Oleh: Ririe Aiko
HATIPENA.COM – Di era ketika teknologi berkembang sedemikian pesat, kecerdasan buatan telah menjadi bagian tak terelakkan dari kehidupan sehari-hari, termasuk dalam dunia kepenulisan. AI kini mampu menulis artikel, puisi, bahkan karya sastra dalam hitungan detik. Namun di tengah segala kemudahan itu, muncul satu pertanyaan mendasar: untuk apa kita menulis?
Dahulu, menulis adalah seni menyampaikan ide, bentuk ekspresi, sekaligus upaya mencatat sejarah manusia. Di masa kini, menulis telah mengalami pergeseran fungsi. Informasi yang dulunya dicari dengan susah payah kini hadir secepat kedipan mata. Mesin pencari menggantikan lembaran koran, dan media sosial telah menyaingi ruang redaksi. Namun, justru karena itulah, nilai dari tulisan yang berangkat dari nurani menjadi semakin langka—dan justru semakin dibutuhkan.
Kita menyaksikan bagaimana media cetak satu per satu tumbang. Koran pagi yang dulu jadi rutinitas kini digantikan scroll berita online. Dan sayangnya, kredibilitas berita tak lagi semata-mata ditentukan oleh akurasi atau integritas sumbernya, melainkan oleh jumlah klik, views, dan likes. Popularitas telah mengambil alih peran kebenaran. Yang penting viral, maka ia dianggap layak dikonsumsi publik—tanpa sempat ditelisik, apakah isinya benar atau justru menyesatkan.
Dalam kondisi seperti ini, menulis bukan lagi sekadar keterampilan, melainkan bentuk perlawanan. Sebuah bentuk derma—seperti sedekah pikiran dan empati—yang ditujukan untuk sesama manusia. Ketika penulis memilih untuk tetap bersuara tentang keadilan, tentang yang tertindas, tentang yang tak pernah masuk dalam sorotan kamera media arus utama, ia sebenarnya sedang memberi apa yang tidak bisa diberikan oleh algoritma: hati nurani.
Menulis untuk mereka yang suaranya dibungkam. Menulis untuk mereka yang kisahnya tidak dianggap layak tayang. Menulis bukan demi viral, tapi demi menyulut nurani pembaca yang barangkali sudah nyaris padam.
Tidak semua tulisan akan mendapat sorotan. Bahkan mungkin sebagian besar tulisan-tulisan bermutu akan terpendam di antara tumpukan konten remeh yang menguasai linimasa. Namun, mereka yang menulis dari hati tahu, bahwa tulisan bukanlah soal seberapa banyak dibaca, melainkan siapa yang disentuh oleh isi dari setiap kalimatnya.
Era AI tidak akan bisa menggantikan kejujuran hati manusia. Mesin bisa meniru gaya bahasa, tetapi tidak bisa menyalin empati. Mesin bisa memahami struktur kalimat, tetapi tidak memahami rasa sakit, kemarahan, dan harapan yang tertuang dalam tulisan yang ditulis dengan air mata.
Karena itu, mari terus menulis. Menulis bukan untuk mengalahkan algoritma, tetapi untuk mengingatkan bahwa di balik angka-angka statistik, masih ada manusia yang terluka dan berharap ada yang peduli.
Menulis adalah bentuk cinta yang paling sunyi. Dan justru dalam kesunyian itulah, makna terdalam dari kemanusiaan ditemukan. (*)