HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Kisah Negeri Berjaya: Negeri Kaya, Tapi Rakyat Sengsara

July 24, 2025 11:36
IMG-20250724-WA0039

*) Cerita ini hanyalah fiksi belaka tentang Negeri Berjaya

Oleh : Ririe Aiko

HATIPENA.COM – Di sebuah negeri yang diberi nama Negeri Berjaya, tanah begitu subur, laut menghamparkan rezeki, tambang menyimpan kekayaan hingga ke perut bumi. Negeri ini tak pernah kekurangan alasan untuk disebut Berjaya: dari sawit hingga nikel, dari devisa ekspor hingga investasi asing. Namun, bagi rakyat yang hidup di dalamnya, “kejayaan” itu sering kali hanya dikuasai para penguasa. Sementara rakyatnya hanya bisa berjaya dengan banyaknya tagihan, utang, dan pajak yang semakin merambah semua sektor.

Ada kisah menarik tentang seorang sarjana muda—namanya Arka—lulusan universitas ternama di Negeri Berjaya. Ia menghabiskan ratusan juta rupiah demi selembar ijazah, bersusah payah menggadaikan masa mudanya dengan utang pendidikan. Harapannya sederhana: pekerjaan yang layak, gaji yang cukup, dan kesempatan hidup yang lebih baik. Namun, begitu wisuda usai dan toga dilipat, realitas menghadang. Dunia kerja tak seindah yang dijanjikan brosur kampus. Lapangan kerja terbatas, persaingan luar biasa ketat, dan ketika akhirnya ia mendapat pekerjaan, badai ekonomi datang dan Arka pun kehilangan penghasilan—yang sejak awal, gajinya pun pas-pasan.

Tak ingin menyerah, Arka mencoba peruntungan lain. Ia belajar berdagang, membuka toko daring, menjajal algoritma jualan online, demi bisa menyambung kehidupan. Ketika akhirnya ada sedikit laba, datanglah sebuah kebijakan baru yang mewajibkan para penjual online membayar pajak. Bukan karena ia tak mau taat aturan, tapi ada kelelahan batin yang tak bisa ditepis. Sebab, dalam hatinya yang paling dalam, Arka tak habis pikir—mengapa rakyat kecil terus diperas dalam aturan? Mungkin tak seberapa bagi penguasa, tapi bagi mereka yang mengais recehan dari keuntungan jualan online, ini sama dengan mencekik leher diam-diam.

Sebenarnya, kebijakan tak selalu salah. Pajak, jika dikelola adil dan transparan, adalah tulang punggung negara. Namun, di Negeri Berjaya, kepercayaan rakyat pada keadilan sistem telah lama terkikis. Mereka menyaksikan betapa banyak pejabatnya korupsi, dan dengan santainya hahaha-hihihi di layar kaca, tanpa merasa berdosa.

Tak apa jika pajak nyatanya memang memakmurkan rakyat, tapi entah rakyat mana yang sudah benar-benar merasa makmur dengan hasil pajak? Melihat kondisi ekonomi sekitar, begitu banyak orang miskin makin miskin, sibuk memutar akal agar besok tak masuk dalam headline berita: “Satu Lagi Warga Mati karena Kelaparan.”

Arka bukan satu-satunya. Di Negeri Berjaya, jutaan anak muda bernasib sama. Mereka tak malas, tak kurang berilmu, tak lemah dalam daya juang. Tapi mereka lelah—dipaksa terus beradaptasi di tengah sistem yang pincang dan timpang. Mereka tak butuh belas kasihan, hanya keadilan—yang selama ini hanya indah di atas kertas undang-undang.

Dan barangkali, kesalahan terbesar Arka bukan karena ia tak mampu bersaing. Tapi karena ia—seperti jutaan lainnya—terlahir di Negeri Berjaya. Sebuah negeri yang katanya kaya raya luar biasa, tapi gagal menjadikan kekayaan itu sebagai berkah untuk semua. (*)

Catatan:
Sekali lagi, Cerita ini hanyalah fiksi belaka tentang Negeri Berjaya. Jika terasa mirip dengan negeri manapun, itu murni kebetulan. Penulis tidak bertanggung jawab atas kesamaan isi dengan kenyataan—apalagi jika terasa terlalu menyentil nurani.