Oleh : Nurul Jannah
Gen-Z Menyalakan Bumi
HATIPENA.COM – Kadang bumi tidak berteriak lewat bencana besar, tetapi berbisik lewat retakan kecil. Hari itu, di sebuah ruang praktikum, bisikan itu menjadi teriakan: dan Gen-Z menjawab panggilan langit.
Sore itu, langit Bogor memerah seperti bara. Cahaya keemasan menyusup melalui jendela, menciptakan aura sakral di ruang kuliah. Di luar, angin berbisik pelan. Di dalam, semangat Gen-Z berdenyut bagaikan nadi bumi yang meminta diselamatkan.
Rina dan Neo duduk paling depan, mata mereka bukan hanya memandang: tetapi memancarkan binar terang. Ini bukan ruang belajar biasa. Ini adalah panggung tekad, tempat kata-kata bisa mengguncang gunung dan menggugurkan keangkuhan.
“Bu… bagaimana menyusun Program Corporate Social Responsibility (CSR) yang bisa menggerakkan hati, bukan cuma memenuhi tugas?” tanya Rina, suaranya mengiris sunyi.
Aku menatap wajah-wajah muda itu. “Kunci terbesarnya bukan di metode,” jawabku, “tetapi di keberanian untuk jujur. Program CSR bukan laporan kaku: itu peta jiwa dan komitmen.”
Neo mengangkat alis, suaranya berat dengan kesadaran baru.
“Jadi CSR itu bukan program formalitas kan?”
Aku mengangguk. “Benar. CSR sejati bukan memberi bantuan sesaat, tetapi menyalakan lilin perubahan yang tak mudah padam.”
Ceria yang Mengguncang Bumi
Poster-poster tentang bumi yang terluka terpampang di dinding: hutan yang meranggas, ikan-ikan terapung mati di laut, desa-desa yang menanti air. Di antara mereka, ide-ide liar mulai bermekaran.
“Ayo kita bikin Reels tentang kisah warga yang menyelamatkan sungai mereka,” seru Neo penuh ceria.
“Atau podcast yang membongkar potensi desa-desa kecil jadi pusat perubahan,” sambung Rina dengan bahagia yang menular.
Cahaya di mata mereka menembus ruang. Ceria itu bukan gurauan kosong: itu adalah tekad yang menyamar sebagai keceriaan.
Aku menyadari: mereka tidak takut bermimpi besar di dunia yang sering mengecilkan harapan.
Janji di Bawah Langit Merah
Ketika jam hampir usai, tidak satu pun dari mereka yang berdiri. Hening yang berat menggantung, bukan karena lelah, tetapi karena momen ini terlalu berharga untuk segera dilepaskan.
“Program CSR bukan hanya tentang proposal dan anggaran. Itu tentang mendengar bisikan bumi, membaca luka masyarakat, dan menyalakan harapan mereka.”
Rina mencatat kata-kata itu, jemarinya gemetar. Neo menatap jendela, seolah berjanji pada cakrawala. Lalu, dengan ceria yang mengguncang, ia menulis besar-besar di papan tulis:
“CSR sejati bukan memberi bantuan sesaat, tetapi menyalakan lilin perubahan yang tak mudah padam.”
Ruangan dipenuhi rasa bahagia. Bukan bahagia ringan, tetapi bahagia yang lahir dari keyakinan bahwa sesuatu yang besar telah dimulai.
Refleksi Diri
“Ketika bumi memanggil, jangan menunggu esok. Setiap detik penundaan adalah jejak luka yang semakin dalam. Di tangan-tangan muda kalian, ada kunci masa depan. Bawalah api ini ke luar ruang kuliah, bakarlah kegelapan, dan biarkan dunia tahu: generasi ini tidak hanya mendengar panggilan langit: namun menjawabnya dengan tindakan nyata”
Sore itu, kelas praktikum tidak hanya tentang CSR. Ia menjadi momen sakral: saat bumi dan generasi muda saling menatap, saling berjanji untuk tidak menyerah. (*)
Bogor, 17 September 2025