Oleh : Ririe Aiko
Puisi esai ini terinspirasi oleh tradisi Jepang yang dikenal sebagai Ubasute. Tradisi ini menggambarkan praktik di mana anggota keluarga yang sudah lanjut usia atau sakit dibawa ke tempat terpencil, seperti gunung atau hutan, dan ditinggalkan di sana untuk menemui ajal.
Salah satu kisah terkenal terkait Ubasute adalah “Ubasuteyama” atau “Gunung Pembuangan Nenek”, yang mengisahkan seorang anak yang, karena tekanan sosial, ekonomi, dan kelangkaan sumber daya, terpaksa membawa ibunya yang sudah tua ke gunung untuk ditinggalkan.
—000—
HATIPENA.COM – Di kaki gunung, angin berbisik pelan,
membawa kisah yang usang dan sunyi,
tentang seorang ibu berselimut renta,
dibopong anaknya menuju puncak sepi.
Langit berwarna akai iro¹,
senja terbakar, luka tak kasatmata,
di setiap jejak, bayang-bayang bimbang,
antara kasih dan kewajiban yang terasa beban.
“Ibu, maafkan aku,”
sebuah bisikan, nyaris hilang ditelan angin,
“Dunia ini terlalu lapar, terlalu kejam,
dan aku tak sanggup membopongmu.”
Sang ibu tersenyum dalam diam,
menyusuri kepala anaknya yang dulu ia timang,
tangan keriput yang dulu perkasa,
kini menggigil di ujung takdirnya.
“Anakku, tak ingatkah dulu?
Aku membopong tubuhmu, di antara lelahnya bahuku,
tak pernah sekalipun ku sentuh makanan,
sebelum melihatmu kenyang.”
Daun momiji² berguguran,
merah seperti darah yang mengering,
di puncak itu, si anak meletakkan ibunya,
membiarkannya bersandar pada sebatang pohon tua,
tangan renta ibu bergetar,
berusaha meraih kembali,
sepasang lengan yang dulu ia ajari berjalan.
Tapi lengan itu menghempasnya, kasar.
“Ibu, kau adalah bebanku! Tinggallah di sini,
semoga alam berbaik hati memberimu rezeki.”
Si ibu menangis dengan suara yang habis,
hatinya menjerit sakit,
tapi ia tak mau memanggil anaknya kembali,
karena ia tak ingin lagi menjadi beban,
biarlah ubasute³ menjaganya.
Si anak berjalan turun,
pundaknya terasa ringan,
sesaat langkahnya goyah,
tiap desir angin seakan membisikkan penyesalan.
“Kau lahir dari tubuh ini,
susu yang ku teteskan menjadi darahmu,
tapi kini, anakku,
kau biarkan aku merengkuh maut sendirian?”
Malam turun, bulan menyinari sunyi,
ibu tertidur dalam pelukan tanah dingin,
rautnya teduh, seperti seorang ibu yang baru saja,
melepaskan anaknya ke dunia.
Di kejauhan, sang anak berhenti,
menatap gunung yang kini bisu,
namun ia tak berani kembali,
karena ia terlalu pengecut,
untuk melawan rasa takut,
dari sulitnya bertahan hidup bersama.
Kini gunung Obasute-yama⁴ mengulang kisah yang sama,
di era yang berbeda.
Anak-anak bergegas pergi,
meninggalkan ayah dan ibu menua,
dan mati tanpa anak-anak mereka.⁵ (*)
Catatan:
(1) Akai iro (赤い色) – Warna merah dalam bahasa Jepang, sering dikaitkan dengan senja dan perasaan nostalgia. https://nationalgeographic.grid.id/read/132878527/ubasute-praktik-membuang-orang-tua-dalam-cerita-rakyat-jepang?page=all&utm_source
(2) Momiji (紅葉) – Daun maple merah yang melambangkan keindahan musim gugur serta kefanaan hidup.
(3) Ubasute – Praktik membuang orang tua dalam cerita rakyat Jepang (National Geographic)
(4) Obasute-yama (姥捨山) – Nama gunung dalam cerita rakyat Jepang, tempat pembuangan orang tua yang dianggap beban.
(5)https://www.kompas.id/artikel/jangan-ada-lagi-lansia-yang-meninggal-dalam-kesendirian