Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Kasus Ilham, Kacab BRI yang dibunuh, sampai sekarang belum tertangkap siapa yang melenyapkan nyawanya. Apakah ini dilakukan pembunuh profesional? Dari kasus ini, saya mencoba menarasikan sejarah organisasi pembunuh profesional dari zaman dulu sampai modern. Kebetulan di Pontianak lagi hujan, memang sedap seruput kopi jahe, wak!
Sejarah manusia sebetulnya bukan kisah agung peradaban, melainkan katalog besar metode membunuh dengan gaya. Kalau arkeolog menemukan patung, prasasti, atau pecahan gerabah, itu hanya iklan kecil. Iklan besar umat manusia adalah darah yang ditumpahkan, dengan gaya masing-masing zaman. Dari Persia sampai Meksiko, dari India sampai Jepang, peradaban lebih piawai mengajarkan teknik menghilangkan nyawa ketimbang cara menciptakan kesejahteraan.
Ambil contoh Persia abad ke-11, ketika Hashshashin muncul sebagai startup pertama di bidang jasa pembunuhan. CEO mereka, Hassan-i Sabbah, tidak sibuk pitching ke investor, melainkan sibuk menusukkan pisau ke dada musuh politik. Slogan mereka sederhana, “Punya lawan? Kami punya solusi.” Eksekusinya presisi, penuh kalkulasi, lalu pembunuhnya lenyap tanpa jejak. Dari merekalah lahir istilah assassin. Sungguh ironis, satu kata yang kini dipakai dunia hiburan, padahal aslinya adalah lisensi sah untuk pemberian gelar almarhum.
Jepang mempersembahkan ninja, kaum filsuf senyap yang menulis traktatnya dengan pedang, racun, dan asap hitam. Mereka tak sibuk dengan “Aku berpikir maka aku ada”, melainkan “Aku menghilang maka kau lenyap.” India menambahkan koleksi absurd dengan Thuggee, geng ibadah paling aneh di dunia, yang mencekik ribuan musafir dengan kain rumal demi persembahan pada Dewi Kali. Semua ini menunjukkan, manusia punya satu kesamaan universal, bakat untuk membunuh dengan penuh gaya.
Modernisasi tidak menghapus, hanya mengganti kostum. Italia punya Cosa Nostra, Camorra, dan ’Ndrangheta. Jepang punya Yakuza. Rusia punya Bratva. Tiongkok punya Triad. Meksiko mempersembahkan sicarios, yang bisa menembak lebih cepat dari orang mengetik status WhatsApp. Mereka adalah korporasi multinasional jasa kematian. Kliennya politikus, pengusaha, atau bos narkoba, paketnya bisa premium atau ekspres.
Uniknya, pembunuh profesional selalu meninggalkan aroma khas. Targetnya tokoh penting, eksekusinya cepat dan bersih, satu peluru ke kepala, dua ke dada, tanpa drama berlebihan. Barang berharga tidak hilang, artinya bukan rampok. Lokasi sering di ruang publik, artinya bukan sembarangan, melainkan pertunjukan. Mereka bukan sekadar pembunuh, tapi sutradara teater kematian.
Betapa absurdnya dunia ini ketika statistik global membenarkan bahwa membunuh adalah aktivitas manusia yang paling konsisten sepanjang masa. Menurut United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), pada tahun 2021 tercatat 457.945 kasus pembunuhan di seluruh dunia. Angka itu, kalau diterjemahkan dalam matematika dingin, berarti ada 1.254 pembunuhan per hari, atau 52 per jam, kira-kira satu orang dibunuh setiap 70 detik. Detik ini nuan membaca kalimat ini, mungkin ada orang di tempat lain sedang jatuh bersimbah darah.
Namun, distribusi pembunuhan tidak merata. Di beberapa negara, angka itu gila-gilaan, mencerminkan kekacauan sosial dan kartel yang merajalela. Sebaliknya, Jepang dan Singapura mencatat tingkat pembunuhan sangat rendah, hanya 0,10–0,23 per 100.000 penduduk. Artinya, ada tempat di dunia di mana manusia bisa hidup aman sampai bosan, sementara di tempat lain manusia hanya hidup sampai giliran peluru berikutnya.
Akhirnya, absurditas itu mampir ke halaman negeri ini. Kasus pembunuhan Ilham, Kepala Cabang BRI, menegaskan bahwa pola lama tak pernah benar-benar mati. Korbannya bukan kriminal recehan, bukan pencuri ayam. Ia seorang pejabat bank besar, mati dalam situasi yang terlalu mirip dengan modus eksekusi profesional. Satu tubuh tumbang, seribu tanda tanya muncul. Apakah ini bagian dari panggung global seni membunuh, atau sekadar tragedi domestik dengan gaya internasional? (*)
#camanewak