Anies Septivirawan | Penulis
HATIPENA.COM – Langit siang di kecamatan Asembagus, Situbondo, Jawa Timur cerah. Cuaca panas. Angin kencang nan kering menghempas sebagian sampah plastik di jalanan aspal berlubang.
Di suatu siang, akhir bulan September. Panas menyengat. Panas matahari membakar aspal badan jalan, panasnya memantul dan memanggang wajahku. Perutku kosong. Udara tidak bersahabat.
Aku menghentikan laju motor, menepi ke pinggir jalan di sebuah kecamatan di kabupaten Situbondo sebelah timur. Kugeletakkan motor di bawah pohon Cemara yang di sebelahnya terparkir sebuah gerobak berisi makanan khas Asembagus. Makanan khas itu bernama “Nasek Sodu”.
Aku memesan secangkir kopi pahit dan sepiring makanan khas Asembagus, “Nasek Sodu” kepada sang pria setengah baya yang baru bangun dari tidurnya di atas lincak kayu setengah reot.
Sejak tadi, dari jauh kulihat pria itu tampaknya tertidur pulas, damai dan tidak peduli pada dagangannya yang sepi karena tidak ada pembeli.
Hanya aku saja yang kini duduk sebagai pembeli yang lapar. Duduk di hadapan gerobak berisi dagangan kuliner khas Asembagus itu.
Tempat dagangan pria itu sejuk karena dipayungi pohon Cemara meskipun sedikit bising suara kendaraan jurusan Surabaya – Banyuwangi dan sebaliknya.
Di kecamatan Asembagus ini, tempat lahirnya kuliner khas bernama Nasek Sodu. Dan para penjualnya bertebaran di seluruh antero Asembagus, bahkan sebagian ada juga di Situbondo kota. Namun aku tidak tahu persis, sejak kapan kuliner khas Asembagus ini booming dan digandrungi banyak orang dari berbagai daerah luar Situbondo.
Yang hanya aku tahu dan aku rasakan Nasek Sodu ini sudah sejak ada ketika aku masih bersekolah. Meskipun rumahku di kota, aku sering mencicipi di warung – warung kecil saat aku bolos sekolah. Sampai hari ini, sampai saat ini, sampai usiaku menginjak 56 tahun, aku tidak pernah lupa pada rasa Nasek Sodu.
Aku bertanya kepada sang pria penjual Nasek Sodu yang baru terbangun dari tidur lelapnya itu,
”Sudah berapa lama berjualan Nasek Sodu, mas?” tanyaku.
“Sudah agak lama juga, ” jawabnya.
“Dulu, saya sering makan nasek sodu di sebelah gerobak ini,” ujarku sembari jemariku menunjuk ke arah sebelah gerobak.
“Oh…iya …itu dulu yang jualan adalah paman saya dan istrinya. Tapi mereka berdua sudah lama pergi dan bekerja di negeri Jiran, Malaysia sepuluh tahun lalu. Dan setelah itu saya tidak mendengar kabarnya lagi tentang paman dan istrinya,” ujar sang pria setengah gondrong seraya matanya menyapu pandang pada sebuah benda berupa meja panjang dan deretan kursi kayu usang nan lapuk.
Ekspresi wajah sang pria seolah memaparkan gambaran berpuluh tahun lalu saat pamannya berjualan kuliner khas yang kini sudah jadi ikon Situbondo.
“Paman saya dan istrinya adalah orang pertama yang berjualan Nasek Sodu di kecamatan ini, setelah itu semakin banyak orang yang ikut – ikutan membuka warung dan menjual Nasek Sodu yang harganya bervariasi, dan warungnya semakin hari semakin banyak saingan akhirnya sepi pengunjungnya, sementara mereka berdua menanggung beban kedua putranya yang kuliah dan yang bungsu masih SMP kala itu.
Warung itu pun tutup, ditinggal bekerja ke luar negeri,” papar pria itu dengan suara lirih yang dilumat suara bising kendaraan di jalan raya provinsi jurusan Banyuwangi – Surabaya.
Meskipun sudah banyak para penjual Nasek Sodu yang bermuara pada persaingan dan faktor adu keberuntungan, gerobak Nasek Sodu milik sang pria gondrong itu tampaknya masih berdiri kokoh setiap hari di tempat itu. Di bawah pohon Cemara berdaun hijau. Di sisi selatan jalan lampu merah, simpang tiga menuju pelabuhan Jangkar.
Kokoh dan masih berdiri, tampak berjualan. Gerobak itu terbukti setiap pagi kulihat saat aku melintas di jalan itu. Kendati hanya satu atau dua orang saja yang membeli. Produk dagangan si pria itu masih bertahan. Meski negeri ini katanya sudah diambang krisis parah, namun daya beli penikmat Nasek Sodu masih kurasa kuat. (*)
Situbondo, 30 Oktober 2025