Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Ketika Puisi, dan Apapun, Tak Pernah Cukup dan Mengapa Lahir Puisi Esai

May 29, 2025 08:07
IMG-20250529-WA0011

Oleh Denny JA

  • Review Buku “Penyair yang Mati Gentayangan di Catatan Kaki,” (2025), Oleh Okky Madasari dkk

HATIPENA.COM – Sekitar tahun 1008 M, di balik tirai sutra istana Kekaisaran Jepang, seorang perempuan muda menulis dengan kuas di atas kertas halus.

Namanya Murasaki Shikibu—seorang janda, pelayan istana, dan penyair. Tapi malam itu, ia tidak sedang menulis puisi.

Ia menulis tentang seorang lelaki bernama Genji. Bukan dewa, bukan ksatria. Ia putra kaisar yang mencinta, kehilangan, menyesal, dan tenggelam dalam kerinduan tak terucapkan.

Puisi tak cukup untuknya. Tak mampu menampung diamnya hati perempuan yang ditinggal. Tak sanggup menyampaikan detak gugup saat cinta yang salah menyelinap masuk. Puisi terlalu megah untuk mencatat kelembutan yang retak perlahan.

Maka lahirlah The Tale of Genji, karya yang kini dikenang sebagai novel pertama dalam sejarah umat manusia¹. Ditulis bukan karena puisi gagal, tapi karena dunia perasaan terlalu luas untuk dibatasi oleh bait.

Sejak malam itu, sastra berubah. Karena kadang, bahkan puisi pun tak cukup.

-000-

Kisah lahirnya novel ini yang saya ingat setelah membaca buku Penyair yang Mati Gentayangan di Catatan Kaki.

Okky Madasari membuka pengantar buku ini dengan sebuah pertanyaan yang menyayat: Apakah puisi—yang begitu indah, begitu kuat, dan telah menjadi alat perjuangan—masih belum cukup, sehingga harus lahir puisi esai?

Ia menyebut Amanda Gorman yang menyentuh hati Amerika lewat puisi. Ia mengingat Wiji Thukul, Rendra, dan Chairil Anwar. Penyair-penyair yang mengguncang zaman. Puisi mereka menggugah, membakar, dan menginspirasi.

Namun, tulis Okky, Denny JA dengan kegelisahannya menjawab:
Puisi masih terlalu sempit. Terlalu elitis. Terlalu lambat menggapai publik luas.

Lalu lahirlah puisi esai—gabungan antara puisi, esai, catatan kaki, dan keprihatinan sosial.

Buku ini memuat sepuluh telaah kritis atas puisi esai. Disusun oleh para akademisi, jurnalis, penyair, dan peneliti. Nama-nama penting seperti Okky Madasari, Ghufroni An’ars, Darmawati Majid, Achmad San, dan lainnya hadir di dalamnya.

Buku ini terbagi dua bagian:

1.  Menelaah bentuk puisi esai: hubungannya dengan puisi mantra, puisi mbeling, hingga puisi-puisi Chairil.

2.  Mengeksplorasi tema sosial: kekerasan terhadap perempuan, LGBTQ, tragedi 1965, dan isu-isu sosial lain.

-000-

Tiga esai saya ringkas di sini sebagai cermin dari kekayaan buku ini.

  1. “Saya Diperkosa karena Saya Cina” – Darmawati Majid.

Ia membandingkan puisi esai “Sapu Tangan Fang Yin” karya Denny JA dengan cerpen “Clara” karya Seno Gumira Ajidarma.

Darmawati bertanya: Apakah puisi esai benar-benar menggugah empati? Atau justru kehilangan pukulan emosional karena terlalu menjelaskan dengan catatan kaki?

Ia membedah trauma kolektif Mei 1998. Menunjukkan bagaimana puisi esai berada di antara metafora dan data, antara fiksi dan kenyataan.

  1. “Penyair yang Mati, Gentayangan di Catatan Kaki”
  • Ghufroni An’ars

Mengangkat konsep “kematian pengarang” dari Roland Barthes, Ghufroni menilai puisi esai justru menghidupkan kembali pengarangnya melalui catatan kaki.

“Penyair yang mestinya mati setelah puisinya selesai, kini gentayangan di bagian bawah halaman.”

Pertanyaannya tajam: Apakah catatan kaki memperkaya? Atau justru membebani puisi?

  1. “Menjelajah Stilistika dan Metafora Puisi Esai” – Achmad San

Dengan alat analisis stilistika, San mengkaji kekuatan dan kelemahan puisi esai dalam gaya bahasa dan metafora.

Ia menyimpulkan: puisi esai kuat dalam aspek utile—bermanfaat secara sosial. Tapi lemah dalam dulce—keindahan bahasa.

Metafora puisi esai, katanya, terlalu literal, terlalu jurnalistik. Belum menciptakan simbol abadi seperti “binatang jalang” Chairil, atau “Hujan Bulan Juni” Sapardi.

Buku ini penting. Ia bukan glorifikasi puisi esai, melainkan uji coba intelektual yang jujur, jernih, dan adil.

Ia bukan manifesto, tapi percakapan. Ia bukan selebrasi, tapi renungan.

-000-

Selesai membaca buku ini, pertanyaan Okky terus menggaung:
Kenapa puisi tidak cukup? Kenapa harus ada puisi esai?

Ini respon saya. Sejarah seni, bahkan sejarah manusia, adalah sejarah tentang bentuk yang tak pernah cukup.

Apapun mulai dari seni, ilmu pengetahuan, tafsir agama hingga teknologi selalu tak cukup. Karena itulah ada perubahan dan lompatan dalam peradaban.

Dari Epic of Gilgamesh (ca. 2100 SM) hingga The Tale of Genji, dari drama Yunani hingga opera, dari puisi epik hingga puisi esai—semuanya lahir karena bentuk lama dianggap para kreatornya tak mampu menampung gelombang zaman baru².

Begitulah:
• Iliad digantikan oleh War and Peace.
• Mozart melahirkan opera. Broadway menciptakan musikal rakyat.

Puisi esai tidak datang untuk membunuh puisi. Ia datang karena bagi kreatornya ada jerit zaman yang belum terjawab. Ia hadir sebagai jembatan baru.

Tapi Apa yang Membuat Sebuah Genre Hidup? Tak semua bentuk seni yang baru bertahan melewati waktu.

Ada bentuk yang lahir dengan gegap gempita, tapi menguap dalam senyap. Ada pula yang datang perlahan, nyaris tak terdengar, namun kemudian mengakar dalam jiwa banyak manusia.

Lalu, apa yang membuat sebuah genre benar-benar hidup? Apa yang membedakannya dari sekadar gaya sesaat?

Tiga hal ini yang menjadi pembeda.

  1. Apakah Ia Menjawab Rasa Zaman?

Sebuah genre lahir dari kegelisahan yang tak tertampung. Ia muncul bukan karena ingin menjadi berbeda, tetapi karena dunia yang ada sudah terlalu sempit bagi pengalaman batin yang baru.

Rap lahir dari jalan-jalan sempit di Bronx, New York, sebagai teriakan kaum terpinggirkan yang tak diwakili oleh media arus utama.

Spoken word poetry muncul di kafe-kafe dan panggung kecil sebagai reaksi terhadap puisi liris yang terlalu tenang bagi hati yang marah dan resah.

Puisi esai lahir dari hasrat menjembatani seni dan kenyataan sosial, dari kebutuhan menyatukan estetika dengan empati, emosi dengan data.

Semuanya menjawab jerit zaman—bukan meniru masa lalu.

Genre yang tak lahir dari rasa zaman akan terasa artifisial. Ia seperti gaun yang indah namun tak nyaman dipakai. Publik akan mengaguminya sejenak, lalu melupakannya.

Sementara genre yang benar-benar dibutuhkan, walau awalnya dianggap asing, bahkan nyeleneh, akan disambut seperti hujan pertama setelah musim kemarau. Ia terasa segar, mewakili, dan menyembuhkan.

Ketika Van Gogh membawa aliran baru dalam lukisan, ia awalnya ditolak. Dari 800 lukisannya, hanya satu yang dibeli pasar.

Tapi setelah kematiannya, aliran lukisan Van Gogh dipuji. Ia yang di masa hidupnya diabaikan, kini dianggap salah satu pelukis terbesar.

Nasib genre baru bisa saja seperti kisah lukisan Van Gogh.

  1. Apakah Ia Memberi Ruang Tafsir, atau Sekadar Menjejalkan Makna?

Seni yang besar tak pernah mengurung. Ia melepaskan.

Ia tidak datang sebagai ceramah yang memaksa kita setuju. Ia datang sebagai jendela yang mengajak kita memandang dunia dari sudut yang tak terduga.

Puisi yang terlalu menjelaskan, prosa yang terlalu penuh data, atau lukisan yang hanya ingin “mendidik”—semuanya kehilangan daya magisnya. Mereka menjadi selebaran, bukan pengalaman.

Sebaliknya, seni yang menggetarkan justru adalah yang menggantungkan sebagian maknanya di udara. Yang menyisakan ruang kosong bagi pembaca untuk mengisinya dengan pengalaman pribadi.

Seorang pembaca mungkin menemukan kenangan ibunya dalam satu bait puisi. Pembaca lain mungkin melihat luka kolonial dalam baris yang sama.

Dan tak satu pun tafsir itu salah—karena seni yang hidup tak minta untuk dipahami secara tunggal. Ia meminta untuk dialami.

Genre yang bertahan lama selalu punya ruang: untuk kesalahpahaman, untuk keintiman, untuk keunikan masing-masing jiwa.

Banyak puisi esai yang ada sekarang mungkin terlalu jelas. Tapi puisi esaipun sebagaimana seni yang lain juga akan terus berevolusi.

Agus R Sarjono mulai menulis jenis puisi esai soal isu sosial yang kokoh, dengan catatan kaki sebagi wakil dari fakta yang ditulis, tapi dengan kedalaman dan sublimasi puisi liris.

  1. Apakah Ia Punya Roh?

Ini pertanyaan terdalam, dan paling sulit dijawab. Sebab roh bukan sesuatu yang bisa ditakar dengan teori atau angka.

Genre yang punya roh bisa lahir dari siapa pun. Bisa sederhana bentuknya. Tapi ketika dibaca, ditonton, atau didengar—ia mengguncang.

“Aku membaca dan aku menangis.”
“Aku menonton dan merasa dilahirkan ulang.”
“Aku mendengar dan merasa tak lagi sendiri.”

Itulah tanda-tanda roh sedang bekerja.

Genre yang hidup bukan sekadar produk estetik. Ia adalah pengalaman eksistensial. Ia bukan sekadar bentuk baru, tapi bentuk yang menemukan jiwa-jiwa baru.

Kita bisa memalsukan teknik. Kita bisa memalsukan bentuk. Tapi kita tak bisa memalsukan roh. Ia muncul dari kejujuran terdalam, dari pengalaman manusia yang tak bisa ditutupi.

Sebuah genre hidup bukan karena ia hebat di atas kertas. Tapi karena ia mampu masuk ke hati. Ia menjawab kebutuhan zaman, mengundang penafsiran, dan—yang paling sulit—ia hidup di dalam roh manusia.

Dan jika puisi esai memiliki ketiga hal itu:
resonansi zaman, celah imajinasi, dan denyut yang menggetarkan,
maka ia bukan hanya akan bertahan. Ia akan menyeberang zaman.

Karena pada akhirnya, bentuk bisa mati. Tapi roh, jika benar-benar hadir, akan selalu menemukan tubuh barunya.

Dalam sejarah panjang seni, hanya yang menyala dari dalam yang akan bertahan.
Jika puisi esai punya nyala itu—bukan sekadar bentuk, tapi jiwa yang menggetarkan—maka ia tak hanya akan dikenang.

Ia akan hidup. Dan terus hidup. Di hati yang merasa sesuai dengan gelora itu.

Kini komunitas puisi esai terus meluas ke Asia Tenggara dan Kairo. Komunitas ini memiliki Festival puisi esai tingkat ASEAN yang keempat di tahun 2025. Di Indonesia, di tahun 2025 terselenggara Festival Puisi Esai yang ketiga.

Buku puisi esai setiap tahun bertambah sekitar 30-50 judul sejak dua tahun 2022. Dan pula komunitas ini memiliki dana abadi, minimal 50 tahun sejak tahun 2024.***

Jakarta, 29 Mei 2025

CATATAN

¹ The Tale of Genji secara luas dianggap sebagai novel pertama di dunia, ditulis oleh Murasaki Shikibu sekitar tahun 1008 M. Lihat: Washburn, D. (2008). The Tale of Genji. Norton Critical Editions.

² Epic of Gilgamesh adalah puisi epik tertua yang masih bertahan hingga kini, disusun di Mesopotamia sekitar tahun 2100 SM. Lihat: George, A. R. (2003). The Epic of Gilgamesh. Penguin Classics.

-000-

Buku “Penyair Yang Mati Gentayangan di Catatan Kaki,” dapat dibaca, disebarkan, melalui link ini:

https://drive.google.com/file/d/1Jt4OUOT_3jzc3P1xH_ppGlXw8l2cDpz_/view?usp=drivesdk

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/1QR24eyHvX/?mibextid=wwXIfr