- Menyiapkan Judicial Review untuk 5 Undang-Undang Indonesia
Oleh Denny JA
HATIPENA.COM – Di ruang rapat sebuah BUMN besar di Jakarta, seorang entrepreneur internal – sebut saja “Arga” – memendam ambisi akan sebuah lompatan inovasi.
Ia membayangkan sistem baru yang bisa mendongkrak efisiensi, menghapus birokrasi berbelit, dan menghadirkan transformasi digital radikal.
Namun di ujung pikirannya selalu ada bayang takut — “jika gagal, saya bisa dituduh menyebabkan kerugian negara, dan saya bisa masuk penjara.”
Maka Arga memilih jalan aman: perubahan kecil, inovasi minimal, agar tak mengundang sorotan auditor negara. Ia tak berani mengambil risiko besar, karena takut niat baiknya justru dikriminalisasi.
Kisah Arga bukanlah drama fiksi semata. Ia melambangkan banyak pejabat dan pelaku bisnis di lembaga negara yang menahan diri dari lompatan progresif.
Ketakutan itu lahir dari konstruksi hukum: “kerugian negara” dijadikan elemen yang mudah dipakai sebagai pasal kriminal.
-000-
Di negara-negara maju, hukum korupsi tidak menjadikan “kerugian negara” sebagai elemen utama. Fokus mereka ada pada perbuatan koruptif: suap, penyalahgunaan jabatan, konflik kepentingan, dan kolusi.
Di AS, korupsi tidak didefinisikan sebagai “tindakan yang menimbulkan kerugian pada kas negara.”
Fokus hukum federal adalah pada perbuatan itu sendiri: suap (bribery), penipuan layanan publik (honest services fraud), pemerasan (extortion), dan klaim palsu (false claims).
Contoh jelas ada pada 18 U.S. Code § 201. Unsurnya: “secara korup memberi atau menerima sesuatu yang bernilai dengan niat mempengaruhi tindakan resmi.”
Yang dipidana adalah niat dan perbuatan, bukan hasil akhirnya berupa kerugian negara.
Selain itu, False Claims Act (FCA) memungkinkan pemerintah menuntut ganti rugi atas klaim palsu. Namun kerugian negara di FCA diperlakukan sebagai dasar restitusi perdata, bukan elemen tindak pidana korupsi.
Putusan Snyder v. United States (2024) mempertegas: gratifikasi setelah tindakan resmi tidak otomatis bisa dipidana sebagai suap.
Apalagi hanya dengan asumsi ada kerugian negara. Tanpa bukti quid pro quo (sesuatu diberikan sebagai imbalan atas sesuatu), dan niat jahat, kerugian negara tidak cukup menjerat seseorang.
-000-
Di Jerman, dalam Strafgesetzbuch (KUHP Jerman), §§ 331–335 mengatur Korruption: suap, gratifikasi, penyalahgunaan jabatan.
Fokus jaksa di Jerman tetap pada niat dan penyalahgunaan kekuasaan, bukan pada besarnya kerugian negara.
Di Singapura, Prevention of Corruption Act menitikberatkan pada perbuatan memberi atau menerima gratifikasi.
CPIB menegakkan hukum berbasis integritas prosedural, bukan kerugian negara.
Di Inggris dan Australia, Bribery Act 2010 (Inggris) dan Commonwealth Criminal Code (Australia) menekankan tindakan koruptif, suap, dan keuntungan tidak sah.
Kerugian negara ditempatkan pada ranah restitusi, bukan elemen tindak pidana.
Kesimpulan: negara maju mengedepankan niat, proses, dan integritas. Kerugian negara dianggap konsekuensi yang bisa dipulihkan, bukan fondasi untuk tuduhan korupsi.
-000-
Dalam banyak yurisdiksi maju, ada perlindungan hukum bernama business judgment rule.
Keputusan manajerial yang diambil dengan itikad baik, berdasarkan informasi memadai, tanpa konflik kepentingan, dan dalam lingkup kewenangan — tak bisa dikriminalisasi meski berujung kerugian.
Karena itu:
• Kerugian negara adalah hasil, bukan perbuatan itu sendiri.
• Variabel eksternal — pasar, kurs, kebijakan, bencana — bisa mengubah hasil bisnis secara drastis.
• Selama proses sah, transparan, tunduk audit, keputusan yang gagal tak boleh dipidana.
Model ini memberi ruang inovasi. Pejabat berani melompat karena dilindungi proses, bukan dihukum hasil.
Awalnya business judgment rule lahir di ranah korporasi. Namun logikanya relevan ke sektor publik: fokus pada proses pengambilan keputusan yang wajar dan beritikad baik.
Dengan itu, garis tegas dapat ditegakkan antara risiko kebijakan sah dan tindak pidana korupsi.
“Secara filosofis, kriminalisasi ‘kerugian negara’ mengaburkan batas antara kejahatan korupsi dan risiko kebijakan yang sah.
Hukum yang menghukum kegagalan — bukan niat jahat — melanggar prinsip keadilan retributif. Ia menyamakan kesalahan administratif dengan kriminalitas terencana.
Paradigma ini menciptakan dilema etis: negara menjadi penjara inovasi, pejabat memilih stagnasi aman ketimbang lompatan progresif yang berisiko.
Padahal esensi korupsi adalah penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan pribadi, bukan kegagalan kalkulasi demi kepentingan publik.”
-000-
Mengapa Indonesia memasukkan kerugian negara sebagai unsur korupsi?
Pertama, warisan kolonial. Wetboek van Strafrecht Belanda sudah mengenal ambtelijke corruptie (korupsi jabatan) dan verduistering (penggelapan). Sejak itu, penyimpangan kas negara dipandang sebagai pengkhianatan publik.
Kedua, pasca kemerdekaan. Orde Lama dan Orde Baru menempatkan keuangan negara sebagai simbol kedaulatan. Setiap penyimpangan anggaran dianggap ancaman pada legitimasi negara.
Ketiga, Undang-Undang Tipikor.
• UU No. 31/1999, Pasal 2 ayat (1): “Setiap orang yang secara melawan hukum… yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara…”
• Pasal 3 memakai unsur sama.
• UU No. 20/2001 memperkuat mekanisme uang pengganti (Pasal 18).
Keempat, undang-undang pendukung:
• UU 17/2003 tentang Keuangan Negara.
• UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara.
• UU 15/2006 tentang BPK.
• UU 30/2002 tentang KPK (diubah UU 19/2019).
• UU 46/2009 tentang Pengadilan Tipikor.
Kelima, logika politik. Unsur kerugian negara memberi alat normatif untuk menjerat penyalahgunaan sekaligus memulihkan aset lewat uang pengganti.
Namun dalam praktik, tafsirnya sering kabur. Putusan Tipikor kerap menghukum pejabat karena “perbedaan harga kontrak dengan harga pasar,” tanpa memperhitungkan variabel ekonomi.
Akibatnya, pejabat dihukum bukan karena korupsi, tetapi karena salah kalkulasi bisnis.
-000-
Lima Alasan Aturan “Kerugian Negara” Bermasalah
- Ambiguitas Pengukuran
Nilai kerugian negara tidak pernah pasti. Hari ini bisa rugi karena kurs, esok bisa untung karena harga naik. Seperti pedagang pasar: harga cabai naik-turun, tidak bisa dijadikan bukti kriminal.
- Mengabaikan Keniscayaan Rugi
Dalam bisnis, kerugian itu biasa. Bahkan perusahaan besar pun pernah gagal. Jika pejabat negara tidak diberi ruang gagal, ia akan memilih aman, menolak berinovasi, dan akhirnya masyarakat kehilangan peluang kemajuan.
- Kriminalisasi Keputusan Administratif
Kesalahan manajerial — misalnya salah perhitungan biaya atau jadwal proyek molor — bisa dijerat seolah-olah korupsi. Padahal itu beda jauh: salah hitung bukan berarti mencuri. Sama seperti murid salah hitung matematika, bukan kriminal.
- Ketidakpastian Hukum & Over-Penuntutan
Seorang pejabat membuat keputusan hari ini dengan niat baik. Sepuluh tahun kemudian, ketika kondisi ekonomi berubah, keputusan itu bisa dianggap korupsi. Situasi ini membuat pejabat hidup dalam ketakutan, selalu was-was.
- Mengabaikan Integritas
Hakikat korupsi adalah niat jahat dan penyalahgunaan kekuasaan. Jika hanya angka kerugian dijadikan ukuran, pejabat yang jujur bisa dihukum, sementara niat busuk kadang lolos. Hukum jadi tidak adil dan menyesatkan.
Pihak kontra berargumen: unsur kerugian negara memberi batasan objektif untuk menjerat koruptor, apalagi saat pembuktian mens rea (niat buruk) sulit.
Namun argumen ini rapuh. “Objektivitas” kerugian negara semu: nilainya bisa dimanipulasi politik atau fluktuasi pasar. Ia lebih sering menjadi alat represif bagi inovasi.
Solusi sejati: memperkuat investigasi atas niat jahat, bukan menghukum risiko kebijakan yang sah.
-000-
Jalan Reformasi: Judicial Review dan Omnibus. Paradigma hukum harus diubah.
- Judicial Review di Mahkamah Konstitusi
Judicial review artinya meminta Mahkamah Konstitusi menilai ulang apakah sebuah pasal dalam undang-undang sesuai UUD 1945 atau tidak.
Dalam konteks ini, pasal yang menjadikan “kerugian negara” sebagai unsur korupsi diajukan untuk dibatalkan. Jika dikabulkan, hukum korupsi Indonesia akan lebih adil dan tidak mengkriminalisasi kegagalan kebijakan.
UU yang dimintakan judicial review terkait unsur “kerugian negara”:
• UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Pasal 2 dan 3.
• UU 20/2001 (perubahan atas UU 31/1999).
• UU 17/2003 tentang Keuangan Negara.
• UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara.
• UU 15/2006 tentang BPK.
- Omnibus Law dengan Business Judgment Rule
Omnibus law berarti satu undang-undang baru yang merangkum banyak aturan lama sekaligus.
Di dalamnya dimasukkan prinsip business judgment rule, yaitu perlindungan hukum bagi pengambil keputusan.
Selama keputusan dibuat dengan niat baik, transparan, dan tanpa konflik kepentingan, ia tak bisa dipidana meski hasil akhirnya merugikan negara.
- Fokus Baru pada Niat, Integritas, dan Proses
Negara maju menghukum korupsi bukan karena rugi-untungnya, tapi karena niat jahatnya.
Reformasi hukum kita juga harus menekankan aspek proses: apakah pejabat beritikad baik, apakah prosedur dijalankan, apakah integritas terjaga.
Kalau semua itu dipenuhi, kegagalan dianggap risiko wajar, bukan kejahatan.
- Standar Keputusan Publik Berbasis Due Diligence dan Audit Independen
Due diligence artinya pemeriksaan cermat sebelum mengambil keputusan, sedangkan audit independen artinya laporan keuangan dicek pihak luar yang netral.
Dengan standar ini, keputusan pejabat bisa diukur kualitasnya secara objektif. Jika prosedurnya benar dan diaudit, maka kerugian yang timbul dianggap risiko sah, bukan tindak pidana.
- Mekanisme Restorative Justice
Restorative justice menekankan pemulihan, bukan sekadar hukuman. Jika pejabat mengembalikan kerugian negara dengan cepat, ia mendapat insentif seperti keringanan hukuman.
Tujuannya sederhana: negara lebih untung jika uang kembali dan bisa dipakai untuk rakyat, daripada sekadar memenjarakan pelaku tanpa pemulihan kerugian.
-000-
Kita tak bisa melarang kegagalan bisnis. Dalam kegagalan ada pelajaran, ada keberanian untuk bangkit.
Hukum yang menjadikan “kerugian negara” sebagai inti korupsi justru mematikan keberanian.
Negara maju melindungi proses yang benar, bukan menghukum hasil yang rugi.
Inovasi hukum menuntut keberanian membedakan antara niat jahat dan kegagalan wajar.
Jika paradigma baru ditegakkan, pejabat publik tak lagi dihukum karena risiko kebijakan, melainkan karena penyalahgunaan kuasa.
Dengan itu, hukum berubah: dari alat penebar rasa takut menjadi ekosistem keberanian, yang melahirkan terobosan sosial-ekonomi jangka panjang.
“The test of government is how it treats those in the dawn of their failures, not in the twilight of success.”
Jika Indonesia ingin maju, hukum korupsi harus bergeser: dari menghukum kerugian menjadi menegakkan integritas.
Barulah Arga dan setiap pejabat negara bisa melompat lebih bebas, menyalakan ide besar tanpa takut dijerat kriminal.
Masa depan bangsa tumbuh bukan dalam ketakutan, melainkan dalam keberanian. (*)
Singapura, 3 Oktober 2025
Referensi
1. Susan Rose-Ackerman & Bonnie Palifka, Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform (Cambridge University Press, 2016).
2. Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia: Masalah dan Pemecahannya (Gramedia, 1985).
-000-
Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World