Oleh Anto Narasoma
HATIPENA.COM – Manusia dan kematian adalah takdir yang tak dapat dipisah dari kehidupan ini. Karena itu ketika proses berpikir seseorang terhenti pada nilai religiusitas, yang ada hanya kepapaan dan kepasrahan terhadap takdir, kapan maut yang rindu kematian itu akan menjemputnya?
Adalah satu kewajaran apabila dalam pertanyaan di hati ini mengacu,” Kapan mautku tiba Tuhanku?”.
Sebab dari sekeliling kehidupan kita, sudah banyak fakta yang terlihat bahwa setiap hari, tiap orang, tumbang oleh kematiannya karena ajal.
Kapan antrean panjang untuk tiba ke pada proses kematian itu tiba pada diri kita?
Mencermati puisi Abrar Effendi dari Banjarmasin bertajuk “Maut”, bahasan isinya menyangkut ajal dan kematian. Bagi seorang ulama, pertanyaan seperti ini merupkan prinsif penting untuk difahami. “Karena nilai paling baik secara hakiki adalah menanyakan ikhwal ajal dan kematian kita,” ujar Ustadz Somad Hussein.
ini corak puisi bertajuk “Maut” yang diekspresikan Abrar Effendi…
Maut
Ketika hati berhenti zikir
Saat letih diri berpikir
Ternyata diri begini fakir
Tergeletak diri di atas dipan
Menatap langit penuh harapan
Bekal suci apa disiapkan
Bergulir kisah masa kelam
Menabur dosa siang malam
Tiadalah selamat dari tenggelam
Mati menghampiri pasti
Entah, sekarang atau nanti
Di sana atau di sini
Begitu atau begini
Tegak pada waktunya
Tak maju walau sekejap
Takkan mundur meski sesaat
Ya Rahman
Ya Salam
Di depan maut-Mu, beri diri hamba selamat
(Abrar Effendi, Banjarmasin 2018-2020)
Dari larik awal puisi Abrar sudah menuturkan ikhwal kematian. Seperti di bagian awal…Ketika hati berhenti zikir/ Saat letih diri berpikir/ ternyata diri begini fakir..
Pertanyaan seperti ini, menurut Willain Shakes Pearre merupakan ketinggian diri seseorang terhadap nilai penghambaan terhadap Tuhannja (Hikajat Abdullah : Penerbit Djambatan Djakarta 1958).
Memang, penghambaan bagi seseorang terhadap Tuhannya, tak hanya melakukan salat, menolong orang, sedekah, infaq atau berbuat baik lainnya, tapi mampu mengulas kematian dirinya.
Seperti dikemukakan Ustadz Somad Hussein, kewajiban paling utama menerjemahkan kehidupan ini dengan cara mengingat mati.
Inilah pengabdian paling hakiki ketika seseorang bertanya tentang kematiannya terhadap Allah SWT.
Pada larik kedua puisi itu mengungkap…Tergeletak diri di atas dipan/ Menatap langit penuh harapan/ Bekal suci apa disiapkan…..
Sebagai penganut Islam, Abrar Effendi menjelaskan persoalan amal dan perbuatan, …Bekal suci apa disiapkan….
Pertanyaan ini merupakan dasar paling hakiki untuk menakar seberapa dalamnya nilai keyakinannya. Seperti dikemukakan penyair dan ulama besar Arab, Machmoud Darwish, ketika Allah SWT meniupkan ruh ke jasad anak Adam (di usia tiga bulan dalam kendungan ibu), maka di sanalah dijelaskan baik buruknya kehidupan dan kematian manusia. Hanya amal dan nilai-nilai kebaikan yang dapat menyelamatkan kedhoifan manusia.
Puisi “Maut” ini menyulitkan pembacanya. Dengan daya ungkap yang standar namun memiliki ungkapan isi dan bahasa yang konotatif, membuat puisi ini mampu menggetarkan ruang-ruang kemanusiaan pembaca.
Menurut penyair dan kritikus Jerman, J. Wolfgang von Gothe, ekspresi dan persepsi sastra puisi jenis ini selalu mencari titik nilai keyakinan mendalam terhadap ketentuan Tuhan. Karena itu banyak yang berpendapat bahwa tiap kata, cara berpikir dan menelaah persoalan hidup menuju ke ruang-ruang sufisme.
Itulah faktanya, ketika seseorang berjalan dan berkata dalam baris-baris Ilahiyah, maka nilai kata dan perjalanan tulisannya akan disebut sufisme.
Seperti ungkapan penyair dan sufi Arab, Ibnu Al-Farid, usaha merekam dan menulis tentang maut dan kematian merupakan kesadaran estetik untuk menguatkan nilai-nilai keimanan (Sedjarah Melaju hal 174..Alkisah Tjeritera Jang Kedua Puluh Satu 1958).
Dalam puisi “Maut” ini penyair Abrar Effendi tentu tidak asal menumpahkan ide kreatifnya terhadap nilai ajal dan kematian itu. Sebagai pemeluk Islam, sangat jelas dia merasakan corak kematian apa yang kelak akan ia hadapi.
Tekstur pikiran semacam ini ia pertanyakan ke pada Sang Pemilik Kehidupan dan Kematian pada larik-larik lanjutan…
Bergulir kisah masa kelam/ Menabur dosa siang malam/Tiadalah selamat diri tenggelam…
Sebagai manusia, Abrar sadar tentang segala kesalahan dan dosa-dosa yang diperbuatnya, meski kesalahan itu dilakukan saat kesadarannya berada di bawah logika.
Mati menghampiri pasti/ Entah, sekarang atau nanti/ Di sana atau di sini/ Begitu atau begini..
Kepastian mati itulah yang ia kejar sebagai ide kuat untuk menguatkan estetika bahasa puitisisasinya dalam puisi “Maut”. Seperti diungkap penyair Jerman lainnya, Johann Ludwig Tiek, bahasa puisi itu membawa sejumlah persepsi tentang nilai tujuan (konotasi), bahasa seni (estetika), kekuatan ide dan ketajaman pikiran penulis.
Ini yang perlu menjadi catatan kita sebagai perjalanan sastra nasional (Indonesia).
Sebab dalam memaparkan puisinya, sikap Abrar tampaknya patuh ke pada nilai faktor intrinsik (diri dan kepribadiannya), ekstrinsik (kematian), psikologi, religiusitas (keyakinannya), pendidikan dan norma etika dalam etika standar kehidupan dan kematian manusia.
Meski diungkap dengan bahasa sederhana dan tidak menggunakan diksi yang sulit diterjemahkan, namun penyajian isi sebagai tujuan akhir (intention).
Pembahasan dengan bahasa komunikatif seperti ini, dijelaskan B. Simorangkir-Simandjuntak dalam buku Kesusasteraan Indonesia terbitan Jajasan Pembangunan Djakarta 1953 halaman 94. Simorangkir menjelaskan tentang bahasa estetik yang sederhana namun memiliki nilai intensi yang tinggi.
Seperti puisi Tjatetan Tahun 1946 karya Chairil Anwar….
Ada tanganku, sekali lagi jemu terkulai/ Mainan tjahja di air hilang bentuk dalam kabut/ Di sana jang kutjintai, kan berhenti membelai/ Kupahat baru nisan sendiri dan kupagut….dst (kutipan dari antologi Deru Tjampur Debu).
Puisi di atas ditulis Chairil pada pergolakan perang Amerika dan Jepang yang terhenti setelah jatuhnya bom atom di Horoshima:dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945.
Bahasa dan tekstur kata sederhana seperti ini merupakan idealisme penyair karena sejumlah pengaruh puisi-puisi luar (dunia). Karena itu jika ada penyair yang mencari-cari diksi indah dan menapikkan isi dan tujuannya dasarnya (intention), itu yang dikatakan Willy Surendra (WS Rendra) sebagai penyair salon (mencari-cari keindahan tanpa tujuan dasarnya).
Dari struktur bentuk dan isi puisi “Maut”, ada catatan yang perlu disampaikan. Misalnya ada kalimat berbunyi..Mati menghampiri pasti…, meski ada maksud tertentu dari tujuan penyair, namun alangkah baiknya jika ditulis…Mati pasti menghampiri/ Entah (jangan dibubuhi koma) sekarang atau nanti/ Di sana atau di sini/ Begini atau begitu…
Jika penyair (Abrar Effendi) memperhatikan kekuatan persepsi dalam puisinya, maka ekspresi sajiannya akan semakin aktif dan tiba pada nilai konkret tentang kematian hakiki (The Concrete Word) yang menjadi pokok bahasan puisi “Maut”. (*)
Palembang, 9 April 2020
*) Penulis adalah Sastrawan dan Jurnalis