Oleh Denny JA
HATIPENA – Boston, pagi yang tenang di 22 Mei 2025.
Di tengah hiruk-pikuk dunia yang kian gaduh, sebuah langkah sunyi namun tegas diambil.
Universitas Harvard—pusat pemikiran bebas tertua di Amerika—mengajukan gugatan terhadap pemerintah federal Amerika Serikat.
Gugatan itu bukan tentang uang. Bukan pula demi reputasi. Tetapi demi sesuatu yang lebih purba dan lebih suci: hak untuk berpikir, hak untuk mengajar, dan hak untuk belajar tanpa intimidasi dari kekuasaan.
Pemerintahan Donald Trump, melalui Departemen Keamanan Dalam Negeri, baru saja memberlakukan kebijakan baru.
Universitas yang dianggap “tidak kooperatif” terhadap pengawasan mahasiswa asing akan dikenai sanksi berat. Harvard menjadi sasaran pertama.
Kebijakan ini tak hanya membahayakan ribuan mahasiswa dari luar negeri. Ia juga mengguncang fondasi konstitusional pendidikan tinggi: bahwa kampus adalah tanah merdeka, bukan barak militer ideologis.
Dalam dokumen gugatan setebal 49 halaman, Harvard tidak menulis dengan amarah. Ia menulis dengan prinsip.
Ia menolak tunduk pada kekuasaan yang ingin menundukkan pemikiran dengan dalih keamanan nasional.
“Jika kami diam hari ini,” tulis Harvard, “besok akan lebih banyak suara dibungkam.”
Maka berdirilah Harvard. Bukan dengan senjata. Tapi dengan integritas dan keberanian.
-000-
Kronologi: Ketika Harvard Melawan Tiran Pemikiran
Mei 2025. Pemerintah Trump memperkenalkan kebijakan yang mewajibkan universitas menyerahkan data pribadi mahasiswa internasional. Jika tidak, hak mereka untuk menerima pelajar asing akan dicabut.
Sanksi yang disiapkan sangat keras:
• Penghentian visa untuk mahasiswa baru.
• Ancaman deportasi bagi mahasiswa aktif.
• Pemotongan dana riset dari pemerintah pusat.
Harvard tak tinggal diam. Ia menggugat kebijakan itu di pengadilan federal Boston.
Dasar hukum yang digunakan Harvard berdiri kokoh pada dua pilar utama:
• Amendemen Pertama Konstitusi AS, yang menjamin kebebasan berbicara dan berpikir.
• FERPA (Family Educational Rights and Privacy Act), yang melindungi data pribadi mahasiswa dari intervensi pemerintah tanpa proses hukum yang sah.
Dua hari setelah gugatan diajukan, pada 24 Mei 2025, Hakim Allison Burroughs mengabulkan permohonan perintah penahanan sementara (temporary restraining order).
Dalam putusannya, ia menulis:
“Jika kebijakan ini dilanjutkan, kerugian terhadap Harvard bukan hanya administratif, melainkan eksistensial: kemerdekaan berpikir akan terkubur hidup-hidup.”
-000-
Pandangan Pemerintah: Antisipasi Ancaman Global
Pemerintah Trump membela kebijakan ini dengan alasan keamanan nasional. Mereka mengklaim adanya peningkatan ancaman intelijen asing dari negara-negara seperti Iran, Tiongkok, dan Palestina.
Menurut pernyataan resmi Gedung Putih:
“Universitas tidak bisa menjadi tempat berlindung bagi agen asing yang mengancam kepentingan nasional.”
Namun Harvard dan sejumlah pakar menilai argumen ini terlalu luas, tidak berbasis bukti empiris, dan mengarah pada diskriminasi sistemik.
Profesor Danielle Allen dari Harvard Kennedy School menyatakan:
“Pengawasan massal atas dasar asal negara menciptakan atmosfer ketakutan. Itu bukan keamanan, tapi paranoia yang dilembagakan.”
-000-
Tak Hanya Harvard: Ancaman terhadap Banyak Universitas
Harvard hanya permulaan. Columbia University, Stanford, dan MIT segera menyusul dalam gelombang perlawanan.
Pemerintah menekan mereka agar “membersihkan” mahasiswa dari Iran, Palestina, dan Tiongkok—bukan karena tindakan mereka, tetapi semata karena asal mereka.
Di Columbia, program kajian Islam diaudit.
Di Stanford, beasiswa luar negeri diselidiki.
Di MIT, kerja sama riset dengan Asia Timur dibekukan.
Semua ini dibungkus atas nama “patriotisme.”
Tapi kita tahu, dalam sejarah, patriotisme yang dipaksa seringkali menjadi topeng tirani.
-00-
Tiga Alasan Mengapa Universitas Harvard Melawan Donald Trump
Pertama, karena universitas bukan alat negara. Ia harus bebas dari tekanan politik agar tetap menjadi penjaga nurani dan pencari kebenaran—meskipun kebenaran itu menyakitkan bagi penguasa.
Kedua, karena jika kekuasaan boleh menentukan siapa yang boleh belajar dan siapa yang layak bicara, kita sedang menghidupkan kembali masa ketika buku dibakar, guru dibungkam, dan ilmu dijadikan pelayan ideologi.
Ketiga, karena rasa takut tak boleh tumbuh di ruang belajar. Jika kampus berubah menjadi ruang interogasi, maka generasi masa depan akan tumbuh dalam ketakutan, bukan dalam kebijaksanaan.
-00-
Sejarah sebagai Cermin Peringatan
Sejarah telah membuktikan bahwa setiap upaya membungkam kampus berakhir dengan kehancuran peradaban.
Pada era McCarthyisme 1950-an, pemerintah AS memaksa universitas mengungkapkan ‘simpatisan komunis.” Itu berujung pada pemecatan profesor, sensor kurikulum, dan hilangnya kepercayaan publik terhadap ilmu pengetahuan.
Pada 1953, di tengah histeria anti-komunis McCarthyisme, University of New Hampshire (UNH) menjadi simbol perlawanan akademik.
Pemerintah AS memaksa universitas memecat tiga profesor
-Barrows Dunham (filsuf), H. Chandler Davis (matematikawan), dan Mark Nickerson (farmakolog)-karena diduga
“simpatisan komunis.”
UNH menolak, bahkan ketika ancaman pemotongan dana federal mengintai. Asosiasi Profesor Amerika (AAUP) mendukung perlawanan ini dengan argumen.
“Jika negara boleh memecat dosen hanya karena pandangan politiknya, maka universitas akan menjadi museum ideologi, bukan ruang pencarian kebenaran.”
Kasus ini menjadi preseden hukum yang melindungi kebebasan akademik di AS hingga hari ini.
Di Tiongkok, Revolusi Kebudayaan 1966-1976 menghancurkan universitas sebagai ‘sarang intelektual borjuis.” Ia menggantikan riset dengan indoktrinasi politik.
Harvard, dengan kesadaran sejarah ini, tidak ingin Amerika mengulangi kegelapan yang sama. Ketika pemerintah Trump menggunakan retorika ‘keamanan nasional’ untuk mengontrol kampus, mereka sedang menyalakan sumbu yang pernah membakar buku-buku Qin Shi Huang dan daftar hitam Hollywood.
Perlawanan Harvard bukan sekadar soal kebijakan 2025, tetapi upaya memutus rantai sejarah yang selalu mencoba membungkam kebenaran demi kekuasaan.
Namun, di tengah ketegangan ini, para analis kebijakan publik dan ahli keamanan nasional mengingatkan bahwa tantangan sebenarnya terletak pada menemukan titik tengah antara keamanan negara dan kebebasan akademik.
Sejumlah lembaga think tank di Washington, seperti RAND Corporation dan Brookings Institution, menyarankan agar pemerintah dan universitas membangun mekanisme dialog yang transparan dan berbasis bukti.
Mereka menekankan bahwa keamanan nasional tidak harus bertentangan dengan kebebasan berpikir. Itu dapat dicapai melalui kerja sama yang saling menghormati hak asasi dan prinsip demokrasi.
Dengan demikian, solusi yang adil dan berkelanjutan dapat ditemukan tanpa mengorbankan nilai-nilai inti yang dijunjung oleh kedua belah pihak.
-00-
Suara dari Dunia Seni
Di Festival Film Cannes 2025, Robert De Niro menerima penghargaan seumur hidup: Palme d’Or Kehormatan.
Tapi malam itu, ia tidak bicara soal film. Ia bicara soal dunia.
Dengan suara berat yang nyaris gemetar, De Niro berkata:
“Donald Trump bukan sekadar ancaman bagi politik. Ia adalah musuh akal sehat dan integritas moral. Jika kita diam, kita akan menyaksikan seni, ilmu pengetahuan, dan kemanusiaan dibakar secara perlahan.”
Ia menutup pidatonya dengan kata-kata yang menggetarkan panggung:
“Jangan pernah diam terhadap kekuasaan yang ingin membungkam jiwa manusia.”
-000-
Apa Makna Perlawanan Harvard?
Ia bukan sekadar gugatan hukum. Ia adalah deklarasi bahwa di tengah zaman yang terpolarisasi, pikiran manusia harus tetap merdeka.
Universitas bukan ruang steril dari konflik moral. Justru di situlah nurani harus diuji—di hadapan kekuasaan, di tengah masyarakat yang gamang, dan di bawah tekanan zaman.
Ketika suara manusia makin sering dibungkam, Harvard menyalakan kembali api kecil bernama akal sehat.
Seperti kata John Milton dalam Areopagitica:
“Berikan padaku kebebasan untuk mengetahui, menyampaikan, dan memperdebatkan secara bebas menurut suara hati—di atas segala bentuk kebebasan lainnya.”
Hari ini, Harvard telah memilih: berpihak pada cahaya, di tengah pekatnya tirani.
Meskipun keamanan nasional adalah prioritas, kebijakan ini tak boleh mengorbankan prinsip dasar demokrasi dan hak asasi manusia. Alasan keamanan tidak boleh menjadi alasan untuk membungkam kebebasan berpikir dan bicara.
Dan kelak, generasi mendatang akan mengingat bahwa di tahun 2025, sebuah universitas pernah berdiri ketika banyak lainnya memilih diam.***
Jakarta, 24 Mei 2025
CATATAN
(1) Reuters: “Future queen of Belgium caught up in Harvard foreign student ban | Reuters
(2) U.S. News & World Report: Is Trump’s War on Harvard a Missed Opportunity? | US News Opinion
(3) NPR: Free speech is shifting under Trump. We’re exploring how : NPR
-000-
Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World