Oleh: Ririe Aiko
HATIPENA – Ketika menyiapkan dana pensiun, tentu bagi setiap orang dengan penghasilan di atas Rp15 juta bukanlah hal yang sulit. Mereka memiliki keleluasaan finansial untuk menabung, berinvestasi, bahkan merancang masa tua dengan segala fasilitas. Namun, kita harus kembali pada realitas. Di tengah kenyataan gaji UMR yang menjadi batas penghasilan mayoritas pekerja di Indonesia, wacana menyiapkan dana pensiun justru terasa mengawang dan jauh dari jangkauan.
Banyak masyarakat kita hidup dengan penghasilan jauh di bawah Rp15 juta. Bahkan tak sedikit yang hanya membawa pulang gaji di bawah Rp5 juta per bulan. Dan ironisnya, mereka bukan hanya menanggung dirinya sendiri. Ada anak-anak yang butuh makan dan sekolah, ada orang tua yang harus dibantu, ada cicilan motor atau kontrakan yang tak bisa ditunda. Dalam kondisi seperti itu, menyisihkan uang untuk pensiun bukan sekadar sulit, tetapi hampir mustahil. Penghasilan yang diperoleh pun seringkali hanya “numpang lewat” di rekening sebelum habis untuk kebutuhan harian.
Di sisi lain, tekanan hidup semakin berat. Harga kebutuhan pokok naik, biaya kesehatan dan pendidikan meningkat, sementara penghasilan nyaris stagnan dari tahun ke tahun. Masyarakat yang bekerja di sektor informal bahkan lebih rentan—tidak memiliki jaminan sosial, tak ada tunjangan, dan tak tahu kapan penghasilan datang. Ketika hidup hari ini saja belum pasti, bagaimana mungkin berpikir tentang masa tua?
Yang lebih memprihatinkan, kondisi ini memaksa sebagian besar masyarakat untuk mencari solusi jangka pendek, seperti berutang melalui pinjaman online. Ini bukan bentuk kegagalan dalam mengelola uang, melainkan bentuk ketidakberdayaan dalam menghadapi sistem yang tidak mendukung mereka untuk bertahan hidup, apalagi menabung. Pinjol menjadi jalan pintas yang menjebak, tetapi bagi banyak orang, itu satu-satunya pintu keluar saat kebutuhan mendesak datang tanpa ampun.
Pertanyaannya, apakah kita masih bisa berbicara tentang dana pensiun dalam situasi seperti ini? Apakah menabung untuk hari tua hanyalah hak istimewa kelas menengah atas yang punya sisa uang di akhir bulan?
Sementara itu, narasi perencanaan keuangan di ruang publik lebih sering ditujukan pada mereka yang sudah berada di posisi mapan. Ajakan untuk berinvestasi, menabung sejak muda, hingga membangun portofolio pensiun, jarang menyentuh kenyataan bahwa mayoritas rakyat bahkan belum bisa memastikan makan tiga kali sehari dengan layak. Inilah jurang antara teori dan realitas yang tak kunjung dijembatani.
Kita tak sedang kekurangan seminar motivasi atau webinar keuangan. Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk mengakui bahwa sistem ekonomi kita memang belum berpihak pada rakyat kecil. Ketimpangan penghasilan masih tinggi. Kekayaan negara lebih banyak berputar di lingkaran sempit elit politik dan ekonomi. Perputaran uang yang timpang ini menciptakan kesenjangan struktural yang kian sulit ditutup hanya dengan imbauan untuk “menabung lebih bijak.”
Yang perlu digugat bukan hanya soal rendahnya gaji, tetapi juga siapa yang diuntungkan dari sistem ini dan siapa yang terus dikorbankan. Ketika para pekerja dipaksa berhemat di tengah kebutuhan hidup yang mencekik, sementara segelintir orang menikmati privilese tanpa batas, maka pertanyaan tentang masa depan seharusnya bukan hanya dibebankan pada individu, tetapi pada struktur yang melanggengkan ketimpangan.
Menyiapkan dana pensiun seharusnya menjadi hak semua warga negara, bukan hanya mereka yang bergaji tinggi. Tapi untuk mencapainya, kita harus terlebih dahulu membuka mata pada kenyataan: bahwa banyak rakyat masih hidup dalam ketidakpastian, bahwa mereka tak butuh janji-janji, tapi sistem yang adil dan berpihak. Jika negara sungguh ingin rakyatnya menua dengan layak, maka bukan hanya rakyat yang harus bekerja keras—sistem pun harus berubah.