Oleh: Nurul Jannah
Kesabaran, Air Mata, Kemenangan
HATIPENA.COM – Pagi itu, tepat pukul Tujuh, langkahku sudah menyapa ruang kelas. Pelatihan Audit Lingkungan Hidup untuk para pejabat dan profesional sudah menanti.
Sejak subuh, hujan rintik setia mengguyur, menambah dingin udara Bogor. Tapi semangat tak pernah kalah; makin menggelora.
Terlihat satu per satu wajah-wajah serius menatapku, berharap membawa pulang ilmu dan pengalaman sebagai bekal kerja.
Jam demi jam berjalan, materi demi materi bergulir. Berat dan cukup menggetarkan Dari regulasi, teknis pengawasan, sampai simulasi pelaksanaan audit lingkungan.
Pukul Sepuluh; waktunya Coffe Break. Rehat sejenak. Suaraku mulai terdengar parau, kaki pun nampaknya menuntut istirahat.
Lima belas waktu rehat berlalu. Energi mulai terbangun kembali.
Sesi berikutnya pun menunggu direngkuh.
Pukul 12.15 siang, agenda pelatihan audit lingkungan; akhirnya rampung. Bahu terasa agak berat, tubuh pun rasanya ingin rebah, namun janji lain sudah menanti: mendampingi Dida, sang asdos, di sidang akhirnya.
Aku pun bergegas beranjak.
Langkah kecil ini berpindah ke ruang sidang; setelah sebelumnya menyelesaikan sholat dhuhur dan lunch; demi mendongkrak energi baru.
Dari ruang kelas ke ruang sidang, dari pejabat ke mahasiswa, dari kursi pelatihan ke kursi penguji. Hidup ini terasa berputar demikian cepat. Alhamdulillah, tetap ada syukur dan bahagia di sana.
Pukul Satu siang, aku sudah duduk manis di kursi penguji. Empat jam kemudian, aku menjadi saksi sebuah drama kehidupan: perjuangan seorang mahasiswa yang diuji bukan hanya pengetahuannya, tetapi juga keberanian, kesabaran, dan keteguhan hati.
Hari itu, Rabu sore terasa seolah tak berkesudahan. Jarum jam di dinding ruang sidang bergerak lambat, seakan ikut menguji kesabaran kami.
Sejak pukul Satu siang, aku sudah mendampingi Dida: sang asisten dosen yang hari itu menapaki sidang akhir perjalanan studinya.
Empat jam penuh bukanlah waktu singkat. Duduk, mendengar, dan terus menyemangati: semua bercampur dalam satu tarikan napas panjang.
Di hadapanku, Dida tampak berulang kali menarik dan menghembuskan napas panjang. Sesekali menatap layar laptop, kadang menunduk, seolah mencari kekuatan dari ruang yang tak kasat mata.
“Tugasmu bukan menjadi sempurna, melainkan berusaha sebaik mungkin. Ingat, Allah tidak menilai hasil semata, tapi juga kesungguhanmu. Jangan biarkan rasa takut mengaburkan cahaya ilmu yang sudah kau perjuangkan.” Pesanku padanya, sesaat sebelum ia memasuki ruang sidang.
Waktu terus berjalan. Pertanyaan demi pertanyaan mengalir dari para penguji. Ada yang tajam menusuk, ada yang menggali lebih dalam. Dida berkeringat, suaranya kadang tersendat.
Aku hanya bisa duduk diam, menahan napas, berdoa dalam hati: Ya Allah, kuatkanlah lidahnya, teguhkanlah hatinya.
Jam empat sore, wajah Dida mulai pucat, seolah kehilangan sisa tenaga. Tangannya meremas pulpen dengan erat. Aku menatapnya lekat, mengirimkan senyum dan isyarat: Tenang, Nak. Kamu bisa.
Dan benar, dengan sisa-sisa tenaga, ia menjawab pertanyaan terakhir dengan lantang. Para penguji saling berpandangan, ada yang mengangguk kecil. Ada yang tersenyum puas. Aku menghela napas lega.
Setelah sidang usai dan ditutup secara resmi, Dida buru-buru menghampiriku.
“Alhamdulillah… akhirnya selesai juga, Bu. Empat jam rasanya seperti sewindu. Kalau Ibu tidak ada di sini, mungkin saya sudah runtuh, menyerah.”
“Tidak, Dida. Ibu tahu kamu kuat. Ibu hanya saksi kecil dari perjuanganmu. Ingat, hari ini bukan akhir, melainkan pintu baru menuju jalan panjang kehidupan dan perjuangan yang sesungguhnya.”
Di luar ruang sidang, senja perlahan turun. Langit jingga seolah ikut memberi selamat. Dida kini tersenyum lega, seakan semua lelahnya luruh dalam sekejap.
Dalam hati aku berbisik: Beginilah wajah sejati dari ilmu: bukan hanya teori di atas kertas, tetapi perjalanan penuh peluh, sabar, dan air mata. Hari ini aku belajar lagi, bahwa mendampingi seseorang hingga titik akhir perjuangannya adalah kebahagiaan yang tak ternilai.
“Tugas seorang guru bukan hanya mengajarkan ilmu, tetapi menyalakan cahaya di hati murid-muridnya, lalu menemani mereka hingga berani berjalan dengan cahaya itu sendiri.”
Menemani, Menguatkan, Mengantarkan
Hari itu aku kembali belajar, bahwa menjadi pendidik bukan hanya tentang mengajar di kelas, memberi materi, atau menilai ujian. Kadang, menjadi pendidik berarti duduk diam di samping seseorang, menjaga agar ia tidak runtuh di tengah badai ujian.
Lelah memang tak pernah bisa dihindari. Tapi ketika lelah itu ditemani bahagia: melihat anak didik berhasil, maka sang lelah pun akan berubah jadi energi tak terukur.
Aku menutup hari itu dengan doa: Ya Allah, jadikan setiap langkah dan peluh yang jatuh sebagai saksi cinta kami pada ilmu. Jangan biarkan api semangat ini padam, meski waktu terus menguji. Sebab bagi seorang guru, kebahagiaan sejati adalah saat melihat anak didiknya terbang lebih tinggi.
Seharian tubuh boleh letih, tapi hati justru basah oleh syukur. Lelah ini bukan hanya penat sesaat, melainkan saksi cinta pada ilmu, dan doa agar setiap anak didik terbang lebih tinggi dari gurunya. (*)
Bogor, 21 Agustus 2025