Oleh Nurul Jannah
Dari TIM, Buku Lansia Bahagia, hingga Jejak Abadi dalam Jiwaku
HATIPENA.COM -Belum genap setahun aku mengenalnya, tapi rasanya seperti sudah puluhan tahun. Ada aura unik dan tak biasa dalam diri beliau: hangat sekaligus mengguncang, sederhana sekaligus menggema, lembut sekaligus tajam. Dialah Pipiet Senja, yang lebih senang dipanggil Manini oleh orang-orang dekatnya.
Aku masih ingat jelas sebuah pagi ketika beliau mengirim pesan whatsapp, ringan tapi menusuk.
“Neng, segera selesaikan yaa… maklum, Manini tuh teroris, akan terus menggentayangi, hihi.”
Aku tersenyum membaca kalimat itu. Teroris? Tapi bukan teroris yang menakutkan. Manini adalah teroris sejati: teroris cinta, semangat, dan literasi.
Gerbang Literasi Bersamanya
Manini yang membuka pintu lebih lebar bagiku ke dunia literasi.
“Sudah saatnya, Neng. Jangan takut. Menulislah. Biarkan kata-kata menjadi mahkotamu,” katanya suatu sore sambil menatapku penuh keyakinan; saat aku berkunjung di kediamannya.
Beliau yang pertama kali mengajakku ke Taman Ismail Marzuki (TIM), lalu memperkenalkanku pada sahabat-sahabat terbaiknya. Di antara percakapan hangat itu, aku merasa seperti anak yang baru saja menemukan seorang Ibu yang luar biasa: cerewet, jenaka, penuh gurau, tapi dalam setiap kata tersimpan peluru semangat menyala.
“Aku biasa panggil kamu Neng. Tapi di layar umum, aku tulis nama lengkapmu. Biar semua orang tahu, kamu tidak main-main di dunia ini.”
Hatiku bergetar mendengar itu. Manini tak hanya mengenalkan literasi, tapi menegakkan harga diri para penulis agar tak dipandang sebelah mata.
Buku Lansia Bahagia: Wasiat Terakhir
Salah satu jejak paling membekas adalah ketika beliau memprakarsai lahirnya buku Lansia Bahagia.
“Aku yang inisiasi. Aku yang monitor. Aku juga yang akan menyuntingnya,” ujarnya dengan nada penuh tekad dan tanggung jawab.
“Kenapa harus sampai segitunya, Manini?” tanyaku.
“Menulis buku itu bukan pekerjaan main-main, Neng. Karena Buku adalah napas kita, martabat kita.”
Dan benar, beliau berjuang mati-matian agar buku itu diluncurkan di Gedung PDS HB. Jassin, TIM.
Hari Jumat, 12 September 2025, buku itu akhirnya lahir di panggung yang ia idamkan, Aula Lantai 4 PDS HB.Jassin. Taman Ismail Marjuki, Jakarta.
Aku melihat sinar bahagia di wajahnya. Senyum yang seakan berkata: “Tugas ini sudah kutuntaskan.”
Lalu, siapa sangka, 17 hari kemudian beliau berpulang ke pangkuan sang Ilahi Robby. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.
Manini, Sang Teroris Sejati
Kini, kalimat gurau yang penuh makna itu terus terngiang:
“Awaaaas… kalau malas, apalagi nggak serius, nanti aku gentayangin!”
Dan benar. Hingga kini, beliau tetap “menggentayangi” kami. Bukan dengan rasa takut, melainkan dengan semangat yang menyala-nyala. Semangat yang tak memberi ruang untuk bermalas-malasan.
Aku teringat candaannya tentang betapa orang-orang literasi sekalipun keder bila berhadapan dengan Pipiet Senja. Bahkan nama besar seperti Asma Nadia pun, katanya, “selalu gercep kalau berurusan dengan CAMAT: Calon Mayat.”
Duhai Manini, maafkan jika aku akan terus merindumu. Maafkan jika aku masih meneteskan air mata setiap kali mengingat suaramu yang tegas, dan candamu yang menyalakan bara.
Engkau memang pergi, tapi tak benar-benar hilang. Engkau abadi dalam setiap huruf yang kutulis, dalam setiap kata yang kugores, dalam setiap buku yang lahir dari semangatmu.
Manini, engkau telah menjadi teroris cinta literasi yang paling sejati. Dan aku, anakmu yang baru sebentar kau temani, akan terus hidup dalam jejakmu.
Puisi Cinta untuk Manini
Manini…
Engkau datang bagai kilatan cahaya,
sebentar menyapa,
namun jejakmu menancap lebih dalam
daripada perjalanan puluhan tahun.
Engkau tertawa lebar sambil menyebut dirimu teroris,
padahal yang kautebar
adalah bom-bom cinta,
ledakan semangat,
dan serpihan kata-kata yang menghidupkan jiwa.
Engkau memanggilku Neng dengan penuh sayang,
namun di hadapan dunia
kau sebut namaku lengkap,
agar aku berdiri lebih tegak, katamu waktu itu.
Manini…
Buku Lansia Bahagia adalah wasiatmu,
tanganmu yang mengasuh,
hatimu yang mengawal,
hingga akhirnya lahir di panggung TIM,
dengan senyum bahagia di wajahmu.
Namun takdir berkata lain.
17 hari kemudian engkau pulang,
meninggalkan kami
dengan luka yang tak sempat sembuh,
dengan rindu yang tak akan pernah reda.
Manini…
Engkau memang tiada,
tapi engkau tetap ada,
menggentayangi kami bukan dengan seram,
melainkan dengan api semangat
yang tak pernah padam.
Setiap kali aku ingin berhenti, rehat sejenak,
aku dengar suaramu:
“Awaaaas… kalau malas,
nanti aku gentayangin!”
Dan aku pun kembali menulis,
kembali berdiri,
kembali hidup.
Manini…
Engkau adalah teroris cinta literasi,
yang meninggalkan jejak abadi,
dalam setiap huruf,
dalam setiap buku,
dalam setiap jiwa yang pernah kautemui.
Terima kasih, Manini.
Rinduku takkan pernah selesai,
doaku akan terus menyertaimu,
hingga kita kelak bertemu kembali
di taman kebahagiaan tanpa akhir. (*)
Alfatihah untukmu Manini
Bogor, 30 September 2025