Oleh: Nurul Jannah
Ketika Sebuah Hidangan Menjadi Doa
HATIPENA.COM – Tangsel pagi itu memeluk kami dengan hangat yang tak terlihat, namun terasa hingga ke sumsum hati. Hujan yang baru saja reda meninggalkan aroma tanah basah, berpadu dengan wangi kopi yang menyeruak dari dapur Bu Munasri. Wangi kopi yang tercium seakan mengundang kami masuk ke ruang di mana waktu melambat dan hati saling mendekat.
Enam jiwa NJD duduk melingkar, masing-masing membawa cerita, tawa, dan rahasia kecil. Di tengah meja, bersemayam sebuah karya cinta: Makaroni Schotel buatan tangan Bu Fetty Anwar. Keju yang berkilau di permukaannya memantulkan cahaya lampu seperti tatapan mata yang menyimpan cerita tak terucap. Aroma harumnya mengalun lembut, seakan berbisik: “Dekatlah… biar aku menghangatkan hatimu.”
Dari Kuis Menuju Takdir
Kuis itu hanyalah sepotong kejutan di antara hari-hari biasa. Pertanyaan singkat, kesempatan sempit, dan jari-jariku yang tanpa ragu mengetik jawaban.
Ketika Ibu Fey; begitu aku biasa memanggilnya; berseru, “Selamat, Ibu Nurul! Anda pemenangnya,” rasanya seperti memenangkan lottere hati; sebuah undangan untuk menerima hadiah cinta seloyang makaroni schotel, langsung dari dapur sang maestro.
Hadiah itu sebenarnya bukan hanya loyang berisi makaroni schotel. Ia adalah alasan untuk bertemu, untuk duduk bersama, dan untuk mengingat bahwa hidup selalu punya cara menyelipkan manis di sela perjuangan.
Di Meja yang Menyimpan Hangat
“Ini yang menang kuis, kan?” bisik Bu Minarni sambil tersenyum nakal.
“Iya… tapi tolong sisakan sedikit untuk yang berhak,” candaku, sok bijak.
Pisau itu menembus permukaan makaroni dengan bunyi lembut. Memotongnnya menjadi slice-slice indah. Uapnya mengepul, seperti napas hangat yang memanggil. Suapan pertama membuat waktu seolah berhenti: gurihnya keju yang meleleh, lembutnya makaroni yang memeluk lidah, dan daging asap yang menyelipkan rahasia rasa. Tak hanya perut yang kenyang, hati pun ikut diselimuti hangat.
Bumbu yang Tak Tertulis di Resep
“Rahasianya apa, Bu Fey?” tanya Bu Timang sambil memandangi piringnya yang nyaris bersih.
Bu Fey tersenyum, “Cinta. Kalau masak sambil tersenyum, rasanya akan sampai ke hati yang memakannya.”
Kami saling bertukar pandang. Dalam tawa yang ringan, ada keheningan yang sarat makna: persahabatan ini pun dimasak dengan bumbu yang sama: cinta yang tulus.
Persahabatan yang Dijahit oleh Rasa
Kami bercerita tanpa jeda: tentang mimpi yang masih berlari, tentang anak-anak yang menjadi alasan untuk berjuang, tentang lelah yang terkadang membungkam namun terobati oleh tatapan yang mengerti.
“Kalau NJD tak pernah ada, mungkin kita takkan pernah duduk begini,” ucap Bu Maria lirih.
Dan aku tahu, di balik kalimat itu ada doa agar lingkar ini tetap utuh, seperti rasa makaroni yang hangatnya bertahan meski loyangnya mulai kosong.
Makaroni, Rasa, dan Kenangan
Saat acara usai, dua loyang itu tak lagi utuh. Namun yang tetap utuh adalah rasa syukurku: bahwa sebuah hidangan bisa menjadi jembatan hati, pengikat kenangan, dan penguat persaudaraan.
Aku pulang siang itu membawa oleh-oleh makaroni schotel cinta dan hati yang penuh. Setiap kali menyuapnya, aku seakan sedang mencicipi kembali tawa, tatapan, dan persahabatan yang membuat hidup ini lebih berwarna.
Terima kasih Bu Fey Anwar; untuk loyang cinta yang tidak hanya mengenyangkan, tapi juga menyehatkan jiwa.
Karena pada akhirnya, sebuah pertemuan yang dibungkus cinta takkan pernah basi di ingatan. (*)
Bogor, 14 Agustus 2025