HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Ketika Guru Agama Itu di Pesantren Menjadi Pemangsa Seksual

October 3, 2025 11:07
IMG-20251003-WA0017(1)
  • Pengantar Buku “Nyala Cinta Puisi Esai” (2025)

Oleh Denny JA

Mukena dilucuti paksa, hati remuk tersayat benci,
Tak ada kitab, tak ada cinta,
Melainkan penderitaan tersembunyi dalam pelukan dusta.”

—Dewi Arimbi, Api dalam Cahaya

HATIPENA.COM – Puisi ini membuka luka yang seharusnya tidak pernah ada. Ia berbicara tentang pesantren, rumah yang mestinya suci, tempat ilmu dan doa bertumbuh.

Namun justru di balik dinding itu, terjadi pengkhianatan paling kelam: guru agama yang semestinya menjaga, justru meremukkan jiwa santriwati dengan nafsu yang menyesakkan.

Kekuatan puisi Dewi Arimbi bukan hanya pada gambaran peristiwa, tetapi pada keberaniannya menyingkap paradoks. Di dalam rumah cahaya, ternyata ada api gelap yang membakar.

Kata-katanya mengalir dengan lirih sekaligus tajam, mengingatkan kita bahwa suara korban tak boleh padam, dan bahwa keberanian lahir justru dari luka terdalam.

-000-

Puisi esai Dewi Arimbi, sebagaimana puisi esai lainnya, selalu berdasarkan kisah sebenarnya.

Sejak 2016, di sebuah pesantren di Bandung, rahasia kelam disembunyikan di balik tembok yang semestinya suci.

Seorang guru agama berinisial HW—yang dipandang panutan, pengawal ilmu dan cahaya—justru menjelma menjadi pemangsa.

Ia menjerat 13 santriwati, yang datang dengan harapan tulus menimba ilmu, namun pulang dengan luka yang tak terucap.

Bertahun-tahun mereka diam. Rasa takut, tekanan sosial, dan bayang-bayang kuasa membuat bibir mereka terkunci.

Baru pada 2021, keberanian itu pecah. Suara-suara korban menyeruak, mengubah aib menjadi tuntutan keadilan. Publik pun terperanjat: betapa di balik mukena dan kitab, bisa tersembunyi penderitaan yang mencekam.

Proses hukum pun berjalan. Komnas Perempuan menyebut kasus ini sebagai “gunung es” kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama.

Di ruang sidang, tuntutan hukuman maksimum bergema. Ada yang menginginkan hukuman mati, sebagai simbol bahwa kejahatan ini tak boleh ditoleransi.

Kasus HW akhirnya menjadi simbol lebih besar: betapa rapuhnya ruang-ruang tertutup dengan otoritas tunggal. Ia mengingatkan kita bahwa tanpa pengawasan dan transparansi, kesucian bisa diperalat untuk menutup luka.

Namun dari sunyi para santriwati itu lahirlah api keberanian. Suara mereka bukan hanya melawan seorang predator, tetapi juga mengguncang sistem yang terlalu lama membiarkan gelap bersarang di rumah cahaya.

Di titik itu kita belajar: diam adalah sekutu kejahatan. Dan keberanian, meski lahir dari luka, bisa menjadi cahaya yang tak terpadamkan.

-000-

Membaca puisi ini, kita pun teringat pada kisah-kisah pahit di ruang religius lain. Buku Sexual Abuse in the Catholic Church: A Decade of Crisis, 2002–2012 adalah saksi bisu betapa bahayanya otoritas tunggal agama dalam ruang tertutup. Apapun agamanya!

Skandal pelecehan seksual yang mencuat pada dekade itu bukan sekadar insiden individual, melainkan krisis sistemik.

Ribuan kasus terungkap, terutama di Amerika Serikat, Irlandia, dan Eropa, namun gema tragisnya terasa hingga Amerika Latin dan Asia. Anak-anak altar, santri seminari, hingga remaja sekolah Katolik menjadi korban.

Figur-figur rohani yang dipandang wakil Tuhan, dalam ruang hierarkis yang tak terbantah, memperalat posisi mereka.

Yang paling mengejutkan bukan hanya perbuatan para predator rohani, tetapi juga pola perlindungan institusional. Daripada mengadili pelaku, pihak gereja kerap hanya memindahkan pastor ke paroki lain. Ini menciptakan lingkaran setan pelecehan.

Budaya diam (culture of silence) tumbuh subur: reputasi institusi dijaga mati-matian, sementara luka korban dikubur dalam sepi.

Laporan resmi seperti Ryan Report (Irlandia, 2009) menyingkap ribuan kasus pelecehan di sekolah Katolik dan lembaga asrama religius.

Di Boston, investigasi The Boston Globe (diabadikan dalam film Spotlight) membuktikan bahwa yang disebut “oknum” sesungguhnya hanyalah gejala dari penyakit sistem.

Mengapa bisa terjadi? Buku ini menyoroti tiga penyebab mendasar:

1.  Otoritas absolut – figur imam dipuja sebagai suci, sehingga kritik nyaris mustahil.

2.  Budaya kerahasiaan – demi citra, kejahatan ditutupi, korban dipaksa diam.

3.  Ketidakberdayaan korban – anak-anak dan remaja terlalu muda untuk melawan, rasa bersalah ditanamkan sebagai beban mereka sendiri.

Namun di balik gelap, lahir juga cahaya. Media, komunitas korban, hingga aktivis iman menuntut perubahan.

Buku ini menegaskan: transparansi, akuntabilitas, dan mekanisme pengawasan independen adalah syarat mutlak agar rumah iman kembali menjadi ruang kasih, bukan trauma.

Maka buku ini bukan hanya laporan, melainkan peringatan keras: kesucian bukan jaminan kebebasan dari dosa.

Justru di tempat yang dipuja suci, penyalahgunaan bisa membiak ketika kuasa, kesunyian, dan kerentanan bertemu.

Ini bisa terjadi tak hanya di ruang tertutup otoritas tunggal tanpa pengawas memadai, baik Katolik, Islam, atau juga agama lain. Bahkan di institusi sekuler, pola yang sama bisa lahir bila kuasa dibiarkan tanpa cahaya pengawasan.

-000-

Puisi Api dalam Cahaya hanyalah satu nyala dari sekian banyak puisi dalam Nyala Cinta Puisi Esai.

Buku ini lahir dari tradisi puisi esai, sebuah genre yang menggabungkan imajinasi puitis dengan pijakan fakta sosial.

Saya menggagas puisi esai ini sejak tahun 2012. Kini genre ini terus tumbuh.

Di balik penerbitannya berdiri Mahwi Air Tawar, penyair sekaligus kurator yang memberi kerangka estetik dan intelektual. Ia memastikan setiap puisi tak hanya indah, tetapi juga sahih dari sisi dokumentasi sosial.

Bersamanya, ada Nita Ch. Lusaid, yang berperan sebagai editor dan penyelia. Nita memberi sentuhan ketelitian, memastikan bahasa tetap hidup namun disiplin, menjembatani antara suara penulis muda dengan harapan pembaca luas.

Kekuatan buku ini juga lahir dari program Duta Puisi Esai—anak-anak muda dari berbagai provinsi Indonesia yang menulis karya mereka sendiri.

Dari Aceh hingga Papua, dari Jawa hingga Bangka Belitung, mereka membawa suara daerah, luka lokal, dan cinta universal.

Dengan latar sosial beragam, para duta ini menyalakan obor kecil yang akhirnya menyatu dalam buku.

Isi buku mencakup 16 puisi esai utama, dengan topik yang menyeberangi batas: bencana alam, kekerasan seksual, korupsi, eksploitasi tambang, ekologi, hingga martabat perempuan.

Semua dirajut dengan gaya khas puisi esai: berbasis data dan fakta, namun dituturkan dengan imaji yang menggugah hati.

Membaca buku ini seperti menapaki jalan gelap bangsa—tetapi setiap puisi adalah lentera.

Ia bukan sekadar karya sastra, melainkan dokumen moral, kesaksian yang menolak diam.

-000-

Untuk perlindungan warga, apalagi anak- anak dan remaja, ada tiga langkah penting yang perlu diambil:

1.  Audit independen lembaga keagamaan

Setiap institusi keagamaan harus membuka diri terhadap pemeriksaan pihak luar.

Transparansi ini penting agar tidak ada lagi ruang gelap yang melindungi predator.

2.  Pendidikan seks yang berperspektif trauma

Kurikulum di pesantren, sekolah agama, maupun sekolah umum perlu memasukkan pendidikan seks yang sehat dan berbasis perlindungan korban.

Anak-anak dan remaja harus tahu hak tubuh mereka, agar tidak mudah diperalat oleh otoritas yang menyimpang.

3.  Komite pengawas berbasis penyintas

Komite yang dipimpin oleh para penyintas, dan diberi kekuatan hukum, harus dilibatkan dalam pengawasan.

Mereka tahu luka itu dari dalam, dan suara mereka penting untuk memutus siklus kekuasaan yang korup.

Hanya dengan langkah-langkah ini, kita bisa memastikan bahwa rumah iman kembali menjadi ruang kasih, bukan ruang pengkhianatan.

-000-

Kekerasan seksual di pesantren, di asrama Katolik, atau di biara mana pun adalah luka universal.

Namun Nyala Cinta Puisi Esai membuktikan: dari luka bisa lahir nyala. Dari suara korban bisa lahir perubahan.

Sastra, dalam bentuk puisi esai, hadir bukan hanya untuk memikat telinga, tetapi untuk mengetuk hati nurani bangsa.

Dalam konteks itulah, puisi esai bukan sekadar genre sastra, melainkan metode kesaksian moral yang menjembatani fakta sosial dengan imajinasi nurani.

Ia menghadirkan dokumentasi yang hidup, menyelipkan data ke dalam bahasa estetik, sehingga tragedi tidak membeku sebagai laporan kering, melainkan bergetar sebagai panggilan perubahan.

Ia mengingatkan bahwa kesunyian adalah sekutu kejahatan, dan bahwa setiap suara yang berani berbicara adalah api kecil yang bisa membakar kegelapan besar.

Pada akhirnya, bangsa ini tidak hanya dikenang dari bangunan atau angka, melainkan dari nyala kata-kata yang menolak padam.

Dan ketika perempuan, anak-anak, dan kaum kecil menemukan suara mereka, dunia pun dipaksa berubah.

Karena api yang lahir dari luka, bila dijaga, akan menjadi cahaya yang tak pernah padam. (*)

Singapura, 2 Oktober 2025

Referensi

•   Sexual Abuse in the Catholic Church: A Decade of Crisis, 2002–2012 (Karen Terry, et al., 2012).

•   Ryan Report: Commission to Inquire into Child Abuse (Irlandia, 2009).

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/p/1MmQaZRAkG/?mibextid=wwXIfr