Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Langit Biru di Atas Kampung Beribi

February 22, 2025 12:35
IMG-20250222-WA0084

Ilustrasi : AI/ L K Ara
Oleh : L K Ara

HATIPENA.COM – Langit biru membentang luas,
bagaikan kanvas tak berujung,
tempat di mana mimpi dan kenangan
berlayar tanpa batas
di atas Kampung Beribi,
tempat sunyi yang menyimpan rahasia
seperti bisikan angin di antara pepohonan.

Di sini, awan menggumpal di kejauhan,
seperti gumpalan pikiran yang tak terucap
tentang kampung halaman di Kota Lintang,
nun jauh di bumi Aceh, Indonesia.
Bukit-bukit bertebing curam
adalah saksi bisu waktu,
hutan hijau dengan pucuk pepohonan
menari bersama angin,
merangkul langit biru yang sama
dengan peluk hangat masa kecilku.

Di jalan yang berkelok mendaki,
aku melangkah perlahan,
seperti aliran sungai yang mencari muara,
melewati rumah-rumah yang berdiri anggun,
di antara kembang yang berbunga sepanjang jalan.
Aku tersenyum mengenang masa lalu,
jalan setapak di kampungku
juga dipenuhi bunga liar,
mekar tanpa diminta,
indah bagai lukisan alam yang tak lekang oleh waktu.

Kampung Beribi dan Kota Lintang, dua kampung, satu rasa.

Senja merayap perlahan,
seperti selimut jingga yang menenangkan jiwa,
membawa serta bayang-bayang rindu.
Cahaya senja menyelimuti rumah-rumah,
meredup dalam dekapan malam,
menyelusup di antara pepohonan,
saat malam datang, gelap menggores langit
seperti pena di lembar sunyi.
Namun di kejauhan,
suara margasatwa mulai berdendang,
bergema bersama irama alam
bagaikan simfoni rahasia.

Di Kampung Beribi, aku termenung,
meresapi setiap detak waktu,
merasa dilihat Tuhan,
seperti matahari yang selalu setia menyinari.
Dia menghadiahkanku dua dunia,
yang meskipun berjauhan,
bersatu dalam keindahan dan ketenangan:
Kampung Beribi di Brunei Darussalam,
dan Kota Lintang di tanah kelahiran,
terikat oleh benang tak kasat mata
yang menyulam jiwa-jiwa dalam harmoni.

Di Atas Air, Kampung yang Bercerita

Kemudian tiba perhelatan sastra,
pertemuan para penyair se-ASEAN,
di tanah yang biru dan damai ini.
Dari berbagai negeri, mereka berkumpul,
menyulam kata, menabur makna,
bagaikan hujan yang menyuburkan ladang jiwa.
Ada Melayu, ada Jawa, ada Bugis, ada Gayo,
ada suara dari Patani, dari Mindanao,
dari sungai Mekong yang berkelok,
hingga delta Irrawaddy yang sunyi.

Siang itu, kami diajak berlayar,
menyusuri sungai yang tenang,
menuju kampung di atas air.
Rumah-rumah kayu berdiri gagah,
diapit jembatan kecil yang menghubungkan
seperti jalinan kisah yang tak terputus.
Perahu-perahu berlalu,
mengantar anak-anak ke sekolah,
ibu-ibu ke pasar terapung,
ayah-ayah berbincang di serambi,
membangun kehidupan bak anyaman harapan.

Di beranda rumah panggung,
kami dijamu dengan teh hangat,
kue tradisi yang lembut di lidah,
sambil tersenyum melihat wajah-wajah ramah,
menceritakan sejarah yang terukir
di tiap sudut Kampung Beribi,
tempat yang telah berdiri ratusan tahun,
mengalir bersama waktu,
mengakar dalam ingatan bagaikan pohon tua.

Shalat Jumat di Masjid Megah

Hari Jumat datang membawa berkah,
kami diundang ke masjid terindah,
di mana kubahnya berkilauan menatap langit,
dan menara-menara menjulang tinggi
seperti pilar-pilar iman yang kokoh.
Azan melayang di udara,
menggema dalam relung hati,
menyeru pulang jiwa yang haus akan ketenangan.

Di dalamnya, sajadah terbentang luas,
pilar-pilar megah menopang atap keemasan,
udara sejuk menyelinap,
membawa ketenangan dalam sujud.
Khutbah disampaikan dengan khidmat,
mengingatkanku pada shalat di kampung halaman,
di surau kecil yang sederhana namun hangat,
seperti pelukan kasih dari masa lalu.

Menginap di Rumah DR T. Iskandar di Kampung Beribi

Malam itu, selain doa dan puisi,
kami diundang untuk bermalam
di rumah DR T. Iskandar,
ahli sastra Melayu yang tersohor,
di mana setiap sudut di Kampung Beribi
mengalirkan kisah seperti sungai yang tak pernah kering.
Di ruang-ruangnya, diskusi dan cerita
menyatu dengan hening malam,
memberi ruang bagi pikiran dan jiwa
untuk terbang menembus batas waktu dan kata.

Malam Sastra yang Tak Terlupa

Dalam acara inilah,
pertama kali aku membaca puisi,
diselingi sebuku, seni meratap Gayo,
suara lembut menjadi hati menangis
untuk segala rindu yang terpendam.

Di aula besar dengan cahaya lembut,
puisi dibacakan, kisah diceritakan,
sastra melintasi batas negara
seperti angin yang menembus segala sekat,
menyatukan hati dalam aksara.

Aku mendengar suaraku sendiri
bergema bersama suara mereka,
dan dalam aksara yang menyatu,
aku menemukan rumah yang tak berbatas.(*)

Beribi, Bandar Seri Begawan, 21 Juni 1994