Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Luar biasa, yang ini layak dicontoh, wak. Saya yakin jurnalnya asli no plagiarism. Bukan abal-abal. Dunia mengakui keilmuannya. Mari kita berkenalan dengan ilmuwan hebat abad ini. Siapkan kopi dengan sedikit gula aren, wak!
Kalau nuan pikir ilmuwan itu cuma orang berkacamata tebal, rambut acak-acakan, dan hidupnya cuma di antara tabung reaksi, tunggu dulu sampai kenal Omar M. Yaghi. Pria ini lahir di Amman, Yordania, tahun 1965, dari keluarga pengungsi Palestina yang bahkan mungkin tak pernah membayangkan anaknya suatu hari akan mengubah cara dunia memandang udara, air, dan logam. Kini, Yaghi jadi pemenang Nobel Kimia 2025, dan seluruh laboratorium di dunia sedang sibuk menyebut namanya seolah ia unsur ke-119 di tabel periodik.
Ceritanya mirip dongeng ilmiah. Ia seorang anak yang lahir di tengah keterbatasan, tapi punya otak yang lebih tajam dari pisau bedah dan lebih bandel dari gas helium. Setelah menamatkan kuliah di Amerika, Yaghi tak berhenti bereksperimen. Sementara banyak orang masih bingung campur kopi dan gula, dia sibuk mencampur logam dan molekul untuk membuat sesuatu yang disebut metal-organic frameworks, disingkat MOFs. Kedengarannya rumit, tapi bayangkan saja seperti spons super ajaib yang bisa menyerap apa pun, seperti gas, air, bahkan dosa umat manusia kalau perlu.
MOFs ini ibarat apartemen mewah bagi molekul. Ruangannya banyak, ventilasinya luar biasa, dan tamunya bebas keluar masuk tanpa macet. Dengan material ciptaannya, Yaghi bisa “menyimpan” gas hidrogen untuk bahan bakar masa depan, menangkap karbon dari udara, bahkan menyedot air dari udara kering di tengah padang gurun. Percaya atau tidak, alat berbasis temuannya bisa menghasilkan air hanya dari udara panas di Death Valley, tempat di mana matahari saja rasanya malas bersinar. Kalau Nabi Musa membelah laut, Yaghi memeras udara, dan hasilnya bisa diminum!
Yaghi menyebut bidangnya reticular chemistry, tapi kalau mau gampang, sebut saja “kimia sambung-sambungan”. Dia seperti tukang bangunan molekul, menghubungkan potongan kecil atom jadi struktur besar dan indah. Bedanya, rumah yang dia bangun bisa menampung gas dan air, bukan manusia. Dunia ilmiah menyebutnya jenius, para mahasiswa menyebutnya dewa kimia, dan mungkin para politisi menyebutnya ancaman, karena dia bisa bikin air tanpa proyek bendungan.
Dari kampung pengungsi Palestina hingga laboratorium megah di University of California, Berkeley, perjalanan Yaghi sungguh ajaib. Ia tak hanya pintar, tapi juga gigih. Saat banyak orang menyerah setelah satu eksperimen gagal, Yaghi malah menulis ulang rumusnya sambil tersenyum seperti baru dapat ilham dari Tuhan. Kini ia punya lebih dari 300 publikasi ilmiah, disitasi lebih dari 200.000 kali, dan gelarnya segudang, anggota Akademi Sains AS, pemenang Wolf Prize, King Faisal Prize, dan tentu saja sang bintang utama, Nobel Kimia 2025.
Tapi yang paling menggetarkan bukanlah gelarnya, melainkan pesannya. Ia pernah berkata, kimia bukan hanya tentang atom, tapi tentang hubungan. Setiap ikatan antaratom adalah simbol kerja sama. Tanpa saling terhubung, tak akan ada struktur yang kokoh. Mungkin itu sebabnya, hidupnya sendiri seperti reaksi kimia sempurna, sederhana di awal, tapi menghasilkan sesuatu yang luar biasa.
Omar Yaghi bukan hanya ilmuwan Muslim pertama yang memenangkan Nobel Kimia setelah sekian lama, ia adalah simbol bahwa pengetahuan bisa tumbuh di mana pun, bahkan di tengah reruntuhan sejarah. Dari pori-pori ciptaannya, air bisa menetes. Dari pikirannya, lahir harapan baru bagi dunia yang haus. Kalau ente sedang merasa hidupmu kering, ingatlah Yaghi. Dia bisa memeras air dari udara, masa kamu tak bisa memeras semangat dari dirimu sendiri?
#camanewak
Foto AI, hanya ilustrasi