Hanifah (Foto: Surya.co.id)
Penulis : Dwi Sutarjantono *)
HATIPENA.COM – Namanya Hanifah. Sederhana, seperti embun pagi yang turun tanpa suara, namun menyegarkan bumi yang kering. Tidak memiliki ejaan yang rumit seperti kebanyakan nama remaja seusianya. Wajahnya pun sederhana, tapi matanya tajam, bagaikan nyala obor di tengah malam gelap, memberi petunjuk ke mana arah kebenaran.
Di saat dunia pendidikan tenggelam dalam pusaran kebijakan yang tak tersentuh, Hanifah muncul sebagai riak kecil yang berani menantang arus. Siswi kelas 12 di SMAN 7 Cirebon ini mungkin tak pernah membayangkan bahwa langkah kecilnya akan bergema di seluruh negeri. Saat dihadapkan pada ketidakadilan, ia memilih berbicara. Bukan sekadar untuk dirinya sendiri, tetapi untuk kebenaran yang lebih besar.
Sebagai anak ASN penerima Program Indonesia Pintar (PIP), Hanifah seharusnya paham tata krama: diam, tunduk, menerima. Tapi Hanifah memilih sebaliknya. Mulut yang seharusnya terbungkam, justru membuka kenyataan yang tak ingin didengar banyak orang. Sebagian dari dana itu dipangkas oleh tangan-tangan yang mengatasnamakan partai politik, dengan dalih untuk “kelancaran” pencairan. Bagi banyak siswa, pemotongan ini dianggap sebagai takdir, seperti hujan yang turun tanpa bisa dicegah. Tapi tidak bagi Hanifah.
Ketika sebagian besar memilih tunduk, ia berdiri tegak. Suaranya yang lantang membelah kebisuan, seperti lonceng gereja yang berdentang di tengah malam, membangunkan mereka yang tertidur dalam kebungkaman. Ia mengungkap praktik curang ini kepada Gubernur Jawa Barat terpilih, Dedi Mulyadi. Hanifah tidak berbicara dengan amarah, tetapi dengan keteguhan hati yang tak tergoyahkan. Ia tahu bahwa diam berarti membiarkan ketidakadilan berakar semakin dalam. Dan keberaniannya pun tak sia-sia. Kata-katanya mengguncang banyak pihak dan menguak tabir kejanggalan dalam distribusi dana bantuan pendidikan.
Hanifah adalah bunga liar yang tak memilih tanah tempatnya tumbuh. Ia mekar di antara reruntuhan, menantang semak berduri yang ingin mencekiknya. Ia tidak meminta izin untuk mekar, tidak tunduk pada aturan yang hanya menguntungkan mereka yang rakus. Keberaniannya seperti burung kecil yang menantang angin topan, mengepakkan sayapnya di langit yang tak menjanjikan perlindungan. Tapi ia terus terbang, sebab menyerah bukan pilihannya. Namun, justru karena langka, anak-anak seperti Hanifah harus kita jaga. Mereka adalah percikan kecil yang, jika dibiarkan redup, akan hilang ditelan kerakusan sistem.
Berbicara kebenaran bukanlah perkara mudah. Ada harga yang harus dibayar. Pandangan sinis, tekanan dari mereka yang merasa terusik, bahkan ancaman yang mengintai di balik bayang-bayang. Tapi itulah risiko yang harus dihadapi oleh mereka yang memilih untuk tidak tinggal diam. Hanifah telah membuktikan bahwa keberanian lebih berharga daripada ketakutan.
Kisah Hanifah bukan sekadar tentang seorang gadis yang berani berbicara. Ini adalah refleksi dari realitas yang sering kita abaikan. Tentang bagaimana korupsi merayap seperti akar pohon tua, menggerogoti sistem yang seharusnya menopang masa depan generasi muda. Ia mengajarkan bahwa perubahan tidak selalu datang dari mereka yang memiliki kekuasaan, tetapi sering kali dari suara kecil yang cukup berani untuk didengar.
Di usia yang masih belia, Hanifah telah menjadi mercusuar keberanian. Ia mengingatkan kita bahwa setiap individu memiliki kekuatan untuk melawan ketidakadilan, bahwa kebenaran selalu layak diperjuangkan. Namun, keberanian seperti ini tidak boleh dibiarkan sendirian. Hanifah dan anak-anak sepertinya adalah nyala api kecil yang harus kita lindungi, agar tidak padam sebelum sempat menerangi dunia, agar tidak tenggelam sebelum sempat menyentuh langit. Sebab tanpa mereka, kita hanya akan terus hidup dalam sunyi yang menghamba pada kebobrokan.
Hanifah, namamu memang sederhana. Tapi keberanianmu tidak. Suaramu kecil, tapi menggema panjang. Pilihanmu sederhana, tapi berat: mengungkap kebenaran, meski dunia lebih nyaman dalam kebohongan.(*)
,*) Penulis/Mind Programmer/ Sekretaris Satupena DKI