mari kita tuntaskan kasus Kepsek menampar siswa karena merokok. Si Kepsek sekarang dinonaktifkan. PGRI diam seribu bahasa. Si ibu siswa masih ngotot lapor polisi. Terbaru, ada seruan bebaskan saja sekolah dari merokok. Makin absurd saja dunia pendidikan. Simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Di negeri di mana murid bisa mogok karena ditampar gara-gara ketahuan merokok, kita patut bertanya, siapa sebenarnya yang butuh dibina, muridnya atau logika para pengambil kebijakan? Dini Fitria, kepala sekolah yang konon berwajah teduh, suara lembut, dan sabarnya setara malaikat shift malam, kini dijadikan kambing bakar dalam pesta asap birokrasi. Padahal, yang ia hadapi bukan murid yang kehausan ilmu, tapi kehausan nikotin, asapnya masih ngebul, tapi bibirnya bersumpah suci, “Saya tak merokok, Bu.”
Negara pun bergetar. Gubernur Banten, Andra Soni, dengan kekuatan super-saiyan administratifnya langsung menonaktifkan Dini. Ia seolah sedang memadamkan kebakaran hutan yang disebabkan sebatang rokok siswa. Tindakan cepat? Ya. Tepat? Entahlah. Karena, jujur saja, kalau setiap guru yang mendisiplinkan siswa harus dicopot, sebentar lagi sekolah-sekolah di Indonesia akan dipimpin oleh Google Form.
Sementara itu, PGRI, yang mestinya menjadi Avengers-nya para guru, entah sedang sibuk di mana. Barangkali sedang rapat membahas “Pedoman Nasional Menyikapi Kasus dengan Bahasa Hati”, atau sekadar menunggu arah angin opini publik. Belum ada pernyataan resmi, belum ada suara, belum ada kepulan solidaritas. Padahal, Dini Fitria sudah setengah jadi korban eksperimen sosial, diuji kesabarannya, diuji kejujurannya, dan sekarang diuji kelayakannya jadi kambing hitam.
Mari kita berandai-andai. Andai saja Dini tak menegur, mungkin sekolah itu sudah berubah jadi Smoking Area Negeri. Slogan di gerbangnya bisa ditulis besar-besar, “SMAN 1 Cimarga – Asapmu, Identitasmu!” Kelas-kelas dilengkapi ventilasi turbo, dan guru BK punya sertifikat konselor nikotin. Setiap Jumat Bersih, bukan sapu yang dibagikan, tapi korek api. Upacara bendera diganti dengan “Pembakaran Bersama”.
Tentu saja, muncul manifesto absurd dari generasi yang katanya mogok belajar itu, “Kami percaya, asap rokok adalah simbol kebebasan, aroma perjuangan, dan bukti eksistensi di tengah tekanan tugas matematika.”
Ada pula tuntutan yang akan membuat Plato menepuk jidat dari alam sana. Setiap siswa berhak atas satu batang rokok saat upacara bendera. Kantin wajib menjual rokok herbal lokal untuk mendukung ekonomi kreatif. Pelajaran biologi diganti dengan “Evolusi Nikotin pada Remaja.”
Sementara Gubernur Andra Soni tampak gagah di depan kamera, dengan wajah penuh tekad menyelamatkan dunia dari kekerasan edukatif. Tapi lupa, pendidikan tanpa disiplin hanyalah taman bermain dengan WiFi. Ia menonaktifkan kepala sekolah yang menegakkan aturan, tapi diam terhadap murid yang menyalakan api di tengah sekolah. Ironi yang begitu pekat sampai bisa dihirup, tanpa filter.
Di pojok ruang guru, mungkin Dini Fitria duduk diam, menatap kosong. Ia tahu, dalam sistem yang sedang kehilangan arah ini, yang bersalah bukan yang melanggar, tapi yang mencoba menegakkan kebenaran tanpa menunggu izin birokrasi. Ia tak marah, hanya kecewa. Katanya, “Saya ASN, saya siap menerima keputusan Gubernur.” Kalimat yang sederhana tapi getir, karena ketegasan kini dianggap dosa administratif.
Lalu di mana PGRI? Entah. Mungkin sedang menyusun press release dengan kalimat paling aman di dunia, “Kami menyerukan kedamaian, evaluasi, dan introspeksi.” Padahal, guru di lapangan sedang berperang antara nurani dan peraturan yang bisa berubah tergantung trending topik.
Mungkin sudah saatnya kita bentuk gerakan baru, “Aliansi Guru Anti-Dinonaktifkan (AGAD)”. Semboyannya? “Kalau salah menampar murid bisa dicopot, bagaimana dengan murid yang menampar martabat sekolah?”
Karena di negeri ini, tampaknya, bukan lagi rokok yang berbahaya, tapi logika yang sudah ikut terbakar. (*)
#camanewak
Foto AI, hanya ilustrasi