- Pengantar Buku Puisi Afnan Malay: Anjing Berbukit Kabut (2025)
Oleh Denny JA
HATIPENA.COM – Sampai awal September 2025, daftar ini masih terbuka:
aksi protes dan kerusuhan yang meletup di 107 titik,
menyapu 32 provinsi di seluruh Indonesia.
Sebanyak 10 jiwa melayang.
Kerugian material akibat gedung terbakar dan properti dirusak
mencapai sekitar 1,2 triliun rupiah.
Lebih dari 3.000 orang diamankan aparat.
Dalam suasana muram membaca berita itu,
saya menemukan ungkapan puitisnya dalam puisi Afnan Malay:
aku mengarungi lautan
dihantam gelombang airmata
aku mengelilingi pulau-pulau
kutemui bentangan airmata
aku mendaki gunung-gunung
terdaki tinggi puncak airmata
aku menanam tumbuh-tumbuhan
musim panen tiba ladang airmata
aku bekerja di pabrik-pabrik
upah tercabik-cabik airmata
tuhan, kenapa
aku jadi wni ?
tuhan terperanjat ngilu
menitikkan airmata beku
-000-
Puisi “Tuhan, Kenapa Aku Jadi WNI?” memancarkan sesuatu yang jarang kita temui.
Jika kebanyakan puisi tanah air memuja nasionalisme sebagai kebanggaan,
Afnan Malay justru menempuh jalan getir:
membaca cinta tanah air lewat luka, bukan lewat heroisme.
Diksi “airmata” yang berulang menjadi simbol utama.
Lautan, gunung, ladang, hingga pabrik—semuanya berbuah tangisan.
Menjadi warga negara, bagi Afnan,
bukan sekadar status administratif,
tetapi pengalaman eksistensial yang perih.
Cinta tanah air lahir bukan dari upacara bendera,
melainkan dari keberanian menatap luka kolektif bangsanya.
Ketika ia menulis:
“aku bekerja di pabrik-pabrik / upah tercabik-cabik airmata”,
cinta tanah air berubah menjadi pengakuan getir
bahwa negara belum menepati janji kesejahteraan.
Dan puncaknya:
“tuhan, kenapa aku jadi wni?”—
bukan penolakan,
melainkan cinta yang menyakitkan,
cinta yang terlalu melekat untuk ditinggalkan.
Inilah keistimewaannya:
menolak nasionalisme palsu
dan menggantinya dengan nasionalisme jujur.
Cinta tanah air bukan berarti menutup mata,
tetapi meneteskan air mata bersama rakyatnya.
-000-
Tiga Keunggulan Puisi Afnan Malay
- Kejujuran Luka sebagai Bahasa Puitik
Afnan menjadikan luka sosial sebagai sumber estetika.
Ia menolak keindahan semu;
yang hadir justru air mata, patah-patah, dan getir.
Air mata bukan sekadar simbol,
tetapi mata uang penderitaan rakyat yang harus dibayar setiap hari.
Kejujuran ini membuat puisinya autentik,
bukan retorika kosong.
- Satire Politik yang Mengguncang
Satirenya tajam, sederhana, tetapi menghantam.
Ia menelanjangi penguasa sekaligus rakyat yang memilih diam.
Dalam “Negeri Para Penipu” ia menulis:
di negeri para penipu
orang-orang berdiri tegak
takut tergelincir genangan
kebenaran
Dan klimaksnya:
malam terasa lebih panjang
orang-orang mendengkur
menutup mata
kebenaran pagi
pasti datang
Tamparan moralnya jelas:
penguasa menipu, rakyat memilih tidur.
- Kepolosan yang Terluka
Afnan memberi ruang pada suara polos rakyat jelata.
Puisi “Tangis Murid Sekolah Dasar” menjadi saksi:
murid diminta bercerita
tentang negaranya
menitikkan air mata
kelas hening seketika
murid itu menangis
sejadi-jadinya
Tidak ada kritik politik yang lebih tajam
daripada tangisan seorang anak kecil.
-000-
Membaca Afnan, teringat Nazım Hikmet—
penyair Turki legendaris, pemenjaraannya panjang,
puisinya dicekal karena dianggap subversif.
Ia menulis:
“Mereka menjual negara dengan satu tangan,
dan menulis tentang cinta tanah air dengan tangan yang lain.”
Baik Hikmet maupun Afnan,
keduanya menghancurkan mitos nasionalisme palsu.
Bahasa mereka sederhana,
tapi sarat daya ledak moral.
Mereka menulis dengan suara rakyat. Keduanya menegaskan bahwa puisi bisa menjadi cambuk nurani.
-000-
Anjing Berbukit Kabut adalah panorama luka bangsa.
Lebih dari 130 puisi ditulis Afnan Malay menghimpun tragedi, ironi, dan gugatan moral.
Korupsi, kebohongan publik,
kerusakan lingkungan, birokrasi busuk,
hingga suara rakyat kecil yang lapar tapi tetap bernyanyi.
Semuanya tertulis sebagai “catatan terbakar”—
puisi yang tidak memberi ruang jeda,
puisi yang menolak jinak.
Afnan menulis seakan-akan setiap bait adalah abu republik
yang kembali menyala lewat kata.
Pada akhirnya, Anjing Berbukit Kabut bukan hanya buku puisi.
Ia adalah jeritan kolektif yang diubah menjadi bahasa.
Puisi-puisinya memaksa kita menatap luka,
memaksa kita meneteskan air mata bersama rakyatnya.
Inilah fungsi terdalam puisi:
bukan hanya indah,
tetapi mengguncang,
mengoyak,
dan membebaskan.
Di tengah kabut bangsa yang pekat,
suara Afnan Malay adalah lolongan panjang
yang menolak padam.
Membacanya sama seperti menatap luka terbuka—
pedih,
namun justru di situlah letak kejujurannya. (*)
Jakarta, 7 September 2025
-000-
Referensi
1. Nazım Hikmet, Human Landscapes from My Country (1941–1950).
2. Isabel Ortiz dkk., World Protests 2006–2013 (Palgrave Macmillan, 2015).
-000-
Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World