HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Makan Bergizi (tidak) Gratis, Guru Jadi Korban

September 14, 2025 19:42
IMG-20250914-WA0075

0leh: Rizal Pandiya
Sekretaris Satupena Lampung

HATIPENA.COM – Program unggulan pemerintah Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali disorot. Bukan sorotan senter ronda yang tiba-tiba bikin kaget maling kampung, apalagi sorotan kamera infotainment, tapi sorotan seorang guru bernama Andrimar, S.Pd., M.Pd. Ia akhirnya menulis surat terbuka di media sosial untuk Presiden Prabowo. Mungkin karena bingung harus dialamatkan kemana. Surat ini katanya murni jeritan hati pribadinya, jadi jangan sampai status gurunya dibawa-bawa. Tapi mau sekeras apa pun menolaknya, tetap saja ada bau-bau ruang kelas.

Isi suratnya lumayan nyelekit, bikin kening pejabat berkerut. Dia tahu kalau program MBG itu sudah merekrut 290 ribu tenaga kerja yang menelan biaya 44 persen dari alokasi dana pendidikan. Mungkin guru ini dapat informasi setelah membaca koran dari bungkus gorengan.

Dalam surat ia menulis, bahwa program ini, dulu bernama makan siang gratis, sekarang ganti jadi makan bergizi. Mungkin supaya terdengar lebih indah di telinga, diganti dengan kata “Bergizi”. Andrimar sengaja menghindari kata “gratis”, karena toh uangnya diambil dari anggaran pendidikan. Bener juga, gratisnya di mana, coba?

Yang lebih bikin dongkol, guru ikut jadi repot dengan program ini. Bukan hanya diberi tugas membagi makanan, tapi juga harus mengumpulkan, menghitung, sampai mengembalikan rantang dalam keadaan utuh. Kalau ada yang hilang? Guru harus ganti. Jadi, guru sekarang tidak hanya memikirkan pelajaran anak murid, tapi juga keutuhan rantang negara.

Masalah lain, proses pembagian makanan ini juga memakan waktu. Bukan hanya lima menit, tapi bisa menyita jam belajar yang mestinya untuk bahasa, IPA, atau matematika. Coba bayangkan, sebelum guru sempat menulis di papan tulis, mereka sudah harus berperan sebagai ‘waiter sekolah’.

Nasi rantang dibagi, lalu disantap, rantang pun dihitung. Buku pelajaran yang semula rapi di meja, terpaksa harus minggir dulu, karena kalah peran sama piring dan sendok. Setelah anak-anak kenyang, lalu cuci tangan, dan bersendawa, barulah kelas berubah lagi jadi ruang belajar.

Tak hanya sampai di situ. Beberapa kepala daerah atau kepala dinas malah mengeluarkan aturan aneh: guru harus mencicipi terlebih dulu makanan MBG sebelum disajikan ke murid. Luar biasa. Guru kini berubah fungsi jadi quality control sekaligus tumbal racun. Kalau sampai keracunan? Ya maaf, paling dikasih santunan kematian. Kalau selamat? Ya bisa jadi untuk kelinci percobaan berikutnya.

Sudah selesai? Belum. Ternyata anak-anak banyak yang sulit disuruh makan. Jangankan disuruh makan yang tak rasa apa-apa, di rumah aja ngebujuk anak-anak setengah mati. Apalagi makan menu MBG. Katanya hambar, tak ada cabe, tak ada santan, tak ada rasa, campah alias tawar. Pokoknya seperti menu diet rawat inap ala rumah sakit.

Akhirnya guru pun harus turun tangan lagi. Tapi kali ini mereka jadi marketing makanan yang tugasnya seperti sales sebuah produk makanan, membujuk anak-anak supaya mau menghabiskan nasi yang ada di dalam rantang itu. Padahal, orang tua murid saja sering gagal merayu anaknya supaya mau makan. Sekarang guru terpaksa jadi motivator, marketer, dan sekaligus jadi badut di ruang kelas yang beralih fungsi jadi ruang makan.

Dana yang digelontorkan pun bukan receh. Tapi hasilnya? Anak-anak tetap bawa bekal dari rumah. Orang tua pun jadi serba salah. Kalau nggak dibawain bekal, anaknya nggak makan menu MBG. Kalau dibawain bekal, makanan MBG malah jadi mubazir. Akhirnya, guru juga ikut pusing.

Banyak yang bertanya, apa sebenarnya fungsi guru di era program MBG ini? Guru mengajar itu sudah jelas. Guru mendidik itu juga sudah pasti. Tapi guru jadi tukang ngitung rantang? Jadi tukang icip-icip makanan? Atau jadi duta makanan sehat?

Program ini makin lama makin terasa salah kaprah. Anak-anak memang dapat makanan, yang katanya bergizi ternyata belum tentu, apalagi enak. Padahal kalau program ini lewat kantin sekolah, guru masih bisa mengawasi, dan dari sisi gizi oke, dari sisi kebersihan jelas higienis. Sekarang? Guru cuma bisa ngelamun sambil menghitung rantang.

Dan yang bikin kening tambah berlipat, katanya pemerintah sudah merekrut tenaga kerja untuk program ini, tetapi kenapa tidak disediakan tenaga untuk menyajikan makanan dan menghitung rantang-rantang itu ? Malah memberi tugas tambahan kepada guru. Sepertinya, ini kurikulum baru yang belum tercatat dalam undang-undang pendidikan.

Andrimar ini sangat khawatir, jangan-jangan program ini bukan semata demi untuk anak-anak agar sehat, melainkan demi kantong rekanan dan tentu saja pemangku kebijakan. Dana besar, vendor pun tersenyum sambil kipas-kipas, tetapi guru tersiksa. Kalau benar seperti itu, makan bergizi bukan hanya menyehatkan kantong mereka, tapi juga meruntuhkan cita-cita mendidik anak-anak antikorupsi, karena mereka dididik di atas praktik korupsi yang nyata di depan mata mereka.

Lebih parah lagi, kualitas masakannya sering ngasal. Tak ada standar menu, tak ada standar rasa. Akhirnya anak-anak menolak makan, meski lauknya paha ayam, “Kalau cuma rasa asin doang, lebih baik jajan cilok,” begitu kira-kira suara hati para murid.

Maka jangan pura-pura terkejut jika suatu hari aroma nasi basi akan bercampur dengan aroma tikus politik. Karena bagaimana makanan itu bisa dinikmati anak-anak kalau memasaknya saja sejak tengah malam, lalu bisa di makan saat istirahat siang.

Para guru sepertinya sudah angkat tangan. Mereka bahkan punya plesetan untuk MBG: Makan Bebek Gratis. Soalnya, makanan sisa dan yang tidak dimakan anak-anak, dikumpulkan di wadah besar, lalu dibagikan ke warga sekitar yang memelihara bebek. Nah, kalau ada yang bertanya, “Siapa yang paling bahagia dengan program ini?” Mungkin bebek kampunglah jawabannya.

Niat awalnya, program makan bergizi ini untuk memberi makan anak-anak miskin, namun sepertinya negara justru memperlihatkan kemiskinan di depan anak-anak. Piring berisi menu makanan dengan rasa hambar itu jadi cerminan: beginilah bentuk “perhatian” negara.

Yang lebih ironis lagi, jika benar keuntungan dari program ini digunakan untuk menyiapkan amunisi pilpres 2029, maka lauk makan anak-anak ini akan makin tidak terjamin kandungan gizinya. Kasian. Program Makan Bergisi (tidak) Gratis, tapi bayarannya nanti di TPS.

Jadi, pendidikan bukan hanya soal perut yang terisi sekali sehari, tapi juga kepala yang terisi ilmu setiap hari. Kalau hanya membuat anak-anak kenyang tapi bodoh, maka apa bedanya dengan bebek-bebek itu? (*)

Bandar Lampung, 14 September 2025
#MakDacokPedom

Berita Terkait

Berita Terbaru