Dwi Sutarjantono *)
HATIPENA.COM – Di antara hiruk-pikuk era digital, pameran tunggal “Illustrious Gerdi WK – 55 Tahun Berkarya Mengalir dalam Garis” yang digelar di Balai Budaya Jakarta pada 22–28 April 2025, menghadirkan oase nostalgia dan refleksi mendalam bagi para pecinta seni ilustrasi dan komik.
Saya pribadi senang sekali menyambut acara ini karena masa kecil saya tumbuh bersama karya Gerdi WK. Pameran ini menampilkan 97 karya yang merekam perjalanan artistik Gerdi WK sejak tahun 1969, mulai dari komik pertamanya “Kujang Wisapaha” hingga karya-karya terbaru seperti “Taipan” yang terbit pada 2019.
Salah satu sorotan utama dalam pameran ini adalah karakter Gina, superhero perempuan ciptaan Gerdi WK yang pertama kali muncul pada tahun 1972. Di tengah dominasi tokoh-tokoh superhero laki-laki pada masa itu, kehadiran Gina menjadi angin segar yang mendobrak konvensi.
Dengan kostum merah ketat, ikat pinggang emas, dan rambut hitam panjang, Gina digambarkan sebagai sosok yang cantik, kuat, dan penuh semangat. Kehadirannya tidak hanya memperkaya khazanah komik Indonesia, tetapi juga menjadi simbol pemberdayaan perempuan dalam dunia fiksi. Gerdi sudah memulai perhatiannya pada dunia perempuan di masa itu.
Keahlian Gerdi WK tidak hanya terletak pada penciptaan karakter yang kuat, tetapi juga pada teknik menggambar yang memukau. Goresan tinta cina dan pena yang halus, arsiran yang detail, serta kemampuan menggambarkan ekspresi mata yang hidup dan cemerlang, menjadi ciri khas yang membedakan karya-karyanya.
Setiap ilustrasi bukan sekadar gambar, melainkan puisi visual yang menyampaikan emosi dan cerita tanpa perlu kata-kata. Dan ini, menurut Gerdi sudah dimulainya sejak SMP saat ia menjadi penerima tamu pasien ayahnya yang mau berobat.
Selain menciptakan komik, Gerdi WK juga dikenal sebagai ilustrator andal yang karyanya menghiasi berbagai media, termasuk majalah anak-anak seperti Bobo. Karakter Oki dan Nirmala yang muncul dalam majalah tersebut merupakan hasil ilustrasinya yang penuh imajinasi dan kehangatan. Kontribusinya dalam dunia ilustrasi membuktikan bahwa seni gambar tangan tetap memiliki tempat istimewa di tengah gempuran teknologi digital .
Meskipun pameran ini berhasil menghadirkan karya-karya luar biasa, namun terdapat beberapa catatan kritis terkait tata artistik. Penataan karya yang naik turun terkesan asal taruh, tanpa pengelompokan yang jelas antara periode atau tema serta keterangan, membuat pengunjung kesulitan memahami alur perjalanan artistik Gerdi WK kecuali yang sudah tahu karya-karyanya. Bahkan karya tribut menyatu dengan karya Gerdi.
Selain itu, minimnya informasi pendukung seperti katalog atau keterangan karya menjadi kendala bagi pengunjung yang ingin memahami konteks dan latar belakang setiap ilustrasi.
Apa pun, pameran ini menjadi pengingat bahwa di balik setiap garis dan arsiran, terdapat dedikasi, ketekunan, dan cinta terhadap seni. Bagi generasi komikus digital masa kini, karya-karya Gerdi WK menjadi sumber inspirasi untuk terus berkarya dengan hati, menggali kekayaan budaya lokal, dan tidak melupakan akar tradisi dalam setiap inovasi. (*)
*) Pemerhati Seni Budaya/Sekretaris Satupena DKI Jakarta