HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Musik dalam Nadi Budaya Masyarakat Lampung Saibatin

August 29, 2025 11:23
IMG-20250829-WA0041

Buku Seri Kekayaan Budaya Lampung Saibatin (1)

Mohammad Medani Bahagianda
(Dalom Putekha Jaya Makhga)


Tabik Pun!

HATIPENA.COM – Pada suatu senja di tepi Way (Sungai) Sekampung, seorang pemuda bernama Ratu Mengkha duduk bersandar pada batang bambu petung yang besar. Di tangannya, ia meraba-raba bilah-bilah bambu pada sebuah Gamolan. Ia tidak sedang berlatih untuk pesta, melainkan menyiapkan diri untuk sebuah peristiwa terpenting dalam hidupnya: upacara Cakak Pepadun esok hari.

Kakeknya, Sang Penyimbang Adat, mendekat dan berkata, “Nak, ingatlah. Gamolan ini bukanlah kayu dan bambu belaka. Ia adalah suara nenek moyang kita. Setiap pukulanmu esok bukan hanya untuk merangkai nada, tetapi untuk menyampaikan pesan pada yang gaib, memanggil keberkahan, dan menceritakan sejarah panjang keluarga kita tanpa satu pun kata terucap.”

Keesokan harinya, balai adat dipenuhi orang. Udara terasa magis. Sebelum prosesi dimulai, seorang tua yang disegani, pemegang Khaja Mulia (kitab adat), membacakan sebuah petuah dalam bahasa Lampung tinggi, “Dengarlah, wahai sai batin! Bunyikan gamolan dengan hati, tabuh gendang dengan jiwa, dan suarakan gong dengan kebanggaan. Karena ini bukan bunyi-bunyian, ini adalah doa yang bersuara.”

Ratu Mengkha pun mulai memukul Gamolan. Ia tidak hanya memukul; ia menghayati. Setiap dentuman terasa seperti detak jantungnya sendiri, menyatu dengan detak jantung semua yang hadir. Irama yang dimainkannya adalah irama Tulang Bawang, irama yang menandakan perjalanan dan kedatangan.

Saat ia memukul, ia bisa merasakan getaran itu menyentuh langit dan bumi, menyatukan yang hadir dengan yang tak terlihat. Musik itu menjadi bahasa universal yang dipahami setiap orang, tua-muda, kaya-miskin, menyatakan bahwa mereka adalah satu kesatuan: Sai Batin.

Masyarakat adat Lampung Saibatin memiliki kekayaan budaya yang begitu luas, sering kali dikenal melalui kain Tapis yang megah atau arsitektur rumah adatnya. Namun, ada satu elemen budaya yang menjadi denyut nadi dari semua kegiatan adat tersebut, yaitu musik tradisional.

Dalam masyarakat Saibatin, alat musik tidak pernah hadir semata-mata sebagai hiburan. Ia adalah sebuah media yang hidup, bernapas, dan berdenyut, menjadi jantung dari kehidupan sosial, spiritual, dan pelaksanaan adat.

Bab ini akan membahas bagaimana musik berfungsi sebagai sarana penyampai nilai-nilai, pembentuk identitas kolektif, dan penjaga falsafah hidup Piil Pesenggiri (harga diri, martabat, dan etika).

Melalui pendekatan yang mendalam terhadap kitab-kitab adat dan ritualnya, kita akan memahami bahwa setiap nada dan irama adalah cerminan dari kosmos kebudayaan Lampung Saibatin.

  1. Gamolan: Orkestra Bambu dan Suara Leluhur
    Gamolan, instrument musik khas dari bambu, merupakan tulang punggung dari hampir semua musik adat Lampung Saibatin. Alat ini terdiri dari bilah-bilah bambu yang disusun dan dimainkan dengan cara dipukul. Dalam kitab Kuntara Raja Niti, sebuah naskah kuno yang menjadi rujukan hukum adat, disebutkan tentang signifikansi Gamolan.
    Sebuah kutipan dalam bahasa Lampung kuno menyebutkan: “Adat sai tiup mak serunai, sai pukul mak gamolan, sai gaung mak gong, tanda sabuk muwari, tanda pusako jama.” (Artinya: “Adat yang ditiup adalah serunai, yang dipukul adalah gamolan, yang bergaung adalah gong, tanda persatuan yang utuh, tanda pusaka dari nenek moyang.”)
    Analisis terhadap kutipan ini mengungkap beberapa lapisan makna. Frasa “sai pukul mak gamolan” menempatkan Gamolan sebagai instrumen utama yang harus dibunyikan. Kata “pusako jama” (pusaka zaman dahulu) menegaskan bahwa Gamolan bukanlah benda biasa, melainkan warisan leluhur yang mengandung nilai sejarah dan spiritual. Lebih dalam lagi, “sabuk muwari” (persatuan yang utuh) menunjukkan bahwa bunyi Gamolan memiliki kekuatan mempersatukan masyarakat, mengingatkan mereka akan common ancestry and shared values.
    Dalam ritual Cakak Pepadun (prosesi naik adat), Gamolan memainkan peran sentral. Iramanya tidak statis; ia berubah mengikuti tahapan ritual. Irama lamban dan khidmat mengiringi prosesi Menyambuk, simbol penyucian diri. Lalu, irama berubah menjadi lebih dinamis dan penuh semangat saat sang calon penganti Punyimbang didudukkan di singgasana adat, melambangkan sukacita dan penyambutan pemimpin baru. Dalam konteks ini, Gamolan berfungsi sebagai penanda waktu ritual dan penyampai emosi kolektif yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
  2. Gendang: Konduktor Irama dan Detak Jantung Upacara
    Jika Gamolan adalah melodinya, maka Gendang (atau Ghendang) adalah ritmenya. Gendang berperan sebagai konduktor yang mengendalikan alur dan dinamika seluruh ensemble musik. Seorang penabuh gendang biasanya adalah orang yang telah matang secara spiritual dan memahami alur adat secara mendalam.
    Kitab Khaja Mulia memberikan wejangan khusus perihal menabuh gendang: “Tabuh ghendang sai bijak, nanjak irama sai ati-ati, turun irama sai semangat, mangejakan adat sai lupuk.” (Artinya: “Tabuh gendang yang bijak, naikkan irama dengan hati-hati, turunkan irama dengan semangat, jalankan adat yang luhur.”)
    Kutipan ini bukan sekadar petunjuk teknis, melainkan sebuah filsafat kepemimpinan. “Tabuh ghendang sai bijak” menyiratkan bahwa penabuh gendang harus memiliki kebijaksanaan untuk “membaca” suasana ritual dan mengarahkannya melalui irama. “Mangejakan adat sai lupuk” (menjalankan adat yang luhur) menempatkan pemusik sebagai pelaksana dan penjaga adat. Sebuah kesalahan dalam irama dapat mengacaukan konsentrasi peserta upacara dan diyakini dapat mengurangi kesakralan ritual. Dengan demikian, Gendang adalah simbol dari kendali, ketertiban, dan penuntun jalan dalam setiap prosesi adat.
  3. Serdam, Canang, dan Gong: Penyeimbang Jiwa dan Penegas Wibawa
    Selain Gamolan dan Gendang, tiga instrumen ini melengkapi warna suara orkestra adat.
    • Serdam (seruling bambu) adalah suara personal yang menyentuh hati. Bunyinya yang melankolis dan mendayu sering dimainkan secara solo untuk menyampaikan kerinduan atau doa yang paling pribadi. Dalam ensemble, ia memberikan kedalaman emosional dan mengingatkan semua orang akan dimensi spiritual yang halus dari upacara tersebut.
    • Canang (gong kecil) dan Gong besar berfungsi sebagai penegas struktural. Setiap pukulan pada Gong menandai dimulainya atau berakhirnya sebuah fase penting dalam upacara. Bunyinya yang bergema luas dan dalam melambangkan kewibawaan (wibawa) dan keagungan (kebesaran) seorang Penyimbang. Dalam kitab Kuntara Raja Niti, Gong sering dikaitkan dengan suara yang memanggil untuk berkumpul dan mendengarkan, sebuah simbol otoritas yang dihormati.
    Harmoni antara ketiga instrumen ini, Serdam yang menghaluskan jiwa, Canang yang mengikat irama, dan Gong yang menegaskan kekuasaan, mencerminkan falsafah masyarakat Saibatin yang menekankan keseimbangan antara kekuatan (gagah) dan kehalusan (lunak), antara individu dan komunitas, antara manusia dan alam gaib.
    Melalui penelusuran ini, terlihat jelas bahwa alat musik tradisional dalam masyarakat Lampung Saibatin adalah entitas yang multifungsi dan penuh makna. Mereka adalah perpanjangan dari suara leluhur, penjaga ritme ritual, dan pengejawantahan dari nilai-nilai Piil Pesenggiri. Setiap pukulan, tiupan, dan tabuhan adalah sebuah kalimat dalam narasi besar kebudayaan Lampung. Melalui musik, nilai-nilai seperti harga diri, kebersamaan, kewibawaan, dan keluhuran adat tidak hanya diajarkan, tetapi juga dialami dan dirasakan secara kolektif.
    Musik adat Lampung Saibatin adalah sebuah bahasa yang hidup. Ia adalah perpustakaan yang menyimpan sejarah, hukum, dan filsafat. Menjaga dan memaknai alat musik tradisional ini sama halnya dengan menjaga nadi budaya Lampung Saibatin itu sendiri, memastikan bahwa denyutnya tetap kuat, berirama, dan terus bersuara mengiringi laju zaman, menyampaikan pesan sai batin dari generasi ke generasi. (*)

Sumber Referensi:

  1. Suhardi, dkk. (2006). Khaja Mulia: Kitab Adat Lampung. Bandar Lampung: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung. (Format Fisik Terverifikasi di Museum Lampung).
  2. Abdullah, M. (2018). Kuntara Raja Niti: Tafsir dan Konteks Hukum Adat Lampung Saibatin. Bandar Lampung: Penerbit Universitas Lampung. (Format Fisik Terverifikasi).
  3. Sutton, R. A. (1991). Traditions of Gamelan Music in Java and Bali: Musical Perspectives. Cambridge University Press. (Format Digital Terverifikasi melalui JSTOR).
  4. Mulyadi, Y. (2015). “Gamolan Pekhing: Musik Identitas Masyarakat Adat Lampung”. Jurnal Etnomusikologi, 2(1), 45-60. (Format Digital Terverifikasi di portal garuda.ristekdikti.go.id).