Oleh: Nurul Jannah
HATIPENA.COM – Kata Bukan Hanya Aksara, Ia adalah Jejak Abadi Jiwa
“Waktu bisa merapuhkan tubuh, usia bisa memudarkan langkah, tetapi kata-kata yang kita tulis tak pernah benar-benar mati. Ia hidup, berkelana, menyeberangi generasi. Menulis bukan hanya meninggalkan jejak semata, melainkan melawan kefanaan agar jiwa tetap abadi.”
Pagi ini, jam menunjuk angka 3.30. Setelah menutup doa panjang di sepertiga malam, aku menatap layar kosong. Kursor berkedip-kedip, seakan berkata: “Tulislah… biarkan kata-katamu hidup bahkan ketika waktu berhenti.”
Bisikan Pagi dan Hati yang Ragu
Secangkir kopi panas menebarkan aroma pahit-manis yang menguatkan hati. Dari balik jendela, angin subuh masuk perlahan, seolah mengetuk batinku. Jemariku masih kaku. Dalam hati, pertanyaan itu kembali bergema: “Apakah tulisan ini berarti? Adakah yang benar-benar membacanya?”
––--Baca Juga: Kita Bukan Boneka, Bro!
Seakan menjawab, percakapan singkat dengan Nina semalam muncul kembali.
“Tulisan saya jelek, Nurul. Tak seindah tulisanmu atau penulis lain. Untuk apa saya menulis?”
Aku menghela napas panjang, menatapnya penuh keyakinan.
“Tulisanmu mungkin tampak sederhana bagimu, tapi bisa jadi luar biasa bagi orang lain. Satu kalimatmu bisa menjadi pegangan hidup bagi jiwa yang nyaris menyerah.”
Nina terdiam. Dari rautnya, masih nampak ragu, “Benarkah?”
“Ya. Jangan pernah remehkan kekuatan kata. Setiap kata yang kau tulis adalah doa yang sedang mencari rumahnya.”
Setiap Kata adalah Doa
Menulis bukan hanya merangkai huruf atau meronce aksara. Menulis adalah cara hati berbicara pada semesta. Ada kalimat lahir dari luka, ada yang tumbuh dari cinta, ada pula yang tercipta dari kerinduan. Namun semuanya bergetar sebagai doa, meluncur dari hati penulis, lalu mengetuk hati pembaca.
Seorang pembaca pernah mengirimkan pesan indah.
“Bu Nurul, saya sudah remuk, patah hingga ingin mengakhiri semuanya. Gelap di mana-mana. Tapi tiba-tiba membaca tulisan Ibu. Rasanya seperti ada yang menggenggam tangan saya dan berkata: ‘Bertahanlah’.’”
Air mata ini pun jatuh. Bukan karena tulisanku indah, melainkan karena sadar: Allah bisa saja menitipkan pertolongan-Nya lewat sebuah tulisan.
Dialog dengan Diri Sendiri
Seringkali aku pun bertanya pada diri sendiri: “Untuk apa menulis? Siapa yang peduli?”
Namun selalu ada suara dari dalam jiwa yang menjawab: “Menulislah. Meski kau tak tahu siapa yang membaca. Karena menulis adalah menabur benih di ladang waktu. Kau mungkin tak pernah melihat pohonnya tumbuh, tapi seseorang kelak akan berteduh di bawah rindangnya.”
Aku terdiam. Jemariku mulai bergerak.
“Kalau begitu, Insya Allah, aku akan terus menulis: sampai kata-kataku menjelma doa bagi siapa saja yang membutuhkannya.”
Tulisan sebagai Warisan Abadi
Hidup ini singkat. Nafas terbatas. Namun tulisan… ia bisa melampaui batas usia.
Aku teringat percakapan kecil dengan Rima, mahasiswa S3 di sebuah kampus ternama.
“Bu, apakah tulisan bisa membuat kita abadi?”
Aku tersenyum, menatapnya lembut. “Abadi dalam arti dikenang, ya. Saat jasadmu tiada, kata-katamu masih bisa hidup. Ia bisa menguatkan anak-cucumu, atau menyelamatkan orang asing yang bahkan tak pernah kau temui.”
Rima menunduk lama, lalu berbisik lirih, “Kalau begitu, saya akan menulis. Agar ada yang mengenang saya dengan doa.”
Refleksi Diri
Menulis bukan untuk mengejar pujian, tapi untuk menyelamatkan jiwa: jiwa kita sendiri maupun jiwa orang lain.
Jangan tunggu waktu luang. Waktu luang itu ilusi. Menulislah sekarang: di sela letihmu, di tengah sibukmu, bahkan di kedalaman lukamu.
Karena bisa jadi, tulisanmu hari ini adalah doa yang menyalakan kembali semangat seseorang untuk bertahan hidup esok hari.
Jangan biarkan kata-katamu terkubur di hati. Tulislah. Biarkan ia menjelma doa, menjelma cahaya, menjelma warisan abadi. Karena tulisanmu akan terus hidup: bahkan ketika waktu tak lagi berlaku. (*)
Bogor, 4 September 2025