HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Koruptor, Manusia Jenis Apa?

October 20, 2025 21:37
IMG_20251020_213156

Catatan untuk Puan Maharani

Oleh: Syaefudin Simon
Kolumnis, anggota Satupena Jakarta

HATIPENA.COM – Ketua DPR, Puan Maharani, dengan wajah teduh dan nada empati berkata — koruptor juga manusia, jangan disakiti, jangan disita semua hartanya. Dia punya anak cucu. Makan apa nanti?

Ucapan Ketua DPR itu seperti narasi satir yang menunjuk dirinya sendiri. Di negeri yang rakyatnya berdesakan antre minyak goreng dan menjerit karena harga beras tak turun-turun, empati justru diberikan pada mereka yang menilap uang rakyat.

Keterlaluan Puan. Pinjam kata Bang Haji Rhoma Irama.

Ya, benar. Koruptor memang manusia. Tapi manusia jenis apa? Yang makan dari uang bantuan sosial? Yang menilep dana haji, dana desa, bahkan uang proyek pengadaan kitab suci? Bila mereka manusia, maka rakyat jelata yang harus membayar pajak untuk menutup lubang kebocoran APBN akibat korupsi itu — apa? Hewan percobaan?

Kata-kata Puan itu menampar logika publik. Seolah yang menyuap, mencuri, memanipulasi proyek, hingga menguras dana publik masih pantas dilindungi perasaan dan dompetnya.

Makan apa anak cucu mereka?, katanya. Jawabannya sederhana: makan dari hasil kerja jujur, seperti jutaan rakyat yang tak punya koneksi, tak duduk di kursi empuk parlemen, dan tak bisa menilep anggaran.

Ironis memang. Ucapan itu keluar dari Ketua DPR, lembaga yang seharusnya jadi pengawas. Tapi justru sering jadi bagian dari masalah yang diawasi.

Lihat daftar panjang kasus suap, gratifikasi, dan “uang ketok palu” di Senayan. Dari kasus e-KTP, bansos, sampai proyek infrastruktur. Legislatif, eksekutif, yudikatif — semuanya punya andil dalam parade panjang korupsi nasional.

Data Transparency International 2024 menempatkan Indonesia di peringkat 115 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi. Nilainya stagnan, meski KPK (yang dulu garang) kini ompong, dilemahkan lewat revisi undang-undang, dan dijadikan ajang barter jabatan. Para koruptor tertawa, menyiapkan pengacara mahal, sementara rakyat hanya bisa menatap layar TV menyaksikan “drama pengampunan nasional” bagi para pencuri bersetelan jas.

Jika logika “koruptor juga manusia” dipakai, maka logika selanjutnya bisa jadi lebih absurd: maling ayam juga manusia, copet dompet juga punya anak, bandar narkoba juga butuh makan. Haruskah semua dimaafkan atas nama “kemanusiaan”?

Sungguh aneh, di negeri yang menelurkan istilah uang pelicin, fee proyek, jatah komisi, korupsi malah jadi bagian dari budaya birokrasi. Dari bawah meja kantor kelurahan sampai ruang rapat kementerian, amplop sudah jadi alat komunikasi. Tapi ketika ada suara rakyat menuntut keadilan, justru muncul pembelaan moral bagi para koruptor.

Lebih getir lagi, banyak koruptor hidup lebih makmur setelah keluar dari penjara. Rumah tak disita, aset disembunyikan atas nama keluarga, bisnis tetap berjalan. Hukuman mereka seperti liburan panjang dengan fasilitas premium. Dalam logika Puan, mungkin mereka korban keadaan. Tapi dalam logika rakyat, mereka adalah pencuri masa depan bangsa.

Negara ini kehilangan triliunan rupiah tiap tahun karena korupsi. Uang yang seharusnya untuk membangun sekolah, rumah sakit, dan subsidi rakyat kecil, malah menguap di rekening pribadi. Maka, ketika seorang pejabat tinggi bicara seolah koruptor pantas dikasihani, rasanya seperti menabur garam di luka terbuka bangsa.

“Koruptor juga manusia,” katanya. Ya, tapi manusia yang memakan manusia lain. Yang membuat anak-anak di pelosok tak bisa sekolah layak, yang membuat petani susah pupuk, dan tenaga medis kekurangan alat. Jika semua harta koruptor tak boleh disita, lalu keadilan harus makan apa?

Puan mungkin lupa: kemanusiaan sejati justru berpihak pada yang miskin dan tertindas, bukan pada mereka yang menumpuk kekayaan dari darah rakyat. Kasihan memang, anak-cucu koruptor bisa kehilangan kenyamanan. Tapi lebih kasihan lagi jutaan anak bangsa yang kehilangan masa depan karena negara tak punya uang akibat korupsi yang “dikemanusiaankan.”

Kalau empati harus dibagi, baiklah. Beri sedikit empati kepada rakyat yang setiap hari disuruh hemat listrik, bayar pajak tepat waktu, dan patuh aturan. Tapi jangan pernah meminta rakyat untuk berempati kepada koruptor. Sebab jika “koruptor juga manusia,” maka mungkin nurani bangsa ini sudah lama mati. (*)

Berita Terkait

Berita Terbaru