Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Saya sering melindas, eh salah, mengupas koruptor di negeri orang. Ternyata di negeri sendiri, ada juga koruptornya. Saya kira Kalbar bersih dari perampok uang rakyat. Kalbar malah dijadikan lahan empuk oleh Fahmi Mochtar, elite PLN beserta kroninya. Nikmati narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Dulu, ketika lampu-lampu negeri ini masih butuh harapan, nama Fahmi Mochtar dinobatkan layaknya lentera kebanggaan. Lulusan Teknik Elektro ITB (angkatan 1975) yang lahir di Plaju, 2 Januari 1957, menanjak dari kabel ke kabel, dari GM Distribusi Jakarta-Tangerang sampai jadi Pelaksana Tugas Direktur Pembangkitan dan Energi Primer, sebuah rekam jejak teknokrat yang bikin publik percaya, inilah orang yang mengerti mesin, gardu, dan ritme arus lebih baik dari para pemanis pidato. Ia naik jadi Direktur Utama PLN pada 2008, terpilih lewat seleksi yang katanya adil. Ia bicara tegas soal kebutuhan negara, butuh Rp80 triliun per tahun untuk membangun infrastruktur listrik, perlu segera merebut potensi panas bumi 27.000 MW sebagai masa depan energi. Pernyataan ikoniknya, “listrik adalah harga diri bangsa” diperbanyak, dikutip, dipuja. Puji setinggi langit memang pantas, seorang insinyur yang percaya pada kedaulatan energi, memegang gagasan besar program 10.000 MW, tampil sebagai simbol profesionalisme yang langka.
Lalu datang kenyataan yang menampar. Simbol itu runtuh, bukan karena kesalahan teknis semata, melainkan karena bau busuk transaksi yang mengkhianati rakyat. Fahmi Mochtar kini bukan lagi sekadar nama besar. Ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek PLTU 1 Kalbar (Mempawah) 2×50 MW, proyek yang dijanjikan menerangi, namun diduga menguras Rp1,3 triliun negara. Tersangka diumumkan pada 3 Oktober 2025. Kata “tersangka” itu menempel seperti noda oli pada jas kerja putih yang dulu dianggap suci.
Bayangkan, wak! Lelaki yang pernah menulis kebutuhan besar untuk menerangi negeri, yang mengusulkan geothermal sebagai masa depan. Kini, ia berada di pusat cerita di mana proyek mangkrak, tender dicurigai diatur, dan perusahaan yang belum punya rekam jejak tiba-tiba muncul sebagai pemenang. Ini seolah listrik diganti transaksi gelap. Janji 2×50 MW yang megah berubah menjadi 0 MW untuk rakyat. Hanya menyisakan janji, papan nama proyek, dan rekening yang bermasalah. Ironisnya, orang yang memperjuangkan kedaulatan energi kini dicurigai memperdagangkan kepercayaan publik demi keuntungan yang tidak pernah akan menghidupkan satu rumah pun.
Marahlah. Geramlah. Karena ini bukan sekadar laporan teknis. Ini soal pengkhianatan moral. Mereka yang pernah bercakap soal “harga diri bangsa” lalu menyerahkan proyek kepada kongsi yang tak kompeten, apakah itu bukan penghinaan? Mereka yang punya akses, tahu alur, mengerti spesifikasi, lalu menukar nurani dengan angka di spreadsheet, itulah yang harus kita benci bersama. Kita harus muak bukan karena ada satu nama yang jatuh, tapi karena sistem yang memungkinkan jatuhnya nama-nama itu, jaringan kontraktor, selera politik, tutup mata pengawasan.
Fahmi Mochtar pernah bersinar. Kini ia menjadi cermin yang memantulkan kebusukan. Bukan hanya personal, tapi struktural. Rakyat pantas marah bukan hanya pada individunya, tapi pada segala kultur yang membuat korupsi bisa “mengalir” bak arus bocor. Jangan biarkan kemarahan ini padam jadi amarah yang mendingin, biarkan ia menjadi bahan bakar tuntutan transparansi, penegakan hukum tanpa tebang pilih, dan pengembalian hak rakyat yang dilucuti. Koruptor boleh tersenyum di balik dokumen, nyalakan kemarahanmu, lampu-lampu moral harus dinyalakan sampai negeri ini terang kembali.
“Kurang ajar, daerah kite dijadikan medan korupsi. Benar ugak kata sintua kita, Cornelis, ada 700 desa belum teraliri listrik di Kalbar. Geram aku, Bang.”
“Same, wak. Emang bangke! Jangan sampai warkop pun dijadikan medan korupsi, bisa ribut urusannya!” Ups (*)
#camanewak
Foto AI hanya ilustrasi