Oleh : Nurul Jannah
Kisah dari Desa Wisata Menanti Laburan, Padang Panjang; Tanjung, Kalimantan Selatan
Langit Terik di Desa yang Bertumbuh dari Ketulusan
Pagi itu, matahari baru merangkak naik di ufuk timur ketika mobil kami menelusuri jalan desa yang rindang di Padang Panjang. Dedaunan bergoyang lembut, seolah menyanyikan doa hijau bagi siapa pun yang datang membawa niat baik. Lorong alami itu berdesir di bawah angin, seperti bumi yang berbisik, “Selamat datang di rumah kesadaran.”
Aku ditemani Pak Andi, CSR Project & Administration Section Head PT Adaro Indonesia, yang selalu menatap sekitar dengan senyum khasnya, hangat dan optimis.
“Bu, nanti kita ketemu Ketua BUMDes, Pak Sohidin,” katanya sambil menunjuk papan biru besar bertuliskan: “Desa Padang Panjang : Kawasan Wisata Menanti Laburan.”
Tulisan putih itu tampak berpendar di bawah cahaya siang yang mulai menyengat. Bukan semata plang atau papan nama, melainkan penanda harapan; tanda lahirnya sebuah desa yang bertumbuh bukan dari modal besar, tetapi dari hati yang tulus dan tekad yang bersih.
Transformasi dari Tambang Menuju Kehidupan
Dulu, desa ini hanyalah kampung sunyi di tepian tambang. Namun pada tahun 2019, bara perubahan mulai menyala, bukan dari tungku industri, melainkan dari semangat manusia. Melalui program CSR, PT Adaro Indonesia berkomitmen menghadirkan kehidupan baru bagi masyarakat sekitar tambang. Bukan dengan janji, melainkan dengan bukti nyata.
Di bawah naungan pohon mangga tua, Pak Sohidin, Ketua BUMDes, bercerita dengan nada penuh syukur.
“Dulu kami punya lahan sekitar lima hektare, Bu. Nilai aset yang dibebaskan waktu itu lima miliar. Tapi Adaro menggantinya bukan senilai itu, melainkan tujuh miliar, dalam bentuk lahan baru hasil tukar guling.”
Ia menatap jauh ke hamparan tanah hijau di depannya, “Penilaiannya dilakukan oleh tim appraisal independen, pihak ketiga yang objektif. Adaro tidak hanya mengganti, tapi memberi lebih. Nilainya bukan hanya rupiah, tapi penghormatan terhadap martabat desa.”
Pak Andi menambahkan, “Untuk pengembangan wisata dan fasilitasnya, kami anggarkan melalui program CSR, bukan dari tukar guling. Tukar guling murni berbentuk aset lahan. Sedangkan pembangunan taman, jalan akses, dan area publik, itu bagian dari komitmen sosial kami.”
Kolaborasi ini menjadi bukti bahwa pembangunan sejati lahir dari rasa saling menghargai, bukan saling menggantikan.
Asa yang Tak Padam di Tengah Pandemi
Pandemi sempat mengguncang. Tahun 2020, saat dunia berhenti bergerak, desa ini memilih tetap bernafas.
Pak Sohidin mengenang masa itu dengan mata berkaca.
“Covid memang berat, Bu. Tapi warga tidak menyerah. Kami tanam pepaya, beternak ayam, merawat taman, dan membuka kios kuliner bersama agar warga tetap bisa berjualan. Kami percaya, kerja juga ibadah.”
Pak Andi menatap jauh ke arah kolam dan taman hijau yang kini kembali hidup.
“Kalau bukan karena semangat warga,” katanya lirih, “semua ini mungkin tinggal cerita.”
Dan memang, di sinilah letak makna sejati CSR, bukan tentang laporan dan grafik, tapi tentang keberanian manusia untuk bertahan. CSR sejati tak berhenti pada corporate responsibility, melainkan tumbuh menjadi tanggung jawab jiwa, soul responsibility.
Padang Panjang: Harmoni Alam dan Nurani
Siang merambat tinggi, namun sinar matahari menembus lembut di sela pepohonan menuju Kawasan Wisata Menanti Laburan.
Burung-burung putih berputar di atas kandang terbuka. Di sana, Pak Sohidin menebar pakan sambil tersenyum kecil.
“Kalau burung-burung ini tenang,” katanya, “itu tandanya desa juga damai. Alam tahu siapa yang tulus menjaga.”
Kata-katanya menggema dalam hati. Alam memang tidak bisa dibohongi; ia menampakkan wajahnya sesuai cara manusia memperlakukan. Dan perusahaan, dengan segala kekuatannya, telah memilih menyatu dengan nurani, bukan menaklukkan. Mereka tidak hanya memperbaiki tanah, tapi juga menyembuhkan hubungan antara industri dan kemanusiaan.
Suara dari Langit dan Tanah
Sebelum berpamitan, aku bertanya satu hal lagi, “Kalau boleh berharap, apa yang Bapak inginkan untuk desa ini lima tahun ke depan?”
Pak Sohidin menatap langit biru yang terbentang luas di atas sawah.
“Saya hanya ingin anak-anak kami bangga lahir di sini, Bu. Bukan di kota, bukan juga di tambang, tapi di tanah yang kami rawat dengan cinta dan dengan tangan sendiri.”
Pak Andi menatapku, tersenyum penuh makna. Dalam diamnya tersimpan pesan bahwa CSR sejati bukan kewajiban, melainkan panggilan jiwa.
Jejak Cinta di Tanah Bekas Tambang
Perjalanan pulang siang itu terasa seperti membaca puisi panjang tentang kehidupan. Jalan berliku di antara bukit dan sawah seolah ingin berkata: setiap pembangunan sejati dimulai dari cinta, dan cinta tidak pernah berhenti di laporan.
Aku merenung dalam diam. Ya, CSR sejati bukan hanya tentang memberi, tapi tentang menyambung kehidupan. Bukan tentang citra, tapi tentang cinta.
Dan di Padang Panjang, cinta itu tumbuh dari tangan-tangan sederhana yang menanam harapan di tanah bekas tambang, menyiraminya dengan kerja keras dan kesetiaan, hingga akhirnya berubah menjadi taman kehidupan yang memberi nafas bagi banyak jiwa.
Aku menoleh ke belakang, melihat papan biru yang perlahan menjauh: “Desa Padang Panjang : Kawasan Wisata Menanti Laburan.”
Dan di hatiku, aku tahu, inilah bukti cinta paling tulus antara manusia, bumi, dan perusahaan. Cinta yang lahir dari luka, tumbuh dari kesabaran, dan berbuah menjadi keindahan yang menenangkan semesta. (*)
Bumi Allah, 16 Oktober 2025