Oleh Rastono Sumardi
Ketua Satupena Sulawesi Tengah
HATIPENA.COM – Bagi Tonas, atau yang akrab disapa Toni, Nayla adalah Gunung Lokon itu sendiri. Sebuah paradoks yang hidup dan bernapas di tengah sejuknya udara Tomohon. Setiap pagi, dari jendela rumah panggungnya, Toni bisa melihat puncak Lokon yang berdiri gagah, seringkali diselimuti kabut tipis.
Begitulah ia melihat Nayla—atau Nay, sapaan lembutnya. Gadis itu menjulang tinggi dengan kekuatan prinsip dan semangatnya, namun hatinya selembut embun pagi yang membelai kelopak bunga krisan di ladang keluarganya.
Mereka tumbuh bersama di tanah yang diberkati oleh bunga dan gunung ini. Toni, seorang pemuda yang lebih banyak bicara lewat pahatan kayunya, dan Nay, seorang gadis yang senyumnya mampu membuat seluruh Pasar Bunga Tomohon terasa lebih semarak.
Suatu sore, menjelang perhelatan Tomohon International Flower Festival (TIFF), suasana menjadi sibuk. Semua orang tumpah ruah dalam semangat mapalus, bergotong royong mempersiapkan kendaraan hias. Toni menemukan Nay sedang memimpin beberapa gadis muda merangkai bunga pada kerangka raksasa. Keringat membasahi pelipisnya, namun matanya tak kehilangan binar.
Toni hanya bisa mematung dari kejauhan, memandanginya. Matamu adalah matahari di puncak senja, bisiknya dalam hati, yang meredupkan segala gelap dalam hati. Hari itu, Toni merasa sedikit putus asa. Sebuah pesanan patung penting sedikit retak saat proses penyelesaian akhir, dan itu membuatnya gundah. Namun, melihat Nay di sana, semua kegelapan itu seakan sirna.
Nay yang menyadari kehadiran Toni, menoleh dan tersenyum. Dan senyum itu—oh, senyum yang selalu dinanti Toni. Rasanya seperti aliran sejuk dari mata air pegunungan. Senyummu mengalir seperti sungai kasih yang tak pernah kering, menghanyutkan segala kegundahan dalam sekejap. Seketika, retakan pada patungnya terasa bukan lagi akhir dari dunia.
“Toni, kenapa melamun di situ? Sini, bantu kami,” panggil Nay, suaranya jernih di tengah riuh rendah percakapan.
Toni pun mendekat. Ia melihat bagaimana Nay dengan sabar menghadapi keluhan salah seorang ibu yang bunganya sedikit layu. Ia menenangkannya, memberikan solusi, dan melakukannya tanpa sedikit pun kehilangan ketenangannya. Kau tangguh, Nay, seperti batu karang di tepian pantai, menghadapi ombak kehidupan tanpa gentar. Toni tahu, di balik citra gadis bunga yang ceria, Nay adalah tulang punggung bagi keluarganya sejak ayahnya tiada. Tapi di balik keberanian itu, tersembunyi sebuah kelembutan yang luar biasa.
“Tolong pasangkan anyelir ini di bagian atas, Ton. Tanganmu lebih kuat,” pinta Nay.
Saat Toni meraih seikat bunga dari tangannya, jemari mereka bersentuhan. Tanganmu yang lembut adalah angin yang menari di ladang bunga, menggoyangkan kelopak-kelopak harapan. Sentuhan singkat itu mengirimkan getaran hangat ke seluruh tubuh Toni, membangkitkan harapan yang selama ini hanya berani ia simpan dalam diam. Bersama Nay, ia merasa seolah di setiap langkahnya, ada seribu bunga mekar di taman indah, yang wangi kasihnya meresap ke dalam relung hati.
Malam itu, setelah semua pekerjaan selesai, Toni memberanikan diri mengajak Nay untuk singgah sejenak di Bukit Doa Mahawu. Dari sana, kerlip lampu Kota Tomohon terhampar seperti permadani bintang, dengan siluet Lokon yang tertidur dalam kegelapan. Udara malam yang dingin membuat mereka merapatkan diri.
Keheningan menyelimuti mereka, hanya suara angin dan napas mereka yang terdengar. Toni menatap profil wajah Nay yang diterangi cahaya bulan. Inilah saatnya. Semua kata yang tersimpan di hatinya, yang terinspirasi dari setiap jengkal keberadaan Nay, mendesak untuk keluar.
“Nay,” panggil Toni lembut.
Nay menoleh, matanya yang indah menatap Toni penuh tanya.
“Selama ini, aku selalu melihatmu dari jauh,” Toni memulai, suaranya sedikit bergetar. “Aku melihatmu sekuat dan semegah Lokon.”
Nay tersipu, sedikit bingung dengan arah pembicaraan itu.
Toni menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan seluruh keberaniannya. Ia menatap lurus ke dalam mata Nay, membiarkan gadis itu melihat seluruh isi hatinya.
“Nay, jika kau adalah gunung, maka aku adalah lembah yang selalu merindukanmu.”
Kalimat itu terucap, mengambang di udara malam yang dingin, namun terasa begitu hangat. Mata Nay berkaca-kaca. Ia tak pernah menyangka bahwa Toni, pemuda pendiam yang selalu ada di sekitarnya, menyimpan perasaan sedalam itu.
“Aku selalu ingin berada di bawah bayang-bayangmu, mencari kedamaian dalam sentuhanmu,” lanjut Toni, suaranya kini lebih mantap.
Nay tidak menjawab dengan kata-kata. Ia mengulurkan tangannya yang lembut, menggenggam tangan Toni yang sedikit kasar karena pekerjaan memahat. Genggaman itu terasa pas dan menenangkan. Ia lalu menyandarkan kepalanya di bahu Toni.
Di bawah tatapan Lokon yang megah dan langit senja Tomohon yang memudar, Toni merasakan kedamaian yang selama ini ia cari. Semua kerinduan lembah hatinya telah menemukan puncaknya. Ia menatap senyum tipis di bibir Nay yang kini begitu dekat. Dan di bawah cahaya senyum indahmu, aku menemukan segala yang ku cari, sebuah cinta yang tak terkatakan.
Cinta itu kini tak perlu lagi terkatakan dengan seribu kata. Karena dalam satu genggaman tangan dan satu sandaran kepala, di antara lembah dan gunung, cinta mereka telah menemukan rumahnya.(*)
Luwuk, 14/10/2025