Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Kidung Cinta Senyap

December 30, 2024 22:00
Ilustrasi: Artificial Intelligence (AI)/ Hatipena
Ilustrasi: Artificial Intelligence (AI)/ Hatipena

ADA RASA yang tersentuh,
Berdesir lembut di tepian kalbu.
Sapaan cinta yang tak pernah terucap,
Membekas halus di sela-sela rindu.

Pagi di tanah Baduy adalah nyanyian hening yang meresap dalam jiwa. Ayla, gadis dengan mata bening dan pipi merona, duduk di ambang pintu bilik bambu. Rambutnya tergerai lembut, berayun pelan mengikuti tarian angin subuh. Di matanya, dunia adalah hutan hijau yang tak tersentuh, sungai jernih yang mengalir tanpa henti, dan langit luas yang merentang tanpa batas.

Ia mencintai pagi yang sunyi. Setiap desir angin dan gemercik air sungai mengajarinya tentang ketenangan. Namun, hari ini, dadanya sesak oleh debar yang belum pernah ia kenal. Sejak pertemuan itu—tatapan itu—waktu seolah berhenti.

Rakasetra. Nama itu mengalir seperti melodi di kepalanya. Suara lelaki asing yang pertama kali memanggilnya dengan lembut, membuat pipinya memerah dan jantungnya berlari-lari di dada. Pemuda dengan mata teduh dan senyum yang mampu menembus batas-batas adat Baduy yang selama ini dijunjungnya.

Ayla tahu, ia tak boleh merasa seperti ini. Pikukuh, hukum adat yang mengikat tanah dan jiwanya, melarang segala bentuk hubungan di luar batas keturunan dan tradisi. Hidup di Baduy Dalam berarti tunduk sepenuhnya pada aturan leluhur. Tidak ada cinta di luar perjodohan yang telah diatur orang tua. Tidak ada ruang untuk hati yang berontak.

Namun, bagaimana mungkin ia mengingkari apa yang sudah tertanam di dadanya? Tatapan itu. Debar yang membuat napasnya tercekat.

Raka, di sisi lain, berjuang melawan badai yang tiba-tiba menyerbu hidupnya. Ia datang ke Baduy untuk bekerja sebagai pemandu wisata, bukan untuk jatuh cinta pada gadis yang bahkan namanya saja baru ia ketahui dari tamu yang menginap. Tapi ada sesuatu dalam diri Ayla—kesederhanaan, ketulusan, dan mata bening itu—yang memikatnya tanpa ampun.

Dalam senyap, mereka saling mencari. Alya sengaja berdiri di ambang pintu biliknya setiap kali rombongan tamu datang. Raka selalu memastikan ia ikut membawa tamu ke bilik Ayla. Mereka saling menatap, tanpa kata, tanpa sentuhan, hanya mengirim pesan melalui kilau di mata.

Dalam Senyap, Rahasia yang Tertanam.

Hari-hari berlalu. Ayla mulai menganyam gelang dari biji saga merah. Setiap helai dianyam dengan doa dan harapan yang ia sendiri tak berani ucapkan. Raka membalas dengan sebuah gelang perak kecil, berinisial namanya. Melalui tamu-tamu yang datang, pesan cinta itu disampaikan. Tak ada kata yang terucap, namun hati mereka saling mengenali.

Ayla menyimpan gelang itu di bawah tikar tidurnya, seperti rahasia yang tak boleh tersentuh siapa pun. Setiap malam, ia memandangi gelang itu, membayangkan wajah Raka yang teduh dan suara lembutnya yang mengalir di telinga. Namun, di sudut hatinya, ketakutan mulai bersemi. Bagaimana jika orang-orang tahu? Bagaimana jika sang Pu’un, kepala adat mereka, mendengar desas-desus ini?

Raka pun tak luput dari gelisah. Temannya, Riyan, memperingatkan bahaya yang mengintai. “Lu gila, Raka! Ini Baduy Dalam, bukan kota tempat lu bisa bebas pacaran. Lu mau kita semua diusir dari sini?” kata Riyan dengan nada gusar.

Tapi Raka tak peduli. Hatinya sudah tertaut pada gadis itu. Setiap kali ia mencoba menjauh, kenangan tatapan Ayla memanggilnya kembali. Seperti getaran yang tak bisa ia redam.

Ketika Cinta Melawan Takdir.

Langit di Baduy menggelap ketika kabar tentang Raka dan Ayla mulai menyebar. Beberapa tamu melihat interaksi mereka yang tak biasa. Desas-desus mulai menyusup di antara bilik bambu. Ayla merasakan tatapan tajam para tetua desa. Ia tahu waktunya habis.

Raka, yang mendengar kabar itu, tak mampu tinggal diam. Di bawah langit malam yang dipenuhi bintang, ia menemui Ayla di tepi sungai. “Ayla…” suaranya bergetar.

Ayla menatapnya dengan mata yang dipenuhi air. “Kita tak bisa seperti ini, Raka.”

“Tapi aku mencintaimu.”

“Cinta tak cukup di sini.”

Raka meraih tangannya. “Ikut aku keluar dari sini. Kita bisa mulai hidup baru. Jauh dari aturan yang mengikatmu.”

Ayla menatap gelang saga di pergelangan tangannya. “Aku bagian dari tanah ini, Raka. Aku tak bisa meninggalkan semuanya.”

Air mata jatuh di pipi Ayla, mengalir seperti sungai yang tak mungkin kembali ke hulu. Raka terdiam. Ia tahu Ayla benar. Dunia mereka terlalu berbeda.

Senyap yang Abadi.

Esoknya, Raka pergi tanpa sempat mengucapkan kata perpisahan. Ayla hanya bisa menatap langkah-langkahnya menjauh, seperti burung yang terbang ke cakrawala, meninggalkannya di tanah yang selalu memanggilnya pulang.

Namun, cinta itu tak pernah mati. Di biliknya, Ayla masih menyimpan gelang perak itu, seperti nyala api kecil yang terus hidup di tengah badai. Dan di luar sana, di dunia yang lebih luas, Raka tetap membawa gelang saga merah, mengingatkan bahwa di suatu tempat, ada gadis dengan mata bening yang pernah membuatnya percaya pada cinta.

Cinta mereka tak pernah terucap,
Namun tak juga padam.
Dalam senyap, mereka tetap saling mengingat.
Seperti nyala api yang menyala di hati,
Tak terlihat, namun abadi. ***

Diceritakan kembali oleh Guys MPS dari kisah yang dituturkan oleh Violetta Ayanna