HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Mengenal Dayang Donna, Tersangka Korupsi yang Belum Memakai Rompi Shopee

August 26, 2025 16:06
IMG-20250826-WA0039

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

HATIPENA.COM – Sipenyuapnya sudah dikandangin KPK. Bahkan, dipamerkan secara gratis. Lalu, siapa yang disuap? “Sabar, boh!” kata orang Dayak Kanayatn. Pesan kopi dulu, lalu nikmati narasi yang mengulik orang yang disuap itu.

Namanya, Dayang Donna Walfiaries Tania, S.Psi., MM. Nama sepanjang jalan tol Balikpapan–Samarinda. Lahir di Samarinda pada 10 April 1976. Ia putri dari pasangan mendiang Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak dan Hj. E Amelia Suhami. Ia menapaki pendidikan dengan rapi, dari SDN 05 Pagi Jakarta, SMPN 154 Jakarta, SMAN 30 Jakarta, lalu kuliah Psikologi di Universitas Persada Indonesia YAI, dan meraih gelar magister manajemen di Universitas Mulawarman.

Resume hidupnya gemerlap bak pameran berlian. Ketua Kadin Kaltim dua periode (2017–2022, 2022–2027), Ketua Forum CSR, Ketua PRSI, Ketua ISSI, Ketua Yayasan UNTAG Samarinda, CEO PT Aifa Kutai Energy, hingga mantan Ketua HIPMI.

Segudang penghargaan pernah ia boyong. Pernah meraih Women of the Year 2014, JCI Ten Outstanding Young Person, Honoring Outstanding ASEAN Women Entrepreneur di Hanoi, Vietnam tahun 2016. Bahkan, media pernah menobatkannya sebagai wanita tangguh yang mampu menantang dominasi lelaki di panggung bisnis dan politik. Seolah-olah Donna adalah Wonder Woman versi Benua Etam, simbol kesuksesan perempuan muda yang melangkah gagah di dunia keras pertambangan dan politik lokal.

Namun, sejarah selalu punya cara untuk membalikkan mitos. Semesta yang dulu menaburinya bunga, kini menaburkannya abu. Pada 19 September 2024, KPK resmi menetapkan Dayang Donna sebagai tersangka bersama pengusaha tambang Rudy Ong Chandra. Bahkan, mendiang ayahandanya sendiri, Awang Faroek Ishak. Kasusnya, suap perpanjangan enam Izin Usaha Pertambangan (IUP). Ironi pun lengkap. Sang putri mahkota bisnis justru masuk catatan hitam republik, sang tokoh inspiratif kini beralih profesi menjadi tersangka inspiratif.

Camane ceritenye, Bang? Rudy Ong datang membawa permintaan suci, tolong uruskan enam IUP agar bisa tetap bernafas di rimba Kaltim. Dayang Donna, dengan jejaring dan darah biru politiknya, menjadi perantara. Awalnya, Rudy menawar Rp1,5 miliar. Tetapi seperti layaknya pasar malam, harga itu ditolak. Setelah negosiasi yang tak kalah tegang dari tawar-menawar beras di Pasar Flamboyan Pontianak, akhirnya deal di angka Rp3,5 miliar. Agar lebih elegan, transaksi tidak pakai rupiah biasa, melainkan pecahan dolar Singapura. Lalu, dolar itu dimasukkan dalam koper, diserahkan di hotel, dengan perantara yang lebih lihai dari kurir ekspedisi. Di sinilah drama mencapai klimaksnya. SK perpanjangan IUP tidak diantar pejabat, tidak pula oleh sopir pribadi, melainkan oleh babysitter sang anak. Bayangkan, wak! Dokumen tambang bernilai triliunan beralih tangan lewat pengasuh balita. Inilah definisi baru dari anak adalah masa depan bangsa.

Sementara itu, Rudy Ong sudah lebih dulu dipajang di depan kamera wartawan. Ia memaai rompi oranye khas KPK yang sering disebut rompi Shopee edition. Ia dipamerkan seperti manekin di etalase hukum, jadi contoh nyata bahwa korupsi tidak pernah abadi. Tetapi Donna? Ia masih melenggang. Bahkan, sempat mangkir dari panggilan KPK dengan alasan sibuk. Di negeri ini, ternyata baliho bisa lebih sakti dari surat panggilan penyidik. Publik pun bertanya-tanya, kenapa Rudy sudah diseret, sementara Donna masih berkeliaran? Kapan ia akan bergabung dalam pawai oranye? Kapan semesta melihat keadilan ditayangkan dengan adil?

KPK menjawab dengan tenang, penahanan itu tergantung penyidik. Alasannya bisa objektif, bisa subjektif. Menunggu aba-aba. Seolah hukum di negeri ini seperti lomba tarik tambang, menunggu wasit meniup peluit. Sementara itu, rakyat kecil yang ngedompeng bisa langsung masuk sel tanpa drama. Kontras yang begitu mencolok hingga membuat dada sesak.

Tokoh yang dipuji setinggi langit, akhirnya dijatuhkan ke lubang tambang yang dalam. Dayang Donna pernah dielu-elukan sebagai simbol perempuan tangguh, kini hanya jadi simbol tawar-menawar suap. Dari Rp1,5 miliar naik ke Rp3,5 miliar, dan kita pun seakan dipaksa kagum pada kelihaian negosiasi ala Kadin. Jika di dunia bisnis ia dikenal jago menutup deal, di dunia hukum ia pun membuktikan hal yang sama, deal harga korupsi.

Kini publik hanya bisa menunggu, apakah ia akhirnya benar-benar akan mengenakan rompi oranye, ataukah sejarah lagi-lagi memberi pengecualian. Yang jelas, rompi itu sudah disiapkan, ukurannya mungkin pas, tinggal penyidik menentukan kapan dipakaikan. Kalau terlalu lama menunggu, mungkin rakyat bisa urunan membeli rompi Shopee sendiri untuk disumbangkan. Setidaknya agar Donna tahu, publik sudah muak dengan drama yang berlarut-larut.

Di ujung kisah ini, kita tersadar, koruptor di negeri ini sering kali dipuji dulu dengan segala gelar dan prestasi, sebelum akhirnya dihancurkan reputasinya oleh dosa mereka sendiri. Dayang Donna bukan pengecualian. Ia adalah epitome bagaimana ambisi, kekuasaan, dan suap bisa meruntuhkan citra megah yang dibangun selama puluhan tahun. Lalu, kita, rakyat, hanya bisa tertawa getir sambil menunggu episode berikutnya. Semoga kali ini rompi oranye itu tidak hanya jadi kostum panggung, melainkan benar-benar simbol pertanggungjawaban di hadapan hukum. Karena kalau tidak, kita semua hanyalah penonton setia sinetron korupsi paling absurd di dunia, yang entah kapan tamatnya. (*)

#camanewak