HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Media Massa Harus Berdaulat dalam Kerja Jurnalistik

October 9, 2025 16:38
IMG-20251009-WA0046

Oleh: Junaidi Ismail, S.H. | Wartawan Utama Dewan Pers

HATIPENA.COM – MEDIA Massa bukan sekadar alat penyampai berita. Ia adalah pilar keempat demokrasi, penjaga nurani publik, pengawal kebenaran, dan benteng terakhir akal sehat bangsa. Maka, kedaulatan media bukan berarti kebebasan tanpa batas, melainkan tanggung jawab penuh dalam kerja jurnalistik untuk memastikan negara berjalan di atas rel kejujuran, kebersihan, dan amanah.

Ketika media berdaulat, maka yang berbicara kepada publik bukan suara pemilik modal atau penguasa, melainkan nurani para jurnalis yang bekerja dengan etika dan integritas.

Media yang merdeka akan selalu berpihak kepada kepentingan publik, bukan pada kepentingan elite. Dari sinilah kebijakan publik yang jujur dan bersih bisa lahir, karena setiap langkah pemerintah akan diawasi dengan mata tajam jurnalistik.

Kebijakan publik yang benar tidak hanya bicara soal pertumbuhan ekonomi, melainkan tentang legitimasi sosial, keadilan distributif, dan penguatan demokrasi. Sebab, demokrasi sejati hanya tumbuh ketika masyarakat sipil, media, akademisi, dan komunitas profesional bergerak bersama-sama.

Keterlibatan sipil dan modal sosial inilah yang menjadi kunci demokratisasi. Negara yang kuat bukan karena pemimpinnya berkuasa, tetapi karena rakyatnya berdaya dan sadar akan haknya untuk menuntut kebenaran.

Kini, tugas kita bukan hanya memperbanyak berita, tetapi juga memperkuat literasi politik masyarakat. Rakyat harus paham bagaimana menagih akuntabilitas dari penguasa. Media harus bebas untuk mengawasi kekuasaan tanpa rasa takut. Akademisi harus berani menyajikan pengetahuan yang mencerahkan, bukan sekadar teori yang terasing di ruang kampus.

Ketika literasi politik masyarakat tumbuh, publik tak akan mudah ditipu oleh pencitraan, propaganda, atau politik uang. Mereka akan sadar bahwa demokrasi bukan hanya tentang pemilu, tetapi tentang pengawasan berkelanjutan terhadap kekuasaan.

Sudah saatnya Indonesia menegaskan kembali arah kebijakan publiknya bahwa pemegang kedaulatan sejati adalah rakyat, bukan elite politik, bukan oligarki, bukan segelintir kelompok yang menguasai sumber daya negeri.

Kedaulatan rakyat bukan slogan kosong di lembaran UUD 1945, tetapi harus hadir nyata dalam keputusan politik, alokasi anggaran, dan kebijakan ekonomi yang berpihak pada rakyat banyak. Jika kedaulatan itu terus dicederai, maka bangsa ini akan kehilangan ruh kebangsaannya.

Tanpa prinsip dan pembenahan mendasar, keadaban bernegara kita akan terus merosot. Kita akan terjebak dalam apa yang disebut orang Romawi kuno sebagai “panem et circenses”, politik roti dan sirkus yakni ekonomi instan, hiburan populis, dan hukum transaksional.

Kita disuguhi tontonan politik yang menghibur tapi miskin substansi, dihibur dengan retorika pembangunan tapi dililit utang dan korupsi. Rakyaat diberi roti agar diam, diberi hiburan agar lupa. Dalam situasi seperti ini, media yang berdaulat menjadi satu-satunya harapan untuk menyadarkan bangsa bahwa kita sedang kehilangan arah.

Jurnalis sejati adalah pekerja moral. Ia bukan sekadar pemburu berita, tetapi pembangun peradaban. Setiap kalimat yang ia tulis, setiap gambar yang ia ambil, dan setiap suara yang ia rekam adalah bagian dari tanggung jawab sosial untuk menegakkan kebenaran.

Karena itu, wartawan tak boleh menjadi alat. Ia haruus menjadi pelita. Ia tak boleh sekadar menjadi penyampai kabar, tetapi juga penjaga nurani publik. Di tengah derasnya arus informasi, hoaks, dan kepalsuan digital, jurnalis harus tetap berdiri tegak di atas prinsip, “verifikasi adalah iman, kebenaran adalah panggilan, dan publik adalah tuan yang harus dilayani”.

Kedaulatan media hanya akan nyata jika para jurnalisnya merdeka. Merdeka dari intervensi, dari tekanan, dari ketakutan, dan dari kepentingan sempit. Kedaulatan media juga berarti keberanian menolak kompromi ketika kebenaran dipertaruhkan.

Merdeka bukan berarti liar. Kemandirian media justru menuntut disiplin etik yang tinggi karena kebenaran tanpa tanggung jawab hanyalah kebisingan, sedangkan kebebasan tanpa moral hanyalah anarki.

Media yang berdaulat adalah media yang menjunjung tinggi kepentingan publik, berpihak pada fakta, dan menjadi cermin kejujuran bangsa.

Pada akhirnya, demokrasi tidak akan kuat tanpa media yang kuat. Media tidak akan kuat tanpa jurnalis yang berdaulat. Dan jurnalis tidak akan berdaulat tanpa kesadaran bahwa profesinya adalah panggilan moral untuk menjaga bangsa tetap waras dalam berpikir dan bernegara.

Saat negara sibuk mengejar pertumbuhan, biarlah media menjaga keseimbangan antara kemajuan dan kemanusiaan. Karena di tangan jurnalis yang merdeka, kebenaran menemukan suaranya dan rakyat menemukan kekuatannya. (*)