Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Ketika Seorang LGBT Menjadi Mata-mata

March 26, 2025 08:29
IMG-20250326-WA0027

Oleh Denny JA

-Pengantar Buku Puisi Esai “Yang Luput dari Jantung Sejarah,” Karya Irsyad Mohammad

HATIPENA.COM – Apakah dosa seseorang ditentukan oleh gender yang ia kenakan atau oleh pilihan moral yang ia ambil? Mengapa seseorang yang lahir dalam tubuh yang tak ia pilih harus menanggung hukuman sosial seumur hidup?

Renungan ini datang ketika saya membaca puisi esai karya Irsyad Mohammad, berjudul Bukan Matahari, Panggil Aku Margareth Saja.

Sejak lama, dunia terbiasa membagi manusia dalam kategori-kategori yang jelas: laki-laki dan perempuan, benar dan salah, pahlawan dan pengkhianat.

Tetapi kehidupan tidak pernah sesederhana itu. Banyak orang terlahir dalam batas-batas yang kabur. Keberadaan mereka tidak dapat diklasifikasikan dalam kotak-kotak sosial yang kaku.

Waria adalah salah satu contoh dari mereka yang hidup di persimpangan ini. Ia dilahirkan sebagai laki-laki, tetapi jiwanya menari dalam keindahan kewanitaan.

Namun, dunia tidak selalu menerima mereka. Ada yang menganggap waria sebagai hiburan semata. Ini sesuatu yang eksotis dan memikat di panggung, tetapi hina di ruang publik.

Ada pula yang memandang mereka sebagai ancaman bagi ketertiban sosial, menuduh mereka sebagai “kesalahan” yang harus diperbaiki. Padahal, satu-satunya kesalahan yang mereka buat adalah menjadi diri sendiri di dunia yang menolak keberagaman.

Lalu, bagaimana jika seseorang seperti Margareth, seorang waria, menemukan tempatnya bukan di jalanan atau panggung hiburan, tetapi di dunia yang lebih gelap? Ia hidup di dunia spionase, dunia manipulasi, tipu daya, dan identitas yang cair menjadi senjata utama.

-000-

Dalam gemerlap lampu klub malam Tanamur, Jakarta, di antara musik yang menggelegar dan tubuh yang menari tanpa beban, berdirilah seorang sosok yang tak sepenuhnya diakui oleh dunia.

Margareth, seorang waria, seorang peramal, seorang penari, dan di balik semua itu, seorang mata-mata. Ia bukan hanya penjual mimpi bagi para pengunjung yang haus hiburan, tetapi juga seorang pengumpul rahasia yang diam-diam mengirim laporan ke negeri seberang.

Puisi esai Bukan Matahari, Panggil Aku Margareth Saja mengisahkan perjalanan seorang individu yang terjebak di antara banyak identitas.

Ia seorang laki-laki yang menemukan dirinya lebih nyaman dalam ekspresi kewanitaan. Ia juga seseorang yang ditolak oleh lingkungannya tetapi kemudian dipeluk oleh dunia yang lebih gelap: dunia spionase.

Ini adalah kisah tentang pengkhianatan dan kesetiaan, kebebasan dan belenggu, penerimaan dan penolakan.

Di awal puisi, Margareth digambarkan sebagai seorang penari yang begitu piawai, seorang penghibur yang tidak hanya menjual tarian tetapi juga ramalan.

Ia adalah sosok yang diidolakan, tetapi juga direndahkan; dihormati di satu sisi, tetapi dipandang hina di sisi lain.

Di sudut Tanamur, lampu-lampu berpendar,
ia jumpai wajah-wajah haus yang tak kenal pagar.

Ia, sang penari malam, bergaun merah menyala,
melenggok seperti daun yang didera angin cinta.

Margareth menemukan kebebasan dalam tarian, tetapi kebebasan itu tetap berbatas. Ia menjadi pusat perhatian, tetapi tidak pernah benar-benar dianggap sebagai bagian dari masyarakat.

Dalam kesunyian setelah pesta usai, ia mulai mempertanyakan dirinya sendiri.

“Salahkan aku? Kau jadikan aku begini?”
“Jika tak salah, mengapa mereka meminggirkanku?”

Margareth adalah refleksi dari banyak individu yang lahir dalam tubuh yang tidak sesuai dengan jiwa mereka, yang setiap hari harus menghadapi tatapan curiga dan hinaan hanya karena mereka berbeda.

Hidup Margareth berubah saat ia bertemu dengan John Traitman, seorang agen CIA yang datang bukan sebagai pelanggan, tetapi sebagai perekrut.

“Di dunia ini, Anda adalah paradoks sempurna.
Seorang penari, seorang peramal, seorang waria,
bahkan diterima di lingkaran elite sosialita.”

Margareth, yang terbiasa melihat dunia dari sudut ketidakberdayaan, tiba-tiba diberikan sebuah kekuatan. Untuk pertama kalinya, ia bukan sekadar objek hiburan. Ia dibutuhkan.

“Kami butuh seseorang seperti Anda,”
“Anda kami pilih untuk dijadikan agen khusus.”

Dunia yang selama ini menolak Margareth kini memberinya tempat—tetapi dengan harga yang mahal. Ia bukan lagi hanya seorang penghibur, tetapi juga sebuah alat politik.

Sebagai agen rahasia, Margareth mulai menjalani kehidupan dengan dua wajah.

Di satu sisi, ia tetap menjadi waria yang gemerlap dan memikat di pesta-pesta sosialita. Di sisi lain, ia menyerap informasi dari para pejabat, diplomat, dan pengusaha yang percaya pada ramalannya.

Di pesta diplomat, ia bicara Perancis
dengan seorang menteri muda.
Di arisan sosialita, ia mendengar keluh kesah
istri pejabat tentang suami yang gemar klenik.

Margareth mengumpulkan rahasia, mengamati kelemahan orang-orang berkuasa, dan mengubahnya menjadi laporan yang dikirim diam-diam ke Washington.

Ia menyadari bahwa dunia ini penuh kepalsuan, bahwa mereka yang tampak suci sering kali lebih kotor daripada mereka yang dipandang rendah.

Namun, di balik semua itu, ada kegelisahan yang terus menghantuinya.

Di malam-malam yang tenang
hatiku selalu diguncang bimbang.
Haruskah kujalani semua ini,
memata-matai negeri sendiri?

Margareth mulai mempertanyakan pilihannya. Apakah ia telah mengkhianati tanah airnya? Ataukah ini adalah satu-satunya jalan baginya untuk bertahan hidup?

-000-

Kisah Margareth bukan hanya tentang seorang waria yang menjadi mata-mata, tetapi juga sebuah refleksi tentang identitas, penerimaan, dan kekuasaan. Ada beberapa filosofi mendalam yang bisa kita petik:

Dunia ini penuh dengan peran yang dipaksakan. Margareth ingin menjadi dirinya sendiri, tetapi dunia memaksanya untuk memilih: menjadi korban atau menjadi alat kekuasaan.

Tidak ada pilihan yang sepenuhnya benar atau salah. Margareth bisa saja menolak menjadi agen, tetapi itu berarti ia kembali menjadi individu yang tidak diakui.

Ia memilih bertahan dengan caranya sendiri, meskipun itu berarti mengkhianati sesuatu yang lebih besar darinya.

Kita semua hidup dalam paradoks. Seperti yang dikatakan John Traitman, Margareth adalah “paradoks sempurna.”

Ia waria, tetapi juga pemegang rahasia negara. Ia bukan siapa-siapa, tetapi memiliki informasi lebih dari para pejabat tinggi. Dalam banyak hal, kita semua hidup dalam paradoks yang serupa.

Puisi esai Bukan Matahari, Panggil Aku Margareth Saja adalah kisah yang menyentuh, menggugah, dan penuh ironi. Ia mengajak kita melihat identitas yang terpinggirkan, bukan sebagai sesuatu yang harus dikasihani. Itu bagian dari kompleksitas kehidupan manusia.

Margareth mungkin telah kehilangan tanah airnya, tetapi ia akhirnya menemukan dirinya sendiri.

Ia tidak lagi hanya seorang waria yang dicemooh, tetapi juga seseorang yang memiliki kendali atas takdirnya. Meskipun itu ia tebus dengan harga yang mahal.

Sejarah akan melupakan namaku,
tetapi aku telah hidup sepenuhnya.

-000-

Membaca puisi esai soal Margareth, yang gelisah soal LGBT-nya, saya teringat kegelisahan serupa dalam konteks berbeda.

Itu ada dalam novel berjudul Stone Butch Blues. Penulisnya Leslie Feinberg, dan novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1993. (1)

Buku ini dianggap sebagai salah satu karya klasik dalam sastra queer dan transgender, serta sangat berpengaruh dalam gerakan hak-hak LGBT di Amerika dan dunia.

Apa artinya menjadi diri sendiri jika dunia tidak memberimu tempat? Bagaimana jika identitas yang kau temukan dengan susah payah justru menjauhkanmu dari semua yang kau kenal?

Inilah dilema Jess Goldberg dalam Stone Butch Blues. Tumbuh dalam dunia yang kaku dan penuh aturan, Jess tak pernah benar-benar memiliki ruang untuk bernapas.

Di satu sisi, ia tidak cocok dengan norma kewanitaan yang dipaksakan padanya. Di sisi lain, menjadi laki-laki pun tak membebaskannya sepenuhnya.

Ia mencoba menemukan tempatnya, melalui terapi hormon, operasi, bahkan kehidupan yang lebih maskulin. Tetapi tetap saja, batasan sosial mengungkungnya.

“Aku ingin bebas, tetapi aku tak tahu bagaimana caranya menjadi bebas tanpa kehilangan segalanya.”

Novel ini bukan sekadar tentang perjuangan seorang individu transgender. Ini kisah sistem yang tak pernah memberi ruang bagi mereka yang berbeda. Jess dipaksa untuk memilih antara hidup dalam kepalsuan atau berjuang dalam kesendirian.

Kekerasan dan diskriminasi yang ia alami bukan hanya pukulan fisik, tetapi juga luka batin yang tak kunjung sembuh. Namun, di tengah rasa sakit itu, ada keteguhan: keinginan untuk tetap hidup, untuk tetap mencari makna.

Karena dalam dunia yang menolak keberagaman, bertahan hidup saja sudah menjadi bentuk perlawanan.

-000-

Mengapa LGBT Didiskriminasi? Dan Mengapa Dunia Kini Lebih Menerima LGBT?

Sejarah peradaban manusia penuh dengan batasan: norma sosial, hukum, dan keyakinan yang menentukan siapa yang berhak diakui dan siapa yang harus dikucilkan.

Dari kisah Margareth, seorang waria yang menjadi mata-mata CIA, hingga Jess Goldberg, seorang transgender maskulin yang menghadapi diskriminasi brutal, kita melihat pola yang berulang. Mereka yang tidak sesuai dengan norma gender dan seksualitas tradisional selalu menjadi korban sistem.

Mengapa demikian? Itu karena pengaruh akar diskriminasi LGBT: biologi, agama, dan kekuasaan.

Pertama: Biologi dan Reproduksi
Sejak ribuan tahun lalu. Masyarakat mengatur hubungan manusia berdasarkan fungsi reproduksi. Heteroseksualitas dianggap normal karena ia memastikan keberlanjutan generasi.

Apa yang dianggap “alamiah” sering dikodifikasi sebagai hukum sosial yang kaku.

Kedua: Dalam Agama dan Moralitas pada banyak ajaran agama besar, hubungan sejenis dipandang sebagai penyimpangan.

Narasi ini dikuatkan oleh institusi keagamaan yang, dalam banyak kasus, bersekutu dengan kekuasaan politik.

Stigma LGBT bukan sekadar persoalan pribadi, tetapi juga persoalan doktrin dan dogma yang diwariskan lintas generasi.

Ketiga: Struktur Sosial dan Kekuasaan
Setiap sistem yang berkuasa selalu mencari musuh.

Dalam banyak masyarakat, LGBT dijadikan kambing hitam untuk mempertahankan tatanan moral tertentu. Dengan menindas mereka, kekuasaan menciptakan ilusi stabilitas.

Seolah- olah ada ancaman dari kelompok minoritas yang harus diberangus demi ketertiban sosial.

Keempat: Ketakutan akan Identitas yang Cair.
Dunia modern dibangun atas kategori-kategori tegas: laki-laki/perempuan, suami/istri, maskulin/feminin.

Keberadaan LGBT mengancam batas-batas ini. Margareth, sebagai waria yang diterima di kalangan elite namun tetap direndahkan di ruang publik, menunjukkan betapa masyarakat tidak siap menghadapi identitas yang cair.

Jess Goldberg, yang tidak diterima sebagai perempuan atau laki-laki sepenuhnya, adalah bukti bahwa norma gender tradisional gagal mengakomodasi keberagaman manusia.

Di sudut gelap sejarah, di mana bayang-bayang kekuasaan menari,
Margareth bukanlah wayang yang patuh pada dalang.
la adalah dalang itu sendiri-
merajut benang-benang rahasia menjadi senjata,
menyulap kutukan identitasnya menjadi mantra.

Di sini, di tanah Pancasila menggemakan “Keadilan bagi semua”, ia justru menjadi cermin retak bagi negeri yang masih gagap:

Bagaimana mungkin seorang waria, yang dianggap “durhaka” oleh fatwa, ternyata lebih setia pada kemanusiaan daripada mereka yang berkoar tentang moral?

Dalam diam, ia mencatat setiap paradoks. Penghianat terbesar seringkali adalah mereka yang paling lantang berteriak “NKRI harga mati”.

-000-

Mengapa Dunia Kini Berubah?

Jika diskriminasi terhadap LGBT begitu mengakar, mengapa kini lebih dari 33 negara di lima benua telah melegalkan pernikahan sesama jenis? Perubahan ini terjadi karena beberapa faktor utama.

Terjadi Perubahan Struktur Ekonomi. Di masa lalu, keluarga heteroseksual dianggap sebagai unit ekonomi paling stabil.

Namun, di era kapitalisme modern, individu memiliki lebih banyak kemandirian finansial. Konsep keluarga tidak lagi sebatas hubungan biologis, tetapi juga emosional dan hukum.

Gerakan Hak Asasi Manusia
Sejak pertengahan abad ke-20, menjadi perubahan besar dalam cara dunia melihat isu LGBT.

Jika dulu perbudakan bisa diterima, kini tidak. Jika dulu hak perempuan dibatasi, kini mereka bisa berpartisipasi dalam hampir semua aspek kehidupan.

LGBT adalah kelompok berikutnya yang memperjuangkan hak-haknya, dan gerakan ini semakin kuat dengan dukungan hukum dan sosial.

Pengaruh Media dan Teknologi
Internet dan media sosial mengubah segalanya. Dulu, individu LGBT merasa terisolasi, tetapi kini mereka bisa menemukan komunitas global yang mendukung mereka.

Narasi tentang LGBT yang dulu dikendalikan oleh kelompok konservatif kini mulai digantikan oleh cerita-cerita dari mereka kalangan LGBT sendiri. Film, buku, dan testimoni memperlihatkan mereka manusia biasa yang hanya ingin hidup dengan martabat.

Terjadi pula Perubahan Perspektif Ilmiah
Di abad ke-19. Dulu, homoseksualitas dianggap sebagai penyakit.

Namun, penelitian ilmiah modern telah membuktikan orientasi seksual bagian dari spektrum alami manusia.

Organisasi seperti American Psychological Association (APA) dan WHO telah menghapus homoseksualitas dari daftar gangguan mental. Itu mengubah persepsi banyak orang tentang LGBT.

Tekanan Politik dan Diplomasi
Negara-negara maju kini menjadikan hak LGBT sebagai bagian dari kebijakan luar negeri mereka.

Bantuan ekonomi, perjanjian perdagangan, bahkan hubungan diplomatik sering dikaitkan dengan kebijakan hak asasi manusia, termasuk hak LGBT.

Kisah Margareth dan Jess menjadi cerminan dunia yang masih berjuang memahami keberagaman.

Margareth, yang harus menjadi alat kekuasaan untuk bertahan hidup, dan Jess, yang terpaksa mengubah tubuhnya demi mencari penerimaan, menjadi bukti bahwa dunia belum sepenuhnya adil bagi LGBT.

Tetapi perubahan telah terjadi. Meskipun diskriminasi masih ada, masyarakat kini lebih sadar LGBT bukanlah penyimpangan, melainkan bagian alami dari spektrum identitas manusia.

Dunia yang dulu menindas mereka, kini perlahan membuka pintu menuju kesetaraan.

Perjalanan masih panjang. Tetapi satu hal yang pasti: dalam sejarah manusia, yang terus bergerak adalah kesadaran. Dan kesadaran selalu menuju ke arah yang lebih inklusif.

-000-

Sejarah sering kali hanya mengabadikan nama besar dan peristiwa megah, meninggalkan mereka yang tak bersuara dalam kelam.

Yang Luput dari Jantung Sejarah, kumpulan puisi esai karya Irsyad Mohammad, hadir untuk mengisi kekosongan itu.

Buku ini bukan sekadar kumpulan puisi, melainkan sebuah upaya mencatat fragmen kehidupan yang luput dari narasi besar.

Dengan pendekatan puisi esai, buku ini menyampaikan realitas sosial, sejarah, dan tragedi kemanusiaan dalam bentuk yang menyentuh sekaligus tajam.

Buku ini terdiri dari beberapa puisi esai dengan tema yang beragam. Itu mulai dari kisah individu yang terpinggirkan hingga tragedi sejarah yang terlupakan.

Terdapat puisi-puisi yang membahas tokoh-tokoh sejarah yang sering diabaikan. Misalnya, kisah Dr. Zamenhof, pencipta bahasa Esperanto. Juga soal tragedi mahasiswa UI yang jasadnya ditemukan di Danau Kenanga.

Puisi esai sendiri merupakan genre yang menggabungkan narasi puisi dengan unsur esai. Ia sering kali disertai catatan kaki untuk memberikan konteks historis dan sosial.

Dalam buku ini, pendekatan tersebut digunakan secara inovatif dengan bantuan AI, yang membantu penulis dalam merancang struktur dan detail naratif.

Namun, meskipun teknologi digunakan dalam proses kreatifnya, sentuhan manusia tetap menjadi esensi utama dalam setiap baitnya.

Kekuatan utama dari Yang Luput dari Jantung Sejarah terletak pada kemampuannya menghidupkan kembali peristiwa-peristiwa yang hampir terlupakan.

Melalui puisi esai, pembaca diajak untuk merasakan pengalaman mereka yang tak pernah masuk dalam buku sejarah. Namun mereka memiliki dampak besar dalam kehidupan manusia.

Buku ini pengingat sejarah bukan hanya milik mereka yang berkuasa, tetapi juga mereka yang terpinggirkan.***

Jakarta, 21 Maret 2025

Catatan

(1) Salah satu novel dramatik tentang kegelisahan kaum LGBT:

‘Stone Butch Blues’: The Best Queer Novel Of All Time? | by Lisa Fouweather | Counter Arts | Medium

-000-

*Ratusan esai Denny JA bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/1A53admRVo/?mibextid=wwXIfr

Berita Terkait

Berita Terbaru