L K Ara
HATIPENA.COM – (Di sebuah taman, seorang wanita berdiri di hadapan bunga mawar yang sedang mekar. Ia berbicara sendirian, dengan suara lembut, seperti berbicara pada dirinya sendiri atau pada mawar itu.)
Mawar, apa kau tahu?
Aku sering bertanya pada malam,
mengapa aku harus menangis?
Mengapa luka ini begitu dalam,
seakan-akan duri kehidupan tak pernah ingin melepaskanku?
(Tersenyum pahit, ia menyentuh kelopak mawar dengan jemarinya.)
Tapi lihatlah dirimu.
Kau tumbuh dari tanah yang gelap,
dari hujan yang datang tanpa permisi,
dan dari duri yang setia melindungi.
Kau mekar dengan indah,
meski dunia memberimu rintangan.
(Suaranya mulai bergetar, seakan sedang mengingat masa lalu.)
Aku ingat malam-malamku,
ketika air mata mengalir tanpa jeda,
ketika aku merasa begitu kecil,
seperti embun yang hilang saat matahari terbit.
Aku bertanya, untuk apa semua ini?
Apa arti dari rasa sakit yang tak kunjung reda?
(Tertunduk, lalu kembali menatap mawar itu dengan mata yang berkaca-kaca.)
Tapi kau mengajarkanku sesuatu, mawar.
Air mataku bukan kelemahan.
Ia adalah hujan yang menyuburkan,
ia adalah doa yang terbungkus sunyi,
ia adalah jalan menuju mekar yang indah.
(Dia menghela napas panjang, suaranya lebih tenang sekarang.)
Mawar, aku ingin seperti dirimu.
Menerima duri sebagai bagian dari hidup,
menjadikan luka sebagai guru,
dan mekar dengan wangi yang tak hanya memikat,
tapi juga membawa makna.
(Ada jeda. Ia menatap mawar itu lebih dalam, seolah mencari jawaban.)
Jadi, aku tak akan bertanya lagi.
Aku tahu mengapa aku menangis.
Air mataku adalah awal, bukan akhir.
Ia akan mengalir,
meresap ke tanah hatiku,
dan suatu hari,
aku akan mekar, seperti dirimu.
(Wanita itu berbalik, meninggalkan taman dengan langkah perlahan, tetapi ada senyum kecil di wajahnya—seperti seseorang yang telah menemukan makna dalam luka) . (*)