Oleh ReO Fiksiwan
“Het oude geloof over de oorsprong van de mens
en de berggeesten left nog steeds in het hart van het volk, en vormt de grondslag voor hun begrip van de levensroeping“
“Kepercayaan lama tentang asal-usul manusia dan roh-roh penjaga gunung masih hidup dalam hati rakyat, dan menjadi dasar bagi cara mereka
memahami tugas hidup.” — Johann Gottlieb Schwarz (1800-1859), Uit De Minahasa (1908)
HATIPENA. COM – Dalam budaya Minahasa, karier bukan sekadar pencapaian individual, melainkan narasi kolektif yang dibentuk oleh mitos, relasi spiritual, dan jejak historis yang tak terhapuskan.
Van der Tuch, seorang etnograf Jerman yang meneliti Minahasa pada awal abad ke-20, mencatat bahwa masyarakat Minahasa memandang keberhasilan sebagai hasil dari harmoni antara manusia dan kekuatan leluhur.
Dalam pandangan ini, karier bukanlah produk meritokrasi semata, melainkan hasil dari keterhubungan kosmik dan sosial yang kompleks.
Mitos karier di Sulawesi Utara, khususnya Minahasa, memiliki dimensi yang unik. Seperti diungkapkan oleh Friedrich Dünnebier dalam Grammatik der Minahasa-Sprachen (1939):
“Die Erzählungen der Alten enthalten nicht
nur sprachliche Schönheit, sondern auch die
Ordnung des Lebens, wie sie verstanden
wurde!”
“Cerita-cerita orang tua tidak hanya
mengandung keindahan bahasa, tetapi juga
tatanan hidup sebagaimana dipahami!”
Ada keyakinan tak terucap bahwa siapa pun yang datang ke tanah Minahasa, bahkan menikahi perempuan Minahasa, akan mengalami lonjakan karier yang luar biasa.
Soemitro Djojohadikusumo menikahi Dora Sigar, seorang perempuan Minahasa asal Langowan, dan menjadi arsitek ekonomi Indonesia. Soekarno, yang memiliki hubungan dengan Jurike Sanger, juga mengalami fase penting dalam karier politiknya.
Mitos ini bukan sekadar romantisme lokal, melainkan refleksi dari cara masyarakat Minahasa memaknai keterhubungan antara tanah, perempuan, dan takdir.
Dalam konteks kontemporer, mitos ini tetap hidup, meski dalam bentuk yang lebih subtil.
Burhanuddin Abdullah, Komisaris PLN dan Ketua Wanhat PP ISEI, menghadiri forum ekonomi bertajuk SOEMITRONOMICS: Mewujudkan Ekonomi Indonesia yang Tangguh dan Inklusif di Sulut, yang digagas oleh Dr. Joy Tulung, alumni ekonomi Perancis.
Kehadirannya di Manado, sebelum menerima penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana dari Presiden Prabowo Subianto, seolah menghidupkan kembali narasi lama: bahwa tanah Minahasa adalah ruang transendental yang membuka gerbang karir dan pengakuan.
Namun, refleksi antropologis mutakhir tidak berhenti pada pengulangan mitos.
Ia menantang kita untuk melihat bagaimana mitos ini beroperasi dalam struktur kekuasaan dan legitimasi.
Apakah karir yang cemerlang selalu lahir dari koneksi spiritual dengan tanah Minahasa?
Ataukah mitos ini digunakan sebagai alat simbolik untuk membingkai narasi sukses dalam kerangka budaya yang dapat diterima publik?
Van der Tuch menulis bahwa dalam masyarakat Minahasa, keberhasilan adalah bentuk dari “pengakuan leluhur”—sebuah konsep yang menggabungkan etika, spiritualitas, dan performa sosial.
Dalam dunia modern yang penuh dengan tuduhan, penghargaan, dan forum intelektual, mitos ini tetap menjadi lensa yang tajam untuk membaca dinamika karir di Indonesia.
Ia bukan sekadar cerita lama, melainkan refleksi budaya yang terus membentuk cara kita memahami pencapaian, pengakuan, dan kekuasaan.
Karier, dalam mitos Minahasa, bukanlah garis lurus. Ia adalah spiral yang bergerak antara tanah, tubuh, dan takdir.
Dan dalam spiral itu, kita menemukan jejak-jejak religius, etnografis, dan politis yang membentuk wajah Indonesia hari ini. (*)