Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Mengenal Filsafat Eksistensialis

December 29, 2024 08:49
Ilustrasi: Kecerdasan Buatan/ Rosadi Jamani
Ilustrasi: Kecerdasan Buatan/ Rosadi Jamani

Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)

Baik, Wak! Kita lanjutan belajar filsafat sambil ngopi. Kemarin sudah dibahas filsafat kesadaran, kritis, dan skeptisisme. Kali ini giliran filsafat eksistensialis. “Ape bende age tu, Bang?” tanya budak Pontianak.

Bayangkan ini, wak! Kamu duduk sendirian di kamar gelap, lampu mati, hanya diterangi sinar laptop yang baterainya tinggal 5 persen. Tiba-tiba, kamu berhenti mengetik tugas, menatap kursor berkedip-kedip, lalu bergumam lirih, “Kenapa sih aku harus ngumpulin tugas ini? Kenapa aku ada di dunia ini? Apa artinya hidup ini selain cicilan, kerja rodi, dan pesen gofood?” Selamat! Kamu baru saja menyelami jiwa eksistensialis tanpa sadar.

Eksistensialisme adalah filsafat yang muncul dari kesadaran bahwa hidup ini, kalau boleh jujur, nggak masuk akal. Kita lahir, besar, bayar pajak (kalau ingat), lalu mati, dan nggak ada panduan resmi tentang apa yang harus dilakukan di tengah semua itu. Ini kayak main game survival tanpa peta, tanpa senjata, dan musuhnya nggak kelihatan. Semua terserah kamu. Mau lawan, mau kabur, atau cuma duduk di pojokan sambil makan kerupuk basah. Terserah!

Menurut para eksistensialis, hidup ini absurd. Ya seperti sinetron yang nggak jelas alurnya tapi semua orang tetap nonton. Dunia tidak peduli pada keberadaanmu. Kamu bukan pemeran utama yang ditunggu sorotan kamera. Kamu lebih mirip figuran yang kebetulan lewat di latar. Tapi, di situlah letak tantangannya. Mereka bilang, justru karena dunia nggak punya makna bawaan, kamu harus menciptakan maknanya sendiri. Serius, betapa dramatisnya itu! Kamu jadi pahlawan dalam kisahmu sendiri, walaupun kisah itu cuma tentang memilih lauk ikan sampedas kepala tenggiri.

Jean-Paul Sartre, salah satu dedengkot eksistensialisme, pernah bilang, “Manusia itu terkutuk untuk bebas.” Kedengarannya keren, kan? Tapi maksudnya adalah kebebasan itu berat, Wak. Kamu bebas memilih jalan hidupmu, tapi kamu juga harus siap tanggung akibatnya. Pilih karir yang salah? Salahmu. Pilih pasangan yang toxic? Salahmu juga. Bahkan kalau kamu salah beli kopi dan ternyata pahit, itu juga salahmu karena nggak baca deskripsinya dulu. Kebebasan manusia adalah hadiah paling mahal sekaligus beban paling nyebelin.

Lalu ada Albert Camus, yang mendeklarasikan bahwa hidup ini absurd, seperti plot drama yang nggak sinkron sama soundtrack-nya. Tapi, dari pada menyerah, dia bilang kita harus memberontak. Bukan memberontak dengan cara bikin kerusuhan, tapi memberontak dengan terus hidup, terus mencari kebahagiaan kecil di tengah kekacauan besar. Hidup, menurut Camus, itu seperti dorong batu ke atas bukit, tahu batu itu bakal jatuh lagi, tapi kamu tetap dorong sambil sesekali bilang, “Ya udahlah, yang penting olahraga.”

Nari kita bahas Søren Kierkegaard, bapak eksistensialisme yang paling religius. Dia percaya bahwa manusia itu terjebak dalam jurang keputusasaan, tapi jurang itu adalah tiket menuju makna sejati. Kierkegaard mungkin orang pertama yang bilang, “Kalau hidupmu berantakan, itu artinya kamu lagi dekat sama Tuhan.” Lain kali ketika kamu ngerasa gagal, ingatlah bahwa itu cuma cara semesta bilang, “Hey, kamu lagi dalam proses pencerahan.”

Eksistensialisme adalah filosofi yang penuh drama, seperti opera yang terus-terusan minta penonton ikut nangis. Tapi, di balik segala melodramanya, ada pesan yang sederhana, hidup ini mungkin nggak punya makna bawaan, tapi itu nggak masalah. Kamu bebas menentukan maknamu sendiri. Meskipun hari ini kamu cuma makan mie instan sambil nonton video lucu di internet, itu pun bisa jadi makna hidupmu untuk sementara waktu. Lagi pula, siapa yang bisa bilang mie instan bukan sumber kebahagiaan sejati?

Pantun dulu wak!

Pergi ke pasar beli ketan,
Ketemu kawan lupa disapa.
Hidup ini penuh pertanyaan,
Jawabannya? Entahlah siapa.

Burung merpati terbang tinggi,
Hinggap di dahan sambil bernyanyi.
Hidup absurd tapi tak rugi,
Makna dicari, bahagia dinikmati.

#camanewak