Puisi Esai L K Ara
HATIPENA.COM – Malam Muzdalifah bukan malam biasa.
Ia bukan sekadar perhentian fisik,
tapi perjumpaan rahasia antara fana dan baqa.
Di sana, dunia diluruhkan:
tidak ada singgasana, tidak ada ranjang permaisuri,
hanya tanah sebagai alas,
dan langit sebagai selimut makrifat.
Engkau akan melihat ribuan tubuh rebah,
namun sejatinya mereka sedang bangkit:
meninggalkan diri yang lama,
masuk ke keheningan yang tak bisa dijelaskan oleh kata.
Mereka tidak tidur —
mereka sedang kembali
menjadi titik kecil di hadapan Yang Maha Luas.
Baju putih itu bukan pakaian,
ia adalah kafan yang disadari sejak masih bernyawa.
Setiap desir angin malam di Muzdalifah
adalah surat cinta dari Rabb
kepada jiwa-jiwa yang datang dengan rindu.
Mereka tidur bukan karena lelah,
tapi karena pasrah.
Karena tubuh tak sanggup menampung limpahan cahaya
yang turun bersamaan dengan zikir
yang tak terdengar oleh telinga,
namun mengguncangkan ruh.
Malam itu, bintang-bintang tidak bersinar,
mereka bersujud.
Bumi tidak diam,
ia menyimak.
Dan kita, yang belum sampai ke sana,
hanya bisa mencium tanah dari kejauhan
dengan doa yang paling jujur:
Ya Allah, izinkan aku menyentuh Muzdalifah,
walau hanya sekali.
Agar aku tahu, bagaimana rasanya tidur dalam pelukan langit,
dan bangun sebagai hamba yang benar-benar kosong — kecuali Engkau. (*)
Aamiin, ya Rabbal ‘alamin.
⸻
Catatan Sufi:
Malam di Muzdalifah mengajarkan kita bahwa sujud tertinggi
bisa terjadi tanpa gerak.
Bahwa tidur pun, jika penuh ikhlas,
adalah jalan pulang paling sunyi —
menuju cahaya-Nya.