Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Judulnya sangat clickbait, ya. Judul itu saya ambil dari chanel Calon Sarjana. Akun youtube salah satu favorit saya ini memang penuh warna bila mengupas sebuah topik. Pada 21 Juli 2025 (kemarin), akun ini mengulik tentang negeri Nohran itu. Dalam hati, negara sehebat Korea sepertinya lebih indah dari Kota Pontianak, karena bisa kapan saja ngopi di warkop. Siapkan kopi tanpa gulanya, wak!
Sungguh ironis. Negara yang katanya paling glowing, paling estetik, paling maju, paling K-pop, dan paling banyak oppa ini ternyata sedang duduk di atas ranjau yang meledaknya tinggal nunggu hitungan mundur dari langit. Korea Selatan, negeri seribu serum dan sejuta plastik, ternyata menyimpan rahasia kelam yang tak tertutupi bahkan oleh concealer paling mahal di Gangnam. Ini bukan teori konspirasi. Ini data, nyata, dan menyakitkan seperti habis operasi rahang tanpa bius.
Bayangkan, wak! Jembatan indah yang diberi nama The Bridge of Life justru jadi tempat favorit bundir, bukan gol bunuh diri ala pemain Filipina itu. Iya, favorit, kayak tempat nongkrong anak muda. Samsung sampai harus masang lampu terang, CCTV, sensor tekanan, dan telepon darurat. Tapi alih-alih menenangkan, itu justru bikin tempat itu makin estetik buat terakhir kali selfie. Yang awalnya setahun cuma belasan orang, naik jadi hampir 200! Selamat datang di dunia di mana “tempat bunuh diri” di-branding dengan estetika dan pencahayaan.
Anak-anak Korea, kecuali si ehem Nohran. Tidur mereka cuma 6 jam, sekolah dari pagi buta sampai malam gulita, terus lanjut hakwon alias les sampai malam buta, dan masih harus ngerjain PR. Kalau neo (kamu dalam bahasa Korea) pikir itu berlebihan, neo belum lihat ujian Sunung. Ujian ini kayak Hunger Games tapi versi akademis, delapan jam, satu kali dalam setahun, satu kesalahan bisa bikin neo dihitung sebagai gagal dalam hidup. Serius. Gagal Dalam Hidup. Makanya enggak heran, dari 3.000 orang usia 15-69 tahun, 46,3% mengalami stres ekstrem. Stresnya bukan yang bisa diobati seruput kopi liberika. Ini stres yang bikin nuan mempertanyakan eksistensimu setiap kali lihat cermin, yang kalau sampeyan nggak cakep, makin stres lagi.
Soal cakep? Jangan mulai. Korea Selatan adalah ibu kota operasi plastik dunia. Kelopak mata dobel itu bukan pilihan, itu kebutuhan. Hadiah kelulusan? Bukan sepatu, bukan motor, tapi operasi plastik. Instagram dan budaya selebriti membuat semua orang ingin terlihat sempurna, bahkan kalau harus mengedit muka sampai mirip AI. Hansohi, artis yang coba melawan standar itu, malah dihujat dan depresi sampai akhirnya… ya, kalian tahu kelanjutannya.
Lebih kacau lagi, cewek-cewek Korea (jadi ingat Red Sparks) sekarang banyak yang memutuskan untuk tidak menikah, tidak punya anak, dan tidak peduli pada laki-laki. Kenapa? Karena sistem sosial masih patriarki. Hasilnya? Tingkat kelahiran Korea Selatan jadi yang terendah di dunia. Kalau tren ini lanjut, tahun 2060 penduduk muda Korea tinggal 5%. Lima Persen! Itu bahkan lebih sedikit dari diskon yang biasanya ente tolak di kasir.
Di atas semua itu, berdirilah para Chaebol, konglomerat macam Samsung dan Hyundai, yang mengatur negara seperti main The Sims. Mereka bukan cuma punya uang, mereka punya sistem. Pendidikan dibuat sekeras mungkin agar semua orang berlomba-lomba masuk ke perusahaan mereka. Masyarakat dikondisikan untuk terlihat sempurna, agar tidak punya waktu bertanya kenapa hidup mereka kosong.
So, negeri musuhnya Kim Joung Un ini bukan akan hancur karena perang nuklir atau zombie. Tapi karena terlalu banyak orang yang hidup bukan sebagai manusia, tapi sebagai konten. Di negeri tempat standar sempurna adalah kewajiban dan kegagalan adalah kutukan, mungkin satu-satunya harapan tinggal pada siapa yang pertama kali berani berkata, “Nggak apa-apa, aku jelek, aku gagal, tapi aku hidup.”
Hari itu… mungkin akan jadi hari Korea Selatan benar-benar selamat. (*)
#camanewak