Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Ketulusan di Jalan Setapak dan Ketamakan di Singgasana

February 28, 2025 09:22
IMG-20250228-WA0029

Penulis : Ririe Aiko

HATIPENA.COM – Berdasarkan kisah nyata Supandi, seorang guru honorer di Sukabumi yang hanya digaji Rp192.000,- per bulan, namun tetap bersemangat mengajar dan menempuh jarak 12 km setiap hari untuk mencerdaskan anak bangsa –

—000—

Dalam senyap pagi, ia mengawali hari,
beralas doa di tapak kaki yang renta,
melewati jalan setapak berdebu,
menerobos embun yang masih lelap di daun jati,
ia melangkah,
tanpa keluh, tanpa getir di dada.

Gemerisik angin menyapa tubuh ringkihnya,
seakan bertanya:
“Untuk apa lelah ini kau pikul?”
Ia tersenyum, menjawab lirih dalam batin,
“Demi mimpi yang kusemai
di benak anak-anak desa,
agar mereka tak selamanya merunduk pada tanah,
agar mata mereka mampu menembus batas cakrawala.”

—000—

Di gubuk ilmu yang bersahaja,
dindingnya rapuh, disulam waktu
yang enggan berhenti,
ia mengeja aksara dengan suara lembut,
mengalirkan makna dari huruf yang sederhana.

Papan tulis berdebu jadi saksi,
gurat kapur menari, merajut asa,
sementara perutnya hanya bersandar
pada sisa nasi semalam,
gaji tak lebih dari sekadar angka,
seratus sembilan puluh dua ribu rupiah,
tak sebanding dengan peluh yang jatuh.¹

Tapi hatinya tetap lapang,
seperti ladang yang tak pernah mengeluh pada kemarau,
ia terus mengajar, tanpa henti,
berharap ada seberkas cahaya yang menyelinap,
di antara jendela sekolah yang bolong dimakan usia.

—000—

Nun jauh di sana,
di istana yang berdiri megah dengan pilar-pilar menjulang,
mereka duduk di kursi empuk,
mengeluh lelah di balik jas mahal,
merasa kurang meski gaji menggunung,
lalu tangannya gemetar,
meraih lembaran uang yang bukan haknya,
menumpuk kekayaan dari peluh yang bukan miliknya.²

Mereka lupa,
bahwa di balik angka yang mereka curi,
ada seribu mimpi yang terampas,
ada bangku-bangku reyot yang tak kunjung diganti,
ada papan tulis yang menangis dalam sunyi,
menanti coretan kapur yang nyaris patah.

—000—

“Ayah, kenapa kau selalu pergi jauh?”
Suara kecil menahannya di ambang pintu.
Ditatapnya wajah mungil yang penuh harap,
dielusnya rambut lembut itu perlahan.

“Agar kelak kau tak perlu berjalan sejauh ini, Nak,
agar buku yang kau genggam tak sekadar dongeng,
agar kau bisa menggambar peta hidupmu,
melampaui bukit yang jadi batas pandanganku.”

Anak itu mengangguk, meski tak sepenuhnya paham,
sementara sang istri hanya diam,
menyimpan luka di balik senyum pasrah,
pundaknya merunduk bersama beban yang kian berat.

—000—

Langkahnya tak pernah berhenti,
meski tapaknya mulai retak,
meski hujan menghapus jejak,
ia terus berjalan,
seperti doa yang tak pernah lelah dipanjatkan.

Dalam sunyi, ia mengerti,
bahwa keikhlasan tak diukur dari angka,
tapi dari mimpi yang tetap hidup di kepala-kepala kecil itu,
dari semangat yang menyala meski api nyaris padam.

Di penghujung senja, ia kembali pulang,
melewati jalan yang sama,
dengan hati yang penuh, meski kantongnya kosong.
Ia tahu, esok hari perjalanan ini akan terulang,
namun tak sekalipun niatnya goyah,
karena menjadi guru adalah caranya mencintai kehidupan,
tanpa syarat, tanpa pamrih.

—000—

Namun di balik jendela kaca istana,
Para Tikus tertawa dalam pesta megah,
tak ada tapak kaki yang retak,
tak ada perut yang perih menahan lapar,
mereka kenyang oleh kuasa,
tak peduli derita yang lemah

Mereka berkata, “Ini untuk rakyat,”
namun tak sedikit pun remah jatuh ke tanah,
upah layak habis di lahap,
dikorupsi para penjilat

mereka duduk di singgasana,
menghitung harta yang kian bertambah,
tanpa tahu bahwa di jalan sunyi itu,
ada guru yang menanamkan kejujuran,
agar suatu hari,
tak ada lagi yang mengkhianati amanah.

—000—

Catatan:

(1)https://www.detik.com/edu/edutainment/d-7741698/tempuh-jarak-12-km-per-hari-guru-honorer-di-sukabumi-hanya-bergaji-rp200-ribu?utm_source=chatgpt.com
(2)https://nasional.kompas.com/read/2025/02/27/14210521/daftar-10-kasus-korupsi-terbesar-di-indonesia?page=all