HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Mengenal Haile Selassie, Manusia Setengah Tuhan Berakhir Tragis

September 11, 2025 12:16
IMG-20250911-WA0036

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

HATIPENA.COM – Saya suka hadis ini, dan selalu saya amalkan. “Cintailah kekasihmu sekadarnya saja, boleh jadi suatu saat dia menjadi orang yang engkau benci. Bencilah musuhmu sekadarnya saja, boleh jadi suatu saat dia menjadi orang yang engkau cintai.” Ini ada kaitannya dengan manusia yang dipuja layaknya Tuhan, digelari raja dari segala raja, sang kaisar. Sayang, di akhir hidupnya, sangat tragis. Simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!

Haile Selassie I, Negusa Nagast, Raja dari segala raja, singa penakluk suku Yehuda, kaisar Ethiopia, simbol Pan-Afrikanisme, bahkan dianggap jelmaan Tuhan oleh penganut Rastafari. Bayangkan, manusia berdaging dan bertulang ini diangkat jadi separuh langit. Setiap langkahnya bagai firman, setiap pidatonya seolah wahyu. Dunia bersorak, Jamaika bersujud, Afrika berbangga.

Namun sejarah tidak pernah suka pada manusia yang terlalu diagungkan. Tahun 1974, badai kudeta Derg datang. Sang kaisar yang dulu dipuja, tiba-tiba dianggap zalim. Rakyat yang lapar berdoa, dan Tuhan mendengar doa perut kosong lebih nyaring dari doa imam di istana. Selassie jatuh, bukan hanya dari takhta, tapi dari singgasana pujaan.

Ia tidak langsung dibunuh. Tidak, terlalu sederhana itu. Selassie dikurung di istananya sendiri. Rumah megahnya berubah jadi penjara. Gerbang yang dulu terbuka untuk tamu dunia, kini tertutup rapat. Ia dibiarkan menua di dalam, tanpa kemerdekaan sekecil keluar halaman. Raja yang pernah memimpin jutaan jiwa kini sendirian menunggu ajal, terjebak dalam ironi, istananya berubah jadi kandang.

Hari-hari berlalu. Tahun berjalan. Tubuh renta itu tak segera roboh. Ia masih bernapas, masih menatap, masih menua, dan ini membuat rezim gelisah. Seorang kaisar yang terlalu lama hidup menjadi ancaman. Maka, keputusan pun jatuh, ia harus “dipercepat.”

Konon, suatu malam, ajalnya tidak datang dengan alamiah. Tentara masuk kamar. Mereka mendekat, membawa bantal. Raja dari segala raja itu, yang dulu disembah bagai Tuhan, dicekik. Napas terakhirnya bukan doa, melainkan tercekik kain. Selesai. Tubuhnya kemudian dikubur diam-diam di bawah lantai toilet istana. Raja besar dunia, dibuang di tempat orang membuang kotoran.

Apakah ini tragedi? Apakah ini lelucon sejarah? Entah. Yang jelas, baru setelah rezim Derg tumbang, kerangkanya ditemukan pada 1992, lalu baru dimakamkan layak di Katedral Trinity tahun 2000. Doa yang terlambat, upacara yang hambar. Sebab kehormatan sejati sudah lama dikubur bersama baunya.

Inilah pelajaran dari Selassie, manusia, setinggi apa pun martabatnya, tetap hanyalah daging yang bisa dikurung, dicekik, lalu dilupakan. Hari ini dipuja Tuhan, besok diperlakukan lebih hina dari seekor anjing kurap.

Sejarah pun menyindir dengan pahit, “Siapa suruh percaya manusia bisa jadi Tuhan?”

“Bang, sekarang banyak media atau ormas seperti menabikan pemimpin, seolah tak ada dosa, bersih, antikorupsi.”

“Itu tanda udah caer, wak!” Ups (*)

#camanewak