Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Langkah Mencari Maestro: Di Tepi Danau Laut Tawar

June 9, 2025 08:28
IMG-20250609-WA0029

Oleh: L K Ara

HATIPENA.COM – Danau Laut Tawar terbentang tenang seperti halaman kitab tua yang memuat rahasia. Di atas perairan yang memantulkan langit Gayo itu, sejarah mengendap dalam diam, dan suara leluhur bergaung dalam irama yang nyaris terhapus waktu. Di sinilah, pada suatu hari penuh makna, langkah seorang pejabat budaya menyentuh tanah yang masih menjaga detak seni: Syaifullah, Direktur Film, Musik, dan Seni, hadir bukan sekadar berkunjung—tapi menyelami.

Ia tidak datang sendiri. Dalam langkah pelan dan pandang yang dalam, turut menyertai dua sosok yang telah lama memijakkan hidupnya di jalan tradisi: Endo Suanda, peneliti kesenian yang telah bertahun-tahun menelusuri denyut warisan tak benda Nusantara; dan Fendi, pencatat setia dari akar-akar seni Gayo, yang telah lama bersetia di antara ruang dengar, panggung kecil, dan suara rakyat yang nyaris tenggelam. Mereka hadir sebagai pengingat, bahwa kerja budaya tak bisa sendiri—ia butuh mata yang jernih dan tangan yang telaten mencatat.

Di antara desa-desa dan di tepian danau, Syaifullah mencari mereka yang dijuluki maestro: para penjaga irama tua, para penari yang mewarisi gerak dari langit-langit zaman. Didong, dengan denting ritmis dan bait-bait satirnya. Guel, dengan gerakan tubuh yang bukan sekadar estetika, tetapi pengantar doa, sejarah, dan keberanian. Seni ini hidup bukan di galeri, tapi di pangkuan rakyat.

Kita hidup di zaman yang cepat melupakan. Dunia digital berlari tanpa sempat menengok bunyi rebana dari kampung. Dalam situasi inilah, kehadiran negara melalui Syaifullah menjadi penting. Bukan hanya sebagai simbol, tapi sebagai pengikat ulang tali yang nyaris putus antara masa lalu dan masa depan. Dan di belakangnya, para pencatat seperti Endo dan Fendi bekerja dalam diam—membuka ruang dialog, menyusun kembali kronik yang tercecer oleh perubahan zaman.

Mereka yang disebut maestro bukanlah orang-orang yang mengejar sorotan panggung. Mereka lebih sering tinggal di gubuk sederhana, bergaul dengan tanah dan sungai, tetapi di hati mereka hidup kompas budaya. Dan kepada merekalah, Syaifullah datang menunduk hormat—merekam, mencatat, dan merancang jembatan agar suara-suara ini tetap bisa didengar anak cucu kita.

Dalam percakapan dengan para tetua seni, terselip keprihatinan. Banyak generasi muda tak lagi tertarik mempelajari Didong, tak lagi memahami makna gerak Guel. Tapi hari itu, harapan menyeruak. Karena ketika seorang pejabat datang bukan untuk memerintah, melainkan untuk belajar dan menyimak—seni merasa dihargai, dan para maestro merasa diakui.

Langkah mencari maestro bukanlah langkah sekejap. Ia adalah perjalanan panjang, danau ke danau, kampung ke kampung. Tapi ia bisa dimulai dari niat yang tulus dan langkah yang sungguh. Di tepi Danau Laut Tawar, di Rumah Adat Gayo kita menyaksikan satu langkah itu: langkah Syaifullah. Dan bersamanya, catatan Endo Suanda dan pengamatan Fendi menjadi lentera yang menuntun, agar seni Gayo tidak padam dalam gelap. ‎(*)