Penulis : Ririe Aiko
HATIPENA.COM – Di tengah gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang makin brutal di berbagai sektor, masyarakat Indonesia dihadapkan pada kenyataan pahit: bukan hanya mereka yang tidak menempuh pendidikan tinggi yang terdampak, melainkan juga para lulusan perguruan tinggi, bahkan hingga tingkat magister. Fenomena ini memperlihatkan betapa rapuhnya ekosistem ketenagakerjaan kita, bahkan bagi mereka yang selama ini digadang-gadang sebagai “calon pemimpin masa depan” melalui jalur pendidikan formal.
Kini, tidak asing lagi kita temukan sarjana S1 dan S2 yang beralih profesi menjadi driver ojek online, penjual makanan via daring, hingga tukang parkir di pinggiran kota. Mereka yang sebelumnya bekerja di perusahaan besar, berkarier di sektor formal, dan duduk di balik meja kantor, kini terpaksa turun ke jalan demi menghidupi keluarga. Ini bukan tentang rendahnya profesi-profesi tersebut—semua pekerjaan adalah mulia—tetapi tentang betapa sistem telah gagal menjamin keberlanjutan hidup bagi mereka yang telah menempuh jalan pendidikan panjang dan mahal.
Ironisnya, di tengah suara-suara lesu dari para pekerja yang kehilangan harapan, ruang publik kita justru ramai dengan kabar korupsi dari elite penguasa. Dari kepala daerah, pejabat kementerian, hingga oknum legislatif—berita korupsi seolah menjadi headline harian yang sudah tidak lagi mengejutkan. Ketika rakyat menjerit kehilangan pekerjaan, para elit justru sibuk mempertahankan kekuasaan dan memperkaya diri. Ketimpangan ini semakin memperuncing jurang antara penguasa dan rakyat, antara janji kesejahteraan dan realita penderitaan.
Pemerintah boleh saja mengklaim bahwa telah hadir berbagai program pelatihan ulang (reskilling) atau bantuan sosial bagi korban PHK. Namun, dampaknya masih sangat minim, tidak menyentuh akar persoalan. Realitas di lapangan berbicara lebih keras: semakin banyak warga berpendidikan tinggi yang merasa “terbuang”, dan semakin sedikit peluang kerja yang sesuai dengan latar belakang dan kemampuan mereka.
Kondisi ini menandakan lebih dari sekadar krisis ekonomi. Ini adalah krisis harapan. Ketika rakyat sudah lelah—amat sangat lelah—dengan janji-janji kosong dan solusi yang tambal sulam, maka yang tersisa hanyalah daya bertahan hidup. Kita sedang menyaksikan transisi besar di mana “kemuliaan ijazah” tidak lagi menjamin apa-apa selain utang biaya kuliah.
Sudah saatnya negara hadir secara nyata. Bukan hanya dengan menggulirkan bantuan sesaat, tapi dengan membangun ekosistem kerja yang berkelanjutan, memberantas korupsi secara sistemik, dan mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap institusi. Ketika masyarakat harus berjuang sendirian untuk bertahan hidup sementara para koruptor bebas melenggang dengan kemewahan, maka kita harus berani mengatakan: ini bukan sekadar krisis ekonomi, ini krisis keadilan sosial.
Jika situasi ini terus dibiarkan, maka bukan hanya angkatan kerja yang tergerus, tapi juga masa depan bangsa yang sedang dikikis perlahan. Dan ketika harapan kolektif mulai padam, kita tidak sedang menghadapi resesi semata—kita sedang menghadapi kehilangan arah sebagai sebuah bangsa. (*)