HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Kuliah di Taman Alun Kapuas, Kampus Tanpa Dinding

October 7, 2025 14:14
IMG-20251007-WA0051

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

HATIPENA.COM – Pukul delapan pagi. Matahari baru naik setengah tiang, tapi semangat mahasiswa saya sudah penuh, menyalip sinar mentari. Hari ini bukan hari kuliah biasa. Tak ada whiteboard, tak ada infokus, tak ada sisa spidol kering yang harus dipukul-pukul. Kami kuliah di Taman Alun Kapuas, tempat di mana rumput jadi karpet, angin jadi pendingin alami, dan air mancur jadi dosen tamu.

Saya buka kuliah dengan kisah manusia langka dari Bangladesh, Muhammad Yunus. Lulusan Amerika, profesor ekonomi yang awalnya sangat taat pada kitab kapitalisme. Tapi setiap kali berangkat dari rumah menuju kampus, matanya disuguhi pemandangan kemiskinan yang menampar teori. Buku mengajarkan efisiensi, tapi kenyataan di jalan justru menjerit lapar. Akhirnya ia berhenti mengajar teori kosong, lalu mendirikan Grameen Bank, bank untuk orang miskin tanpa jaminan, tanpa dasi, tanpa janji palsu. Dunia bertepuk tangan, Nobel Ekonomi jatuh ke tangannya, dan ia menertawakan ironi pendidikan tinggi, sering tinggi gedungnya, tapi dangkal maknanya.

Mahasiswa saya mendengar serius. Saya tersenyum, “Itu pelajaran pertama, Nak. Jangan jadi sarjana yang hafal rumus tapi lupa manusia.” Mereka tertawa. Tapi saya tahu, tawa mereka sedang merenung.

Saya lalu menunjuk seorang petugas kebersihan yang tengah menyapu dedaunan. “Itu dosen sejati,” kata saya. “Ia mengajar konsistensi. Setiap pagi menyapu daun yang akan jatuh lagi sore nanti. Ia tahu pekerjaannya tak pernah selesai, tapi ia tetap melakukannya.”
Seorang mahasiswa berbisik, “Berarti kita juga harus sabar, Pak?”
Saya jawab, “Bukan sabar, tapi sadar. Hidup itu seperti taman ini, kalau berhenti dibersihkan, lama-lama penuh sampah.”

Di sebelah kanan, orang-orang berolahraga. Saya tanya, “Coba pikir, mereka itu ingin sehat atau ingin umur panjang?”
Beberapa langsung menjawab dengan teori biologi, lainnya dengan filsafat eksistensial. Seorang mahasiswa berceloteh, “Kalau umur panjang tapi banyak utang, buat apa, Pak?”
Saya tertawa. “Nah, itu sudah mirip ekonom sejati, menghitung hidup dengan variabel beban.”

Air mancur menari di tengah kolam, memercikkan cahaya. Saya tunjuk ke sana, “Lihat air itu. Ia bisa menjulang tinggi karena tekanan dari bawah. Seperti kalian, harus punya dorongan batin agar bisa naik. Kalau hanya ikut arus, ya berhenti di permukaan.”

Lalu kami menatap jembatan penyeberangan. “Itu contoh ilmu teknik dan iman bekerja bersama,” kata saya. “Kalau salah hitung, roboh. Tapi kalau terlalu takut menyeberang, ilmu pun tak berguna.” Mahasiswa tertawa lagi, tapi saya tahu dalam diam mereka mulai paham, bahwa keberanian adalah bagian dari logika.

Di ujung taman, anak-anak TK berlari-lari kecil. Dunia mereka sederhana, jatuh, bangun, tertawa lagi. Saya bilang ke mahasiswa, “Itu laboratorium psikologi paling jujur. Anak-anak belajar tanpa sadar mereka sedang belajar.”

Kuliah pun usai. Salah satu mahasiswa nyeletuk, “Pak, minggu depan kita kuliah outdoor lagi ya?”
Saya jawab, “Boleh. Tapi jangan di mall. Nanti yang kalian pelajari bukan teori hidup, tapi teori diskon.”

Saat mereka bubar, saya duduk menatap sungai. Angin membawa aroma kopi dan suara kapal lewat. Dalam hati saya tahu, taman ini lebih jujur dari banyak ruang kuliah. Di sini, daun gugur bisa bicara tentang ikhlas, air mancur mengajar tentang semangat, dan tukang sapu memberi kuliah tentang ketekunan.

Karena sejatinya, kampus bukan soal gedung dan absensi. Kampus adalah kehidupan itu sendiri, selama kita mau belajar dari segala yang bernapas.

Kampus sejati bukanlah gedung bertingkat dengan dosen berjas dan mahasiswa bersepatu formal, melainkan tempat di mana pikiran bisa tumbuh dan hati bisa tercerahkan. Ilmu tak hanya lahir dari buku, tapi juga dari daun yang gugur, air yang menari, dan manusia yang bekerja. Belajarlah bukan hanya untuk pintar, tapi untuk peka; bukan hanya untuk lulus, tapi untuk hidup. Sebab kehidupan adalah universitas paling luas, dan setiap hari adalah ujian kejujuran kita sebagai manusia pembelajar. (*)

#camanewak