HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Membedah Operasi “Summit of Fire” Israel yang Menyerang Qatar

September 14, 2025 08:06
IMG-20250914-WA0013

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

HATIPENA.COM – Sejarah perang modern akhirnya menemukan bab baru yang tidak kalah absurd dari film Hollywood kelas murahan. Serangan Israel ke Doha, Qatar, yang diberi nama puitis sekaligus ironis, “Summit of Fire”. Nama operasi itu lebih mirip festival musik rock ketimbang serangan militer, tapi begitulah IDF (Israel Defense Forces) ingin dunia tahu, kalau mereka ngebom, harus ada branding yang catchy.

Para analis militer bingung, rakyat dunia melongo, sementara teori konspirasi bermekaran seperti jamur di musim hujan. Bagaimana bisa sebuah kota yang dipayungi sistem pertahanan udara tercanggih di kawasan, plus ada pangkalan raksasa Amerika di Al Udeid, ditembus begitu saja? Apa Iron Dome versi Qatar sedang cuti bersama? Atau jangan-jangan radar Patriot mereka disambungkan ke Wi-Fi tetangga yang lemot?

Paul Iddon dari Forbes menyebutkan sekitar 15 jet Israel ikut serta, dengan kombinasi drone, rudal presisi, dan mungkin roket kecil yang bisa bikin lubang tanpa harus meruntuhkan gedung. Strateginya jelas, kalau bisa bikin target hancur, tapi tetap instagramable untuk CNN, kenapa harus meledakkan seluruh distrik? Sedangkan analis forensik ledakan lain heran, kerusakan di lokasi terlalu rapi, seolah serangan ini bukan bom, tapi semacam operasi bedah plastik militer.

Lalu muncul dugaan yang lebih ngeri-ngeri sedap, perang elektronik. Ada yang bilang Israel memakai teknologi jamming super canggih, bikin radar Qatar buta seketika. Bayangkan, wak! Sistem pertahanan berharga miliaran dolar itu mungkin kalah dengan “spoofing” sinyal ala tukang servis parabola. Ada pula yang percaya jalurnya diatur lewat wilayah udara negara lain, semacam “tol langit” hasil kompromi geopolitik. Bukan cuma misil yang terbang, tapi juga diplomasi rahasia yang melayang-layang.

Tentu saja, faktor politik tak bisa ditinggalkan. Bagaimana mungkin serangan terjadi sementara AS punya pangkalan terbesar di Timur Tengah tepat di situ? Para konspirator sudah menyebar teori, jangan-jangan Washington menutup mata, atau malah ikut memberikan “lampu hijau.” Kalau benar, berarti “Summit of Fire” bukan sekadar operasi militer, tapi reality show kolaboratif antara IDF dan Pentagon.

Tapi yang paling absurd adalah filsafat perangnya. Seolah-olah Israel ingin mengajarkan pada dunia, pertahanan secanggih apa pun, kalau musuh punya kombinasi stealth, munisi stand-off, dan sedikit drama politik, tetap saja bisa ditembus. Itu sama saja seperti berkata, “Percuma kau beli gembok digital fingerprint Rp3 juta, kalau pencurinya punya kunci duplikat dari tukang kunci dekat rumah.”

Efeknya? Dunia Arab marah, tapi juga heran. Para analis berkumpul di studio TV, sibuk menerawang jalur misil di peta, seperti cenayang membaca garis tangan. Ada yang bilang ini pesan politik ke Hamas. Ada yang yakin target sebenarnya bukan bangunan, tapi martabat Qatar. Sementara netizen cuma sibuk bikin meme, “Summit of Fire coming soon on Netflix.”

Singkatnya, operasi ini lebih mirip konspirasi global ketimbang aksi militer biasa. Teknologi mutakhir, analisis absurd, plus drama geopolitik. Seperti biasa, korban nyawa dan kebenaran sering jadi catatan kaki di balik layar. Dunia hanya melihat ilusi, sebuah kembang api mematikan yang disebut strategi perang.

Pada akhirnya, pertanyaan terbesar bukanlah “bagaimana rudal itu masuk Doha?”, tapi “sejak kapan perang jadi ajang branding, seperti konser Coldplay?” Itulah paradoks Summit of Fire, perang yang dipasarkan seperti event, dianalisis seperti novel sci-fi, dan dieksekusi seperti filosofi absurd bahwa langit bisa ditembus kalau ada yang mengizinkan.

“Bang, Qatar yang kaya raya, bisa beli sistem pertahanan udara canggih, masih juga bobol dengan mudah, lalu gimana dengan negeri kita?’

“Tenang, wak! Di sini banyak dukun sakti, tentara zionis akan kepanasan dulu sebelum nyerang kita.” Seruput kopi tanpa gula dulu, wak! (*)

#camanewak

Foto Ai, hanya ilustrasi